MENGENAL PERADABAN ORANG MUNA (Upaya Pelurusan Sejarah)
BAB I
ASAL USUL PULAU MUNA
Muna pada awalnya dikenal dengan
nama ‘WUNA’.yang dalam Bahasa Muna berati ‘bunga’. Merujuk
pada tradisi lisan masyarakat Muna, nama itu memberi makna
spiritual kepada kejadian alamnya, dimana terdapat gugusan batu yang berbunga
yang menyerupai batu karang. Gugusan batu tersebut pada waktu-waktu
tertentu kerap mengeluarkan tunas-tunas yang tumbuh seperti bunga karang. Oleh
karena kejadian itulah maka masyarakat Muna menyebutnya sebagai ‘Kontu
Kowuna’ artinya Batu Berbunga . Gugusan batu berbunga tersebut
terletak di dekat Masjid tua Wuna di Kota Muna yang bernama bahutara
( bahtera?). Tempat dimana Kontu Kowuna tersebut berada dipercaya sebagai
tempat terdamparnya kapal Sawerigading, Putra Raja Luwu di Sulawesi Selatan
Yang melegenda.
Saat ini, Muna dikenal sebagai nama sebuah Pulau yang
terletak pada posisi 4015’ sampai 4030’ lintang Selatan
dan 122015’ – 123000’ Bujur Timur ( RPJMD
Kabupuaten Muna 2010-2015 ), tepatnya diantara Pulau Sulawesi bagian Tenggara,
Pulau Buton di bagian Barat dan sebelah Timur Pulau Kabaena
Selain nama Pulau, Muna juga menjadi nama salah
satu Kabupaten dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tenggara dengan
batas-batas administrasi;
1. Di Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe
Selatan dan Selat Spelman.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buton.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Buton Utara dan
Kabupaten Buton,
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Tiworo dan Kabupaten
Bombana.
Selain itu Muna juga menjadi nama suku yang mendiami Pulau
Muna dan sebagian besar Pulau Buton serta pulau-pulau disekitarnya yang
menggunakan Bahasa Muna sebagai bahasa tutur diantara mereka.
Sebelum menjadi Kabupaten, Muna juga dikenal sebagai
sebuah kerajaan yang berkedudukan di Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton
bagian Utara. Pembagian wilayah tersebut dilakukan pada masa Pemerintahan Raja
Buton VI Lakilaponto dan Raja Muna VIII La Posasu. Kedua raja tersebut
merupakan kakak beradik, Putra dari Raja Muna VI Sugi Manuru.
Sebelum menjadi raja Buton VI, La Kilaponto telah
menjadi Raja Muna VII sehingga jabatan Raja di kedua kerajaan
itu diembannya secara bersamaan selama tiga tahun bersama dengan kerajaan
lainnya yakni Kaledupa, Konawe dan kabaena. Namun setelah dilantik menjadi Sultan
Buton I ( menyusul perubahan kerajaan buton menjadi Kesultanan ), jabatan Raja
di empat kerajaan lainnya yang diembannya selama tiga tahun ( 1538- 1541 M
) diseraahkan pada yang berhak untuk mengembannya.
Di Kerajaan Muna jabatan Raja diserahkan
pada adiknya La Posasu, sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada catatan
sejarah yang mengisahkan bagaimana proses penyerahannya dan pada siapa
diserahkan. Bersamaan dengan penyerahan kekuasaan di kerajaan Muna
, turut pula dibagi wilayah kerajaan sebagaimana dijelaskan diatas.
Menurut La Kimi Batoa pembagian wialayah tersebut
karena kecintaan La Kilaponto pada dua wilayah di bagian Selatan Pulau Muna
yaitu Gu dan Mawasangka sehingga beliau memohon pada adiknya sekaligus
penggantinya sebagai raja Muna La Posasu agar kedua wilayah dimaksud menjadi
bagian dari wilayah Kesultanan Buton. Sebagai gantinya, La Kilaponto
menyerahkan dua wilayah yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kesultanan Buton
yang ada di bagian Utara Pulau Buton yakni Kulisusu dan Wakorumba ( Sebagian wilayah
tersebut saat ini menjaadi Kabupaten Buton Utara) (Sejarah Kerajan Daerah
Muna CV. Astri Raha,1995).
Beberapa catatan sejarah mengungkapkan sebelum menjadi Raja
di Kerajaan Muna, La Kilaponto terlebih dahulu diangkat menjadi Raja Muda di
wilayah Gu dan Mawasangka selama tiga tahun ( 1530-1538 ). Kedua wilayah
tersebut dikenal dengan nama “Ponto” yang diambil dari nama sejenis bambu
yang kuat dan keras. Penamaan “Ponto” tersebut karena seseorang yang
menjadi Raja Muda diwilayah itu akan ditempah menjadi seseorang yang
cerdas, kuat dan keras jiwanya dalam memperjuangkan keadilan dan menumpas
kesewenang-wenangan terhadap orang lain. Sehingga ketika benar-benar telah
menjadi Raja disebuah kerajaan yang besar dia telah memiliki jiwa tersebut dan
menjadi Raja yang adil dan mengayomi serta melindungi rakyatnya dari tindakan
kesewenang-wenangan dari pihak manapun juga.
Bila menilik catatan mengenai masuknya agama islam
dikerajaan Muna boleh jadi misionaris islam pertama Syehk Abdul Wahid
pertama kali menyebarkan agama Islam di kerajaan Muna pada tahun 1530 (
Courveur ; 19..) bukan dipusat kerajaan Muna di kota Muna Kawuna-Wuna
yang saat itu sedang dipimpin oleh Sugi Manuru , tetapi diwilayah “ Ponto”
yang dipimpin oleh La Kilaponto.
Asumsi ini diperkuat oleh fakta di mana saat ini kedua
wilayah tersebut masyarakatnya dikenal sebagai pemeluk agama islam yang
taat. Selain itu wilayah Gu da Mawasangka adalah wilayah Pulau Muna yang
berhadapan langsung dengan lautan bebas sehingga memudahkan para musyafir untuk
menyinggahinya di banding dengan pusat Kerajaan Muna yang terletak dipedalaman
dan diatas bukit. Dalam Buku Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Darul Munajat
juga mengisahkan bahwa salah seorang utusan Nabi SAW yakni Abdul Sukur
menemukan Pulau Muna dan langsung menancapkan bendera yang dibawahnya di Waara
( Wamengkoli ) yang masuk dalam wilayah “ Ponto” tersebut. Jadi berdasarkan hal
tersebutlah sehingga La Kilaponto merasa sudah menyatu dengan masyarakat kedua
wilayah tersebut, sehingga ketika dilantik menjadi raja Buton, kedua wilayah
tersebut juga dimintakan untuk masuk dalam wilayah kekuasaannya.
Sebagai pewaris tahta kerajaan yang diwariskan dari kakanya
La Kilaponto, La Posasu tidak keberatan dengan pembagian tersebut. Apalagi
selain membagi wilayah kerajaan, dalam perjanjian itu juga disertakan suatu
perjanjian bahwa kedua kerajaan itu ( Muna dan Buton ) adalah kerajaan yang
bersaudara dan saling membantu bila ada kesusahan atau gangguan dari luar yang
dialami oleh salah satunya.
Perjanjian itu tetap dipegang teguh oleh kedua kerajaan
sampai kemudian kolonial Belanda masuk mengintervensi Kesultanan Buton dan
memaksa Sultan Buton saat itu ( Dayanu Ikhsanuddin) untuk memasukkan
dalam konstitusinya yang dikenal dengan martabat Tujuh bahwa Kerajaan Muna
menjadi bagian dari Kesultanan Buton dengan status “barata” ( wilayah dengan
otonomi penuh ). Sejak saat itulah dua kerajaan yang sebelumnya bersaudara
tersebut saling memusuhi dan menyerang satu sama lain.
Banyak kisah yang menceritakan asal usul Muna Sebagai sebuah
pulau, baik itu dalam tradisi lisan dikalangan masyarakat Muna maupun
hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton. Namun secara ilmiah belum ada
penelitian yang mengungkap kebenaran cerita-cerita/hikayat tentang asal usul
Pulau Muna tersebut.
Kendati demikian tradisi lisan yang hidup dikalangan
masyarakatlah dan hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton yang sering
dijadikan sebagai referensi dalam menulis sejarah asal usul Pulau Muna dan
Pulau Buton. Untuk itu penulis akan menjelaskan satu persatu cerita dan hikayat
tersebut serta beberapa hasil penelitian ilmiah mengenai situs-situs purba kala
dan formasi bebatuan yang di Pulau Muna.
A. HIKAYAT “ ASSAJARU HULIQA DAAARUL BATHNIY WA DARUL
MUNAJAT ”
Hikayat “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul
Munajat”(Hakikat Kejadian Negeri Buton dan Negeri Muna- Buku Tambaga )
mengisahkan bahwa Pulau Muna dan Pulau Buton berasal dari segumpal tanah yang
muncul dari dasar laut yang ditandai dengan sebuah ledakan yang maha dasyat.
Hikayat tersebut menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW.
mengadakan rapat dengan para sahabat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang
yang sangat keras hinga mengejutkan para sahabat yang lagi mengikuti rapat.
Mendengar suara tersebut salah seorang sahabat bertanya pada Nabi Muhammad SAW.
apa gerangan yang sedang terjadi. Pertanyaan sahabat itu dijawab
oleh Nabi Muhammad SAW bahwasanya disebelah timur telah muncul dua buah
Pulau ( Wuna & Buton ) yang mana penghuninya nantinya akan menjadi
pemeluk agama Islam yang taat.
Olehnya itu diutuslah dua orang sahabat yakni Abdul Sukur
dan Abdul Gafur untuk Mencari pulau dimaksud oleh Rasulullah SAW sekaligus
menyebarkan agama islam di kedua pulau tersebut.
Dalam pencarian sebuah negeri sebagaimana yang di wasiatkan
oleh Rasulullah SAW, kedua utusan tersebut terlebih dahulu menyinggahi beberapa
negeri sebelum menemukan dua buah pulau ( ditemukan dalam arti hakiki )
di maksud yaitu Pulau Wuna – ( Muna ) dan Pulau Buton. Setelah kedua
utusan tersebut menemukan negeri dimaksud ,maka ditancapkanlah sebuah bendera.
Selain menancapkan bendera, kedua utusan tersebut juga memberikan nama pulau
yang telah ditemukan yaitu Butuuni dan Munajat yang artinya Perut
bumi dan Kesejahteraan.
Kisah seperti yang diceritakan hikayat “Assajaru
Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” mengenai asal mula Pulau
Muna dan Pulau Buton diatas secara ilmiah tidak dapat-
dipertanggungjawabkan, sebab masa kerasulan Nabi Muhammad SAW di mulai setelah
beliau berusia 40 tahun atau sekitar tahun 600-an M. jadi kalau mengacu pada
buku “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” berarti umur pulau Muna
dan Pulau Buton baru sekitar 1400 tahun.
Intinya Buku tambaga hikayat Assjaru Huliqa Darul
bathniy Wa Darul Munajat bukanlah teks sejarah tentang asal usul pulau Muna dan
Pulau Buton. Hikayat Assajaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat
hanyalah mitos yang memberikan gambaran kebudayaan masyarakat Muna dan
Buton.
B. TRADISI LISAN MASYARAKAT MUNA
Cerita lainya yang mengisahkan asal mula Pulau Muna adalah
seperti yang dituturkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna. Kendatipun tradisi
lisan tersebut dibumbuhi dengan miros-mitos namun banyak digunakan
sebagai referensi para sejarawan dalam menulis Sejarah Muna.
Dalam tradisi lisan masyarakat Muna itu
dikisahkan bahwa Pulau Muna ditemukan oleh Sawerigading pelaut dari kerajaan
Luwu di Sulawesi Selatan dan pengikutnya sebanyak 40 orang. Mereka itu terdampar
di sebuah wilayah yang saat ini bernama BAHUTARA ( Bahtera?).
Terdamparnya Kapal Swaerigading tersebut akibat munculnya pulau dari dasar
laut.
Bukti terdamparnya kapal sawerigading tersebut adalah adanya
sebuah bukit yang menyerupai sebuah kapal lengkap dengan kabin-kabinnya. Bukit
yang menyerupai kapal tersebut diyakini oleh masyarakat Muna sebagai fosil dari
Kapal Sawerigading yang terdampar tersebut. Ditutur kan pula pengikut
Sawerigading yang berjumlah 40 orang kemudian menjadi cikal bakal
masyarakat Muna.
Bukti lainya yang menguatkan keyakinan masyarakat Muna
terhadap kebenaran tradisi lisan yang telah hidup beratus-ratus tahun
dikalangan masyarakat Muna adalah adanya sebuah bukit karang yang mana pada
waktu-waktu tertentu mengeluarkan bunga yang mirip dengan bunga
karang. Bukit batu yang juga terletak di Bhahutara tersebut di namakan “Kontu
Kowuna”yang artinya batu berbunga. Bukit batu yang mengeluarkan bunga
tersebutlah konon sebagai asal usul penamaan Pulau dan Kerajaan ‘Wuna’
Walaupun tradisi lisan masyarakat Muna tersebut dapat
dijelaskan secara ilmiah, khususnya tentang awal terjadinya Pulau Muna, yaitu
sebuah gugusan pulau yang muncul dari dasar lautan namun tidak dapat dikatakan
sebagai sejarah asal usul terjadian Pulau Muna karena juga dibumbui dengan
mitos dan kisah-kisah luar biasa.
Jadi tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau
muna juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul Pulau Muna, untuk itu
perlu ada penelitian yang lebih mendalam lagi untuk membuktikan kebenaranya
secara ilmih. Terutama mengenai tahun pemunculannya sebagai pulau.
C. EPIK I LAGALIGO
Cerita yang memiliki kemiripan dengan tradisi lisan
masyarakat Muna tentang asal usul Pulau Muna adalah epic I La galigo. Epic itu
mengisahkan bahwa Sawerigading adalah seorang pelaut yang tangguh. Dia
melakukan penjelajahan samudera setelah bersumpah untuk tidak kembali di
negerinya ( Luwu) karena ditentang rencananya untuk menikahi Wa Tendriyabeng
yang ternyata saudara kembarnya. Dikisahkan dalam epik tersebut bahwa
menurut adat masyarakat Luwu hubungan antara Sawerigading dan Wa
Tanriabeng ( Saudara kembar ) tidak dibolehkan. Olehnya itu keduanya harus
dipisahkan.
Tokoh dari kedua pada tradisi lisan masyarakat Muna dan Epic
I La galogo memiliki kesamaan nama. Demikian pula dengan peranannya. Baik
tradisi lisan masyarakat Muna maupun Epik I Lagaligo mengakui bahwa
Sawerigading adalah seorang Pelaut.
Penyebutan nama yang diawali dengan ‘La’ bagi
laki-laki masyarakat Muna memiliki kemiripan dengan penyebutan nama orang
laki-laki pada suku Bugis. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa sangat besar
kemungkinannya Sawerigading pernah singgah ( terdampar) di pulau Muna.
Hal ini diperkuat oleh DR. Anhar Gonggong sebagai mana kutipan berikut :
“ Pemerintah pertama Muna yaitu Beteno Netombula juga
dikenali sebagai Baidul Zamani adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga
kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa,
kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip
dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah
dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan
Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada
Beteno Netombula atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kaghua
Bangkano Fotu”. ( La Galigo, Menelusuri Warisan Sastra Dunia– DR.
Anghar Gonggong)
Tapi apakah terdamparnya kapal Sawerigading tersebut
merupakan awal dari munculnya Pulau Muna? Hal ini juga perlu penelitian yang
lebih mendalam lagi. Olehnya itu Epik I Lagaligo juga belum dapat dikatakan
sebagai sejarah asal usul terjadinya Pulau Muna.
D.RELIEF DI LIANGKOBORI DAN
METANDUNO DAN MUSEUM KARTS INDONESIA
Asal usul keberadaan Pulau Muna yang dapat dijelaskan secara
ilmiah karena telah melalui penelitian ilmiah adalah seperti yang dapat
dilihat pada panel monitor museum karts Indonesia yang terletak di
Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa
Tengah.
Dari panel tersebut kita dapat mengetahui bahwa Pulau Muna
hampir seluruhnya tersusun oleh batu gamping berumur Pleistosen (sekitar 1,8
juta tahun yang lalu). Batu gamping ini diperkirakan dari Formasi Wapulaka,
seperti terlihat pada tebing-tebing batu gamping ( Karts ) di sepanjang pantai.
Batu gamping ini merupakan terumbu karang yang terangkat dan sekarang membentuk
kawasan kars yang luas.( Museum Karts Indonesia ).
Itu artinya bahwa pulau Muna sebelumnya adalah terumbu
karang yang ada didasar lautan, namun karena desakan dari bawah maka terumbu karang
tersebut muncul dipermukaan dan menjadi sebuah pulau. Bukti kuat dari itu
adalah sebuah wilayah disekitar Kota Muna lama dimana ada hamparan batu karang
yang pada saat-saat tertentu mengeluarkan tunas-tunas seperti terumbu karang
didasar laut, namun warnanya agak berbeda yaitu putih. Tempat itu
sekarang dikenal dengan Kontu Kowuna yang artinya batu berbunga.
Selain data yang tersimpan pada museum karts Indonesia, yang
telah diteliti secara ilmiah adalah relief yang ada di gua Liangkobori
dan gua Metanduno. Relief yang terdapat di
dinding gua tersebut menggambarkan kehidupan dan peradaban masyarakat Muna pada
jaman purba. Relief tersebut menurut beberapa penelitian telah berumur
lebih dari 25.000 tahun. Itu artinya bahwa jauh sebelum itu Pulau Muna
telah ada dan telah di huni oleh manusia. Hasil penelitian ini mematahkan
pendapat sebagai mana yang dikisahkan dalam buku Assajaru uliqa Darul Bathniy
Wa Darul Munajat.
Dari relief Liangkobori dan Metanduno tergambar bahwa sejak
ribuan tahun yang lalu Orang Muna telah menguasai teknologi kelautan dan
telah melakukan penjelajahan samudera. Dari kebiasaan itulah yang memungkinkan
Orang Muna bermigrasi dan menempati pulau-pulau lain disekitar Pulau Muna.
Jadi berdasarkan fakta ilmiah tersebut maka penulis
berkesimpulan bahwa Pulau Muna pada awalnya merupakan terumbu karang. Namun
setelah terjadi desakan akibat pergerakan kulit bumi, maka terumbu karang
tersebut muncul dipermukaan dan membentuk sebuah pulau karang. Berdasarkan
formasi bebatuan yang dimiliki sebagaimana yang ada di panel monitor Museum
Karts di Jawa Tengah, kejadian munculnya Pulau Muna kepermukaan tersebut
sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.
Merujuk pada usia relief yang ada di dinding gua Liangkobori
dan Metanduno, Pulau Muna mulai dihuni oleh manusia jauh dari usia relief
tersebut. Sebab bila melihat motif lukisan yang ada di dinding kedua gua
tersebut maka manusia yang membuatnya telah memiliki peradaban yang tinggi
yaitu telah mengenal teknologi kelautan dan astronomi.
BAB II
O R A N G M U N A
A. SIAPA ORANG MUNA ITU?
Orang Muna adalah masyarakat Suku Bangsa Muna, yang
mendiami Pulau Muna dan pulau-pulau kecil disekitarnya, sebagian besar
Pulau Buton khususnya bagian Utara, Utara Timur Laut dan Barat Daya Pulau
Buton, Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Kepulauan Talaga ( wilayah Kabupaten
Buton) . Orang Muna menggunakan Bahasa Daerah Muna sebagai bahasa tutur
diantara mereka.
Orang Muna
asli memiliki kemiripan dengan suku-suku Polynesia dan Melanesia di
Pasifik dan Australia. Orang Muna berbeda dengan suku-suku lain yang ada di
Sulawesi Tenggara seperti suku Tolaki/Mekongga dan Moronene yang memiliki
kemiripan dengan Melayu dan Mongoloid.
Dari bentuk
tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam), dan rambut (keriting/ikal) terlihat
bahwa orang Muna asli lebih dekat dengan suku-suku yang ada di Pulau
Flores dan Kepulauan Maluku. Hal ini semakin diperkuat dengan kemiripan
tipikal manusianya dan kebudayaan suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan Pulau
Timor dan Flores umumnya dan Kepulauan Maluku dengan Kebudayaan dan tipikal
Orang Muna..
Motif sarung
tenunan di NTT, Maluku dan Muna memiliki kemiripan satu dengan
lainnya yaitu garis-garis horisontal dengan warna-warna dasar seperti
kuning, hijau, merah, dan hitam. Bentuk ikat kepala juga memiliki kemiripan,
kecuali Maluku bentuk ikat kepalanya berbeda.
Orang Muna
juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di Australia. Sejak dahulu
hingga sekarang nelayan-nelayan Muna khususnya di Pulau Siompu, Kadatua dan
Kepulauan Talaga sering mencari ikan atau teripang dan lola hingga ke perairan
Darwin.
Telah
beberapa kali Nelayan Muna ( dalam laporan penelitian Program Study Pendidikan
Sejarah FKIP Unidayan, ditulis Buton) ditangkap di perairan sekitar
Darwin oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya
hubungan tradisional antara orang Muna dengan suku asli Australia
Aborigin ( La Ode Abd Munafi & Andi Tendri,2002 ).
La Kimi Batoa
dalam bukunya ‘Sejarah Kerajan Muna’ terbitan CV Astri Raha menjelaskan
bahwa penduduk asli Pulau Muna adalah O Tomuna dan Batuawu.
O Tomuna memiliki ciri-ciri berkulit hitam, rambut ikal tinggi badan
antara 160- 165 Cm. Ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum suku-suku malanesia
dan Australia .
Suku-suku di
Indonesia yang memiliki ciri-ciri seperti ini mendiami wilayah Irian dan
Australia ( suku Aborigin). Sedangkan Batuawu berkulit Coklat berambut
ikal dan tinggi tubuh berkisar 150-160 Cm. Postur tubuh seperti ini merupakan
ciri-ciri yang dimiliki suku-suku Polynesia yang mendiami Pulau
Flores dan Maluku. Suku asli Muna menggunakan Bahasa muna sebagai bahasa
sehari-hari.
B. SEBARAN WILAYAH
HUNIAN ORANG MUNA
Suku asli
Muna ( O Tomuna & Batuawu ), Menghuni Pulau Muna sejak ribuan
tahun yang lalu. Bahkan selain menghuni Pulau Muna Orang Muna juga
menjadi menghuni sebagaian besar wilayah Pulau Buton dan Pulau-Pulau
kecil lainnya seperti Pulau Talaga, Kadatua dan Pulau Siompu yang saat ini
masuk dalam wilayah administrasi kabupaten Buton. Penyebaran Suku asli Muna (
Baca; Orang Muna )di Pulau Buton dan pulau-pulau lainya di Sulawesi Tenggara
itu dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, bentuk tubuh, warna kulit
dan kebuadayaan masyarakatnya.
Kebudayaan
yang paling menonjol dari Orang Muna adalah menjadi pelaut. Kebiasaan mengarungi
lautan telah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dapat dilihat dari
gambar-gambar perahu yang terdapat di dinding Gua Liangkobori. Jadi boleh jadi
dari kebiasaan mengarungi lautan itulah Orang Muna menyebar keseluruh kepulauam
di Sulawesi Tenggara, bahkan sampai ke Darwin Australia.
Dalam
literatur dan juga dalam pergaulan, Orang Muna lebih dikenal sebagai orang
Buton. Hal ini disebabkan karena Kerajaan/Kesultanan Buton, atas bantuan
Belanda, mengkooptasi Kerajaan Muna dan mengklaimnya sebagai bagian dari
Wilayahnya. Kendati demikian maasyarakat dan pihak istana Kerajaan Muna tidak
pernah mengakuinya.
Hingga
Kerajaan/Kesultanan Buton dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1962,
Raja– raja Muna terus melakukan perlawanan terhadap kooptasi Buton dan
sekutunya, Belanda. Konsekuensi dari perlawanan tesebut adalah diasingkannya
beberapa Raja Muna ke Pulau Sumatera, Jawa dan Ternate serta Pulau Banda.
Ada
beberapa Raja-Raja Muna yang tercatat dalam sejarah yang pernah melakukan perlawanan
(fisik mapun politik) terhadap Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton seperti
Raja La Ode Ngkadiri, Wa Ode Wakelu (permaisuri Raja La Ode Ngkadiri), Raja La
Ode Saete, La Ode Ngkaili, Raja La Ode Umara, La Ode Pulu dan yang terakhir
Raja La Ode Dika gelar Komasigino.
Perlawanan
Raja La Ode Dika ditunjukan saat menghadap Sultan Buton La Ode Salihi.
Dihadapan Sultan Buton, Raja Muna La Ode Dika tidak melakukan
penghormatan sebagai mana layaknya bawahan terhadap atasan, bahkan dengan
ketegasannya Raja Muna La Ode Dika mengacungkan telunjuknya ke Pada Sultan
Buton.
Tata cara
yang dilakukan oleh Raja Muna La Ode Dika tersebut dianggap sebagai perlawanan
dan ancaman oleh Sultan Buton sehingga dilaporkan pada Pemerintah Kolonial
Belanda di Makassar. Akibat dari sikapnya tersebut La Ode Dika dicopot
dari jabatannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan secara sepihak pemerintah
kolonial menyatakan Kerajaan Muna berada dibawah pengawasannya ( 1938-1941 )
hingga akhirnya melantik La Ode Pandu sebagai penggantinya.
Kenyataan
lain yang menunjukkan bahwa Kerajaan Muna tidak pernah mengakui klaim
Kesultanan Buton dan sekutunya Kolonial Belanda adalah kuatnya pengaruh
kebudayaan Muna mempengaruhi kehidupan masyarakat di Kesultanan Buton khususnya
pengguanaan bahasa Muna. Fakta ini masih dapat dilihat sampai saat ini dimana
penutur bahasa Muna (orang Muna) yang mendiami sebagian besar wilayah ex
Kerajaan/Kesultanan Buton masih dapat dilihat sampai saat ini..
Orang
Muna menjadi penghuni Pulau Muna dan Pulau-pulau lainnya sejak
jaman purbakala. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan relief purba di gua
Liangkobori dan Gua Metanduno. Menurut beberapa penelitian relief tersebut
telah berusia lebih dari 25.000 tahun. Relief yang ada di Gua Liangkobori dan
Metanduno secara jelas menceritakan peradaban dan kebudayaan Orang Muna
saat itu.
Relief yang
terdapat digua tersebut memberikan gambaran bahwa walau Orang Muna
masih menempati Gua sebagai tempat tinggal mereka, tetapi mereka telah memiliki
peradaban dan kebudayaan yang cukup tinggi. Orang Muna saat itu seperti yang
diceritakan dari relief tersebut telah menggunakan alat-alat
pertanian dalam bercocok tanam, telah menguasai teknologi pelayaran serta
memiliki pengetahuan dibidang astronomi.
Kebudayaan
Orang Muna seperti tersebut diatas diketahui dari gambar-gambar
yang ada pada Gua Liangkobori seperti gambar tanaman perkebuanan, gambar orang
yang sedang berburu dengan menunggang kuda, gambar perahu layar, gambar
matahari, bulan dan bintang dan lain-lain.
Pengetahuan
Orang Muna di bidang astronomi tersebut selain berkaitan dengan pengetahuan
dibidang kelautan sebagai penunjuk arah juga berkaitan dengan kebudayaan bidang
pertaian dan astrologi. Pengetahuan astronomi dan astrologi tersebut
masih terus di lestarikan sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat dari
Masyarakat Muna di pedalaman yang masih mengandalkan pengetahuan tradisional
dibidang astronomi untuk menentukan musim tanam. Demikian juga dalam melihat
hari baik untuk melakukan suatu aktifitas, masyarakat Muna sampai saat ini
masih mengaitkan dengan peredaran bulan dan bintang. Pengetahuan masyarakat
Muna dalam bidang astrologi dinamakan “kutika”.
Ada beberapa
nama Rasi bintang yang menjadi petunjuk untuk melakukan aktifitas pertanian.
Misalnya saja Rasi Bintang yang di namakan Fele, apabila rasi bintang
ini sudah mulai terlihat jelas, maka aktifitas membersikan lahan segera di
mulai sebab satu bulan lagi hujan pertama akan turun. Apabila hujan sudah turun
maka pembakaran lahan dimulai.
Demikian pula
dengan penguasaan Orang Muna terhadap Teknologi pelayaran dapat dilihat yang
mana sampai saat ini Orang Muna dikenal sebagai nelayan-nelayan tangguh yang
dapat mengarungi samudera sampai Australia. Bukti itu dapat dilahat
dengan banyaknya nelayan-nelayan Orang Muna yang ditangkap di Negara Australia
pada saat mencari ikan dan lola dinegeri tersebut.
Belum ada
penelitian yang mengungkap secara pasti sejak kapan Orang Muna menghuni
Pulau-Pulau lain selain pulau Muna. Namun kalau melihat dari relief-relief yang
ada di liangkobori dapat diperkirakan bahwa Orang Muna telah menjadi penghuni
Pulau-Pulau tersebut lebih dari 25.000 tahun yang lalu yaitu jauh sebelum
relief yang ada di Liangkobori dibuat.
Gambar
perahu/kapal yang terdapat gua tersebut menunjukan bahwa waktu itu Orang
Muna telah menguasai teknologi Kelautan serta telah melakukan perjalanan keluar
Pulau Muna dengan menggunakan perahu/kapal. Jadi dari kebiasan melakukan
penjelajahan samudera tersebut sehingga Orang Muna banyak mendatangi tempat
lain termasuk pulau-pulau yang ada di sekitar Pulau Muna yakni Pulau Buton,
Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga bahkan sampai di darwin Australia.
C. ORANG MUNA DALAM MEMBANGUN PER-ADABAN
DI SULAWESI TENGGARA
1. Orang
Muna Di Pulau Muna
Sebelum
Sawerigading dan pengikutnya yang berjumlah 40 orang tiba di Pulau
Muna, Orang Muna yang dikenal sebagai O Tomuna dan Batawu telah menghuni Pulau
Muna. Bukti keberadaan Orang Muna tersebut dijelaskan dalam relief yang
terdapat pada dinding Gua Liangkobori dan Gua Metanduno yang terletak sekitar
Kawuna-wuna jaraknya 15 Km dari Kota Raha Ibu Kota Kabupaten Muna saat ini.
Menurut Kosasi relief di dinding Gua Liangkobori dan Gua Metanduno berumur
sekitar 25.000 tahun.
Relief yang
terdapat didinding kedua gua tersebut menggambarkan bahwa Orang Muna saat itu
telah memeiliki peradaban dan kebudayaan yang cukup maju. Jadi Sawerigading dan
pengikutnya bukan orang pertama yang menjadi penghuni Pulau Muna, tetapi ketika
merek mendarat, mereka langsung berbaur dengan kelompok masyarakat ( Orang Muna
) lainnya dan membangun peradaban baru yang lebih maju.
Penghuni
Pulau Muna sebelum kedatangan Sawerigading dan Pengukutnya masih mendiami
gua-gua yang memang banyak terdapat di Pulau Muna sebagai tempat tinggal
mereka. Kehidupan mereka masih sangat tergantung dengan alam. Mereka hidup dari
berburu hewan dan memetik langsung makanan dari alam. Penduduk asli Pulau Muna
belum mengenal bercocok tanam.
Peradaban
dan kebudayaan Suku asli Pulau Muna semakin berkembang setelah berbaur
dengan empat puluh orang pengikut Sawerigading. Pola hidup mereka
yang sebelumnya mengandalkan meramu dan berburu dalam mencukupi kebutuhan
pangannya, kemudian berupa dengan polah bercocok tanam dan berternak.
Selain itu mereka juga mulai membentuk koloni-koloni dan mulai membangun
perkampungan di luar gua.
Seiring
dengan pertambahan penduduk, koloni-koloni tersebut berubah menjadi kampung dan
permasalahan mereka menjadi kompleks. Untuk mengatur kehidupan social mereka,
kemudian mereka mengangkat seorang pemimpin diantara mereka yang di gelar
dengan kamokula ( Yang di tuakan ).
2. ORANG MUNA DALAM
MEMBANGUN PERADABAN DI NEGERI BUTON
Jauh sebelum
Rombongan Mia Pata Miana ( orang yang empat) yakni Sipanjonga,Sitamanajo,
Simalui dan Sibatara mendarat di Pulau Buton, Orang Muna telah menjadi penghuni
Pulau tersebut.
Dalam
hikayat Mia Patamiana, dikisahkan bahwa pada saat
Armada Simalui yang berjumlah 40 orang mendarat di sebelah
Timur Laut Negeri Buton ( diperkirakan disekitar Kamaru ) pada tahun 1236 M,
mereka bertemu dan berbaur dengan masyarakat lokal kemudian membentuk
sebuah pemukiman. Selain itu mereka juga membuat benteng sebagai pertahanan
dari serangan dari luar.
Demikian juga
dengan armada Mia Pata Miana yang lain ( Sipanjonga, Sijawangkati
dan Sitamanjo), pada saat mendarat di suatu wilayah mereka langsung
berbaur dengan masyaarakat Lokal yang menggunakan bahasa Pancana ( Muna )
sebagai bahasa tutur diantara mereka. Kisah seperti yang diceritakan
dalam hikayat Mia Pata Miana ini diperkuat dengan fakta dimana
sampai saat ini masyarakat yang mendiami wilayah tempat pendaratan mereka masih
menggunakan bahasa Muna ( Pancana ) sebagai bahasa tutur.
Dari
fakta ini dapat di asumsikan bahwa jauh sebelum Mia Patamiana mendarat di
negeri Buton, Suku asli Muna telah menjadi penghuni Pulau Buton.
Setelah Mia
Patamiana dan pengikutnya datang di Pulau Buton kemudian berbaur dengan
Orang Muna yang terlebi dahulu menempati Pulau Buton mereka membangun peradaban
yang lebih maju lagi sampai menjadikan Wolio/Buton sebagai sebuah kerajaan.
Kerajaan Wolio dibangun atas kesepakatan para pendatang dari melayu, cina, Jawa
( Majapahit) dan Orang Muna yang yang telah berbaur sebelumnya dan
membentuk empat komunitas besar ( Pata Limbona).
Tidak sampai
disitu saja, ketika Kerajaan Buton dipimpin oleh raja Buton V yang bernama La
Mulae terjadi kekacauan yang luar biasa di kerajaan Buton akbiat terror yang
dilakukan oleh La Bolontio seorang bajak laut dari Tobelo.
Teror
tersebut nyaris meruntuhkan kerajaan Buton. Dalam Kondisi yang kacau balau
itulah, Putera raja Muna VI Sugi Manuru yang bernama La Kilaponto datang
menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Dengan kesaktiannya dalam waktu
singkat penyebar terror tersebut dapat ditumpas ( Baca; La Kilaponton Omputo
Mepokonduaghono Ghoera ).
Setelah Raja
Buton V meninggal, tidak ada satupun yang berani menggantikannya untuk menjadi
raja. Olehnya itu para tetua dinegeri Buton bersepakat untuk melantik La
Kilaponto menjadi Raja buton menggantikan La Mulae. Padahal waktu itu La
kilaponto baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII menggantikan ayahandanya
Sugi Manuru yang telah tua.
Karena merasa
bertanggung jawab untuk menyelamatkan negeri Buton yang telah dibangun leluhurnya
serta petuah ayahandanya, La Kilaponto menerimah amanah tersebut dengan
konsekuensi harus mengemban jabatan raja pada dua kerajaan sekaligus dalam
waktu yang bersamaan
.dikisahkan
pula selain pada Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton, pada waktu yang bersamaan
pula La Kilaponton juga menjadi raja pada kerajaan Konawe, kerajaan Kabaena dan
Kerajaan kaledupa
Terhitung
sejak masa pemerintahan La Kilaponto sampai masa pemerintahan Sultan
Buton IV La Elangi gelar Dayanu Ikhsanuddin orang Muna menjadi penguasa dan
berperan melakukan penataan terhadap system pemerintahan, hukum dan mebangun
tatanan sosial kemasyarakat di negeri Buton adalah selama hampir dari dua ratus
tahun.
Mengapa La Kilaponto dan penerusnya sampai La Elangi di katakana sebagai Orang
Muna ? Sebab berdasarkan hasil penelusuran sejarah dan analisis terhadap
sislsilah Raja-raja/Sultan Buton yang dilakukan penulis terungkap bahwa
Sultan Buton I ( La Kilaponton ) sampai Sultan Buton IV ( La Elangi ) tidak
memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja-Raja Buton terdahulu ( Baca; La
Kilaponto Omputo Mepokonduaghono ghoera).
Itu artinya
bahwa peranan Orang Muna dalam membangun peradaban di negeri Buton, sampai
menjadikan Negeri itu menjadi sebuah Kesultanan yang di kenal dalam
pergaulan dunia sangat besar dan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Perananan
Orang Muna di Kesultanan Buton mulai didistorsi setelah Kolonial Belanda dapat
mempengaruhi para petingi di Kesultanan Buton. Bukti bahwa Kolonial Belanda
telah mempengaruhu petinggi di Kesultanan Buton khususnya golongan ‘sara’
adalah ketika ‘sara’ berhasil mendepak Sultan Buton II La Tumpamasi dari
jabatannya sebagai Sultan. Golongan ‘sara’ mengamgap bahwa Sultan La Tumpamasi
dalam menjalankan pemerintahanya terlalu keras melawan Kolonial Belanda.
Pendistorsian
peranan Orang Muna tersebut berkaitan dengan keinginan Kolonial Belanda untuk
dapat mengasai kesultanan Buton. Orang Muna yang saat itu sedang berkuasa di
Kesultanan Buton diangap sebagai penghalang bagi Kolonial Belanda untuk
memwujudkan ambisinya tersebut karena sejak awal Orang Muna yang dipelopori
oleh La Kilaponto telah menganggap Bangsa Eropa dalam hal ini termasuk Belanda
adalah musuh yang harus diperangi.
Keinginan
Belanda untuk menguasai Kesultanan Buton yang saat itu sedang dikuasai oleh
orang muna berkaitan dengan letak Kesultana Buton yang strategis yaitu sebagai
pintu gerbang yang menghubungkan antara wilayah timur dan Barat Nusantara. Apa
lagi waktu itu Kolonial Belanda sedang berkonfrontasi dengan Kerajan Gowa di
satu pihak dan melawan pengaruh dua kekuatan Kolonial yang telah menuasai
wilayah Timur Nusantara yaitu Portugis dan Spanyol..
. Kolonial
Bealnda melihat bahwa letaknya sangat strategis sehingga
sangat cocok untuk dijadikan sebagai basis pertahanan dari
C. ORANG MUNA DALAM MEMBANGUN PERADABAN DI KONAWE /MEKONGGA.
Tidak saja di
Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton Orang Muna berperan aktif dalam membangun
peradaban, tetapi di juga di Kerajaan lainnya di Sulawesi Tenggara yaitu
Konaw/Mekongga. Bahkan dalam beberapa literatur mengungkapkan bahwa
Orang Muna yang dipelopori oleh La Kilaponto berperan aktif membangun peradaban
di Kerajaan Konawe/Mekongga sejak La Kilaponto belum menjadi Raja di Kerajaan
Muna maupun di Kerajaan Buton.
Berbeda
dengan Kedatangan Orang Muna di Buton yang dilakukan sejak jaman purba, kedatangan
Orang Muna ( La Kilaponto) di Konawe/Mekongga, dikarenakan adanya hubungan
kekerabatan antara Raja-Raja Muna dengan Raja-Raja Konawe sebagai mana kutipan
berikut
“
Setelah beberapa lamanya maka terdengar chabar oleh La Kilaponto ( Murhum)
bahwa mama dari Wa Sitao anak dari Mokole Konawe telah meninggal dunia dengan
meninggalkan harta benda yang menjadi pusaka Wa Sitao dan Wa Randea nenek
Murhum tersebut. Mendengar itu, maka La Kilaponto ( Murhum) sampailah di Konawe
dan disebut namaanya La tolaki. Beberapa lamanya beliau menjadi Mokole
Konawe, maka terjadilah perang antara Mekongga dan Konawe, dalam peperangan itu
dimana Konawe mendapaat kemenangan” ( La Ode Abdul Kudus, 1962;2).
Namun
Said D berpendapat lain, menurutnya kedatangan Orang Muna ( La Kilaponto ) di
Kerajaan Konawe/Mekongga akibat adanya keinginan La Kilaponto untuk melakukan
perlawatan pada Kerajaan-kerajaan yang pernah di hancurkan oleh La
Bolontio, tokoh bajak laut bermata satu yang telah dikalahkannya pada suatu
pertempuran di Boneatiro. Dalam perjalanan menuju Konawe, kebetulan
kerajaan itu sedang bertikai dengan Kerajaan Mekonga. Hanya dalam waktu delapan
hari La Kilaponto dapat menyelesaikan pertikaian itu. Atas jasanya tersebut, La
Kilaponto kemudian diangkat menjadi Mokole Konawe dan dianugerahi gelar
Haluoleo ( Said D, 2007 ; 148 ).
Tidak ada
catatan sejarah yang megungkap sejak tahun berapa La Kilaponto di lantik
menjadi Mokole Konawe, tapi yang pasti hingga dia di lantik mejadi Raja Muna
pada tahun 1538, La Kilaponto masih menjabat sebagai Mokole Konawe,
bahkan sampai Kerajaan Buton berubah menjadi Kesultanan dan La Kiaponto
menobatkan diri sebagai Sultan Pertamanya pada tahn1541 La Kiaponto masih
menjadi Mokole Konawe.
Jadi dalam
kurun waktu tiga tahun Orang Muna ( La kiaponto ) menjadi raja di tiga
Kerajaan dalam waktu yang bersamaan. Dalam lteratur lain mengungkakan sesunguya
selain tiga kerajaan besar tersebut, turut pula dua kerajaan lainnya yaitu
Kobaena dan Mekongga ikut menyertakan diri dibawah kekuasaan Orang Muna (
La kilaponto ) sebagaimana kutipan berikut
‘ Adapun
tatkala Murhum menjadi raja dalam negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum,
maka menjadilah sekalian negeri karena ia Raja La Kilaponto membawahi
negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri ini
seperti Kaledupa dialihkannya, Mekongga dialihkannya dan Kobaena dialihkannya.
Maka sekalian negeripun dialihkannya oleh Murhum’ ( Koleksi belanda, hal 1)’
BAB III
BAHASA MUNA
Selain nama kerajaan/kabupaten/ pulau, Muna juga
menjadi nama sebuah bahasa yang digunakan oleh suku bangsa Muna yang mendiami
Pulau Muna, Pulau Buton dan Pulau-pulau kecil di sekitar kedua pulau tersebut
seperti Pulau Kadatua, Pulau Siompu dan Pulau Talaga ( Kabupaten Buton ).
Dr Rene van den Berg, dosen linguistik di Darwin, Australia yang melakukan penelitian
Bahasa Muna menjelaskan bahwa sebaran wilayah yang masyarakatnya menggunakan
Bahasa Muna sebaagai bahasa tutur yang berada di daratan Pulau Buton
adalah wilayah Kecamatan Batauga , Lasalimu, kamaru, Kapontori,
Labuandiri, Lawele, laonti kambe-kambero, Bosuwa, Lawela ( Kabupaten Buton ),
Kecamatan Betoambari (Katobengke-Topa-Sulaa-Lawela), Kecamatan Bungi (
Lianbuku, Wonco, Bungi, Palabusa ) , Kecamatan Kokalukuna ( Pulau Makasar) di
Kota Baubau serta di ex kerajaan Muna meliputi Kecamatan Kambowa,
Kecamatan Wakorumba dan Kecamatan Bonegunu Kabupaten Buton Utara, serta
Kecamatan Wakorsel, Maligano dan Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Muna.
Belum ada yang menjelaskan secara ilmiah mengapa Suku Muna
yang menggunakan bahasa muna yang awalnya menghuni Pulau Muna dapat tersebar
begitu luas di daratan Pulau Buton dan Pulau-Pulau disekitarnya ( ex
Kesultanan Buton). Sebagian sejarahwan Buton menulis bahwa luasnya
sebaran wilayah yang dihuni oleh Suku Muna di Pulau Buton hingga menguasai hampir
seluruh Pulau Buton adalah migrasi besar-besaran Suku Muna akibat tidak
kondusifnya Kerajaan Muna sehingga mencari perlindungan pada Kesultanan Buton
yang lebih aman.
Namun argumentasi tersebut terbantahkan dengan adanya
fakta seperti yang dikisahkan dalam hikayat Mia patamiana. Hikayat tersebut
mengisahkan bahwa jauh sebelum kerajaan Buton terbentuk Suku Muna telah
menjadi penghuni Pulau Buton. Fakta itu dapat dilihat dari setiap
wilayah yang menjadi tempat pendaratan Mia Patamiana, orang yang
diakui sebagai orang yang memulai peradaban di Negeri Buton
masyarakatnya menggunakan bahasa muna sebagai bahasa tutur
mereka. Ini juga dijelaskan dalam hikayat Mia Patamiana dimana ketika sitamajo
salah seorang dari empat orang Mia Patamianaa mendarat di Kapontori mereka
telah menemukan masyarakat lokal yang menggunakan Bahasa Muna sebagai bahasa
komunikasi diantara mereka.
Demikian pula ketika armada Mia Patamiana lainnya ( Simalui,
Sijawangkati dan Si Batara ) mendarat disuatu wilayah seperti Kamaru,
Lasalimu, Kadatua dan Topa mereka selalu bertemu dengan penduduk lokal
yang menggunakan bahasa Muna sebagaai bahasa tutur mereka. Bukti kuat
dari itu adalah sampai saat ini masyaarakat diwilayah tersebut tetap
menggunakan Bahasa Muna sebagai bahasa primer mereka selain Bahasa Indonesia.
Berdasarkan luas wilayah dan kuantitas pengguna Bahasa Muna
sebagai bahasa Tutur di Sulawesi tenggara, bahasa Muna merupakan bahasa
kedua penutur terbanyak setelah Bahsa Tolaki-Mekonggga. Secara geografis
penyebaran penutur kedua bahasa tersebut juga berbeda. Bahasa Tolaki-Mekongga
sebarannya di daratan Pulau Sulawesi Bagian Tenggara, sedangkan Bahasa Muna
Penuturnya tersebar di Kepulauan termasuk dua pulau besar yaitu Muna dan Pulau
Buton.
Dr, Rene Van dengberg juga menemukan penutur bahasa Muna
ternyata bukan saja di tersebar di wilayah kepulauan Sulawesi bagian tenggara
tetapi di sebagian Pulau Ambon dan kepualauan Maluku Utara. Dr. Rene Van
Denberg tidak menjelaskan sejak kapan bahasa muna digunakan oleh maasyaarakat
Pulau Ambon dan Kepulauan Maluku Utara serta bagaimana proses
penyebarannya.
Mungkin saja penyebaran bahasa Muna di Pulau Ambon dan
Kepulauan Maluku utara tersebut lakukan oleh La Ode Wuna Putra raja Muna VI
Sugi Manuru.
Tradisi lisan masyarakat Muna menjelaskan bahwa salah
seorang Putra Raja Muna VI Sugimanuru yaitu La Ode Wuna yang berwujud Ular
berkepala manusia diusir karena berulah yang dapat mencoreng kewibawaan
ayahaandanya sebagai Raja.
Setelah diusir dari kerajaan Muna, La Ode Wuna
kemudian berlayar menuju Pulau Halmahera di Maluku Utara. Dalam
pelayaranya La Ode Wuna yang dikenal sakti menumpang pada dua buah kelapa.
Sesampainya di pantai Pulau Halmahera ( maluku Utara ), La Ode Wuna kemudian
menanam kelapa yang menjadi tumpangannya tersebut di pantai dimana dia
terdampar. Jadi ada kemungkinan La Ode Wuna dan pengikutnyalah yang pertama
menyebarkan bahasa Muna di Kepulauan Maluku/maluku Utara melalui alkulturasi
budaya.
“Bahasa Menunjukan Bangsa” demikian dikatakan JS.
Badudu, seorang pakar bahasa Indonesia yang terkenal pada masa Orde Baru karena
mengeritik dialek Presiden Suharto yang melafalkan kata makin dengan mangkin.
JS. Badudu menyadari bahwa bahasa merupakan identitas dan jati diri bangsa.
Olehnya itu setiap orang termasuk Suharto harus melafalkan pengucapan setiap
kalimat bahasa sesuai dengan kaidah tata bahasa yang baik dan benar sebagai
manifestasi jati diri dan identitas suatu bangsa, dalam hal ini Bangasa Indonesia.
Menurut JS. Badudu kebesaran suatu bangsa dapat
dilihat dari seberapa besar kecintaan bangsa itu dengan bahasanya. Salah satu
bentuk dari kecintaan tersebut adalah ditentukan dengan kualitas dan kuantitas
orang yanng menggunakan bahasa bangsa tersebut.
Mengapa JS. Badudu menekankan penggunaan bahasa dengan
eksistensi suatu bangsa? Hal ini terjawab dengan sejarah kolonialisme moderen
di mana untuk dapat mengifiltrasi suatu bangsa, maka hal pertama yang
dilakukan bangsa tersebut adalah menyebar luaskan penggunaan bahasanya pada
bangsa yang di incarnya.
Bila melihat pengguna Bahasa Muna yang hampir melingkupi
seluruh wilayah ex Kesultanan Buton, mungkinkah kita dapat berasumsi bahwa
Buton itu merupkan bagian atau koloni dari Kerajaan Muna? Atau mungkinkah
Bahasa Muna merupakan bahasa Kesultanan Buton?
Pertanyaan diatas perlu diteliti lebih mendalam lagi, sebab
berdasarkan artikel-artikel sejarah yang ditulis oleh sejarawan buton selama
ini dikatakan bahwa bahasa kesultanan Buton adalah Bahasa Wolio. Padahal
berdasarkan penelitian dan fakta yang ada hari ini pengguna bahasa Wolio
hanyalah melingkupi masyarakat satu Kecamatan ( Kecamatan Wolio )dari 6
Kecamatan yang ada di Kota Bau-bau saat ini, selebihnya menggunakan bahasa Muna
( sebagian besar ) dan bahasa Cia-cia ( sebagian kecil-khususnya di kecamatan
Sorawolio).
Soerjono Soekanto Dalam buku Sosiologi Suatu pengantar (
1990) mengatakan interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi
dua syarat yaitu: 1) Adanya kontak sosial ( social contact, 2) adanya
komunikasi. Apabila salah satu dari dua syarat tadi tidak terpenuhi maka
mustahil terjadi interaksi sosial. Jadi bagai mana suatu kelompok dapat
berkomunikasi dengan kelompok lain bila tidak saling memahami bahasa
masing-masing? Padahal arti penting dari suatu komunikasi adalah memberikan
penafsiran perilaku orang lain melalui pembicaraan dan gerak-gerak badania (
Sujano Sukanto, 1990:71-73).
Jadi kalau kita masih tetap mengakui bahwa bahasa merupakan
identitas dan jati diri suatu bangsa, maka bagi mana bisa bahasa Wolio dapat
dikatakan menjadi identitas dan jati diri Kesultanan Buton? Badingkan dengan
Bahasa Muna yang digunakan oleh hampir seluruh masyarakat ex Kesultanan Buton.
Bukankah itu dapat dikatakan bahwa Bahasa Muna telah menjadi identitas
dan jati diri Bangsa dari Kesultanan Buton? Untuk menjawab semua itu
diperlukan suatu kejujuran dan kebesaran hati para sejarawan untuk mengungkap
kebenaran sejarah dengan tidak perlu ada yang ditutup-tutupi.
A. AKSEN
Dr. Rene Van Debrg dalam penelitiaannya menemukan bahwa
bahasa Muna memiliki banyak aksen. Setiap wilayah penyebaran bahasa muna
memiliki aksen sendiri-sendiri dalam pengucapannya seperti aksen Bosua,
Kamaru,Kaimbulawa,Lasalimu dan Muna, sedangkan menurut Burhanuddin ada juga aksen
Pancana.
Aksen Bosua digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Batauga,
pantai barat daya Pulau Buton, sebelah selatan wilayah Katobengke-Topa-Sulaa
dan Lawela. Sedangkan aksen Kaimbulawa digunakan oleh masyarakat ‘Siompu.
Lantoi, Kambe-Kambero , Liabuku, Barangka dan Kapontori.
Aksen Kamaru digunakan oleh masyarakat di Kecamatan
kamaru kabupaten buton. Aksen Pancana di Gunakan oleh masyarakat yang mendiami
pulau Muna bagian Selatan yaitu masyarakat Gu dan mawasangka. Aksen Pancana
juga digunakan oleh masyarakat Pulau Talaga, Siompu dan Kadatua.
Setiap aksen dalam pengucapan bahasa Muna, dipengaruhi oleh
lingkungan dimana komunitas penggunanya menetap atau pengaruh luar dimana
penggunanya sering berintaraksi dengan dunia luar. Dari interaksi-interaksi dari
dua atau beberapa bahasa tersebut kemudian melahirkan aksen baru. Misalnya saja
Masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang
menggunakan Bahasa Wolio atau Cia-cia, maka aksennya akan berbeda dengan
masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan masyarakat dari luar seperti
melayu, jawa, arab dan lain-lain.
B.PENGUCAPAN
Bahasa Muna dari semua dialek/ aksen dalam pengucapannya
tidak mengenal konsonan dalam setiap akhir kata. Dalam kosa kata bahasa
muna tidak mengenal struktur konsonal vokal konsonan ( KVK ). Olehnya itu
penyerapan bahasa asing kedalam bahasa Muna apabila berakhir dengan konsonan
dalam pengucapannya pada akhir pengucapannya selalu ditambah dengan vokal (
a,e,i,o,u ). Atau di hilangkan huruf akhirnya sehingga berakhir dengan vokal.
Contohnya sandal, dalam bahasa Muna pengucapannya di tambah dengan vokal ‘i’
sehingga pengucapannya menjadi sandal(i), atau Pelabuhan misalnya
di hilangkan hurup ‘n’ sehungga dalam pengucapannya menjadi ‘pelabuha’(n).
Selain tidak mngenal vokal dalam akhir kata, dalam alfabet
bahasa Muna asli juga tidak mengenal huruf ‘C.’ Namun pada aksen
Kaimbulawa dan pancana huruf C digunakan untuk mengganti huruf ‘T’
pada aksen Muna asli contonya ‘ihintu’ ( Kamu) dalam bahasa Muna asli
bila diucapkan dalam aksen Kaimbunawa dan Pancana maka menjadi ‘isincu’
Penggunaan Hurup ‘C’ dalam pengucapan bahassa Muna
tersebut mungkin saja dipengaruhi oleh bahasa Cia-cia. Hal ini
dapat dimungkinkan karena masyarakat yang meggunakan huruf ‘c’ dalam
pengucapannya pada umumnya masyarakat yang dalam pergaulannya sangat dekat
dengan masyarakat Cia-cia. Jadi karena pergaulan itulah sehingga terjadi
perpaduan bahasa kedua suku bangsa tersebut.
Ada juga kemungkinan bahwa penggunaan huruf ‘C’ tersebut
dipengaruhi oleh bahasa Wolio. Hal ini terutama mempengaruhi masyarakat
yang dalam pergaulannya sehari-hari sangat dekat dengan masyarakat pengguna
bahasa wolio. Mereka itu adalah masyarakat yang berdiam disekitar kecamatan
Wolio seperti Katobengke, palabusa, bosuwa,dan Pulau makasaar.
BAB V
RAJA—RAJA
MUNA DAN
PERJUANGANNYA.
Dari 39
Raja-Raja Muna yang telah memerintah dikerajaan muna tidak semua memiliki
catatan sejarah yang dapat diungkap . Untuk itu dalam tulisan ini penulis
hanya mengungkap beberapa orang saja dengan perjuangannya masing-masing serta
masa pemerintahan dan sistem pemerintahannya..
Pengungkapan
ini bertujuan untuk menjadi pembelajaran pada geberasi agar mereka
mengenal sejarah kejayaan nenek moyang mereka serta bagaimana perjuangan mereka
dalam membesarkan Kerajaan Muna dan kegigihan mereka dalam mengusir penjajah
belanda dari Kerajaan Muna.Pengungkapan sejarah ini juga bertujuan untuk
menumbuhkan rasa bangga sebagai generasi Muna karena ternyata raja-raja
Muna masa lalu telah menggoreskan tinta emas dalam catatan sejarah, baik
sejarah ditingkat Lokal Sulawesi tenggara maupun ditingkat nasional.Raja-Raja
Muna dan segenap masyarakatnya masa lalu juga tidak pernah tunduk dengan
imperialisme dan liberalisme.
1. Raja Muna I – La Eli
alieas Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula, ( 1417 – 1467 ),
Bheteno ne
Tombula alias La Eli alias Baidhul Jamani adalah Raja Muna I. Bheteno ne
Tombula dipercaya sebagai orang pertama yang memulai beradabaan
baru dalam sistem sosial kemasyarakatan di Muna. Hal ini dikarenakan pada
masa pemerintahan Bheteno Ne Tombula Muna menjadi sebuah kerajaan dengan
struktur pemerintahan dan struktur sosial yang lebih moderen. Sebagai
seorang raja Sugi manuru juga melakukan penataan dalam sistem administrasi
pemerintahan, walapun pada waktu itu masyarakat Muna termasuk raja belum
mengenal tuulisan.
Bheteno Ne
tombula bukanlah orang Muna, beliau ditemukan dalam rumpun bambu oleh
sekelompok orang yang ditugaskan utnuk mencari bambu pada saat diadakan pesta
besar di Wamelai.
A. Bheteno Ne Tombula Versi
Tradisi Lisan Masyarakat Muna
Dikisahkan
dalam tradisi lisan masyarakat Muna bahwa pada suatu hari, Mieno ( Pemimpin
Wilayah ) Wamelai akan mengadakan pesta
raya, seluruh masyarakat Muna di delapan wilayah dikumpulkan untuk turut
membantu mempersiapkan pelaksanaan pesta tersebut.
Sekelompok
orang yang ditugaskan untuk mencari bamboo dihutan, menemukan seorang lelaki
yang gagah perkasa di dalam rumpun bamboo yang akan ditebang, ada juga yang
mengisahkan bahwa manusia tersebut ditemukan dalam ruas bamboo.
Karena
penemuan tersebut dianggap aneh, lelaki itu kemudian dibawah menghadap
pada mieno Wamelai . Dihadapan mieno Wamelai dan pemimpin wilayah lainnya
lelaki itu mengaku bernama LA ELI alias BAILDHUL
JAMAANI Putra Raja Luwu di Sulawesi selatan. Dituturkan
dalam tradisi lisan, kedatangan LA ELI alias BAILDHUL
JAMAANI di Muna untuk menunggu istrinya yang saat ini sedang
hamil dan akan datang menemui dirinya. Tempat pertemuan yang mereka sepakati
untuk pertemuan itu adalah Pulau Muna ( Wuna).
Selang
beberapa hari setelah penemuan manusia dalam rumpun bamboo tersebut,
tersiar kabar bahwa di Lohia pesisir Timur Pulau Muna, tepatnya di Laguna
Napabale ditemukan seorang wanita cantik. Wanita tersebut mengaku
bernama WA TANDI ABE . berasal dari kerajaan Banggai di Sulawesi
Tengah, dia datang di Muna dengan menumpang sebuah talang dan terdampar
ditempat itu. Tujuan kedatangannya adalah untuk bertemu dengan suaminya
yang telah menungguhnya disuatu tempat dimana talang yang ditumpanginya
terdampar.
Kabar tentang
terdamparnya seorang wanita di Lohia tersebut tersebar luas begitu cepat
dikalaangan masyarakaat. Pada suatu hari kabar itu sampai juga ditelinga MIENO
WAMELAI di Tongkuno, sehingga beliau memerintahkan agar wanita
tersebut di dibawa menghadap dirinya guna dipertemukan dengan LA ELI
alias BAIDHULJAMANI untuk di konfrontir.
Ternyata
setalah dipertemukan keduanya mengaku sebagai suami istri dan mereka yang
saling mencari . Dalam pertemuan tersebut Wa Tandi Abe juga mengaku dalam
keadaan hamil, dan janin dalam rahimnya tersebut adalah darah daging dari LA
ELI alias BAIDHUL JAMANI suaminya yang ada dihadapannya saat ini.
Karena
peristiwa itu dianggap luar biasa dan tidak lazim, maka rapat dewan adat
menyepakati untuk ‘memingit’ keduanya dalam sebuah kelambu
selama tujuh hari tujuh malam. Tujuan pemingitan adalah untuk mencegah
hal-hal negative yang timbul akibat penemuan dua orang yang aneh tersebut dan
mengaku sebagai Suami istri.
Setelah tujuh
hari dalam ‘pingitan’, ternyat tidak ada kejadian
yang luar biasa sehingga keduanya di keluarkan dari pingitan kemudian di
nikahkaan kembali menurut adat yang berlaku dikalangan masyarakat Muna.
Peristiwa
pemingitan tersebut akhirnya menjadi tradisi dan menjadi syarat yang harus
dilalui seseorang yang akan menjadi Raja Muna. Peristiwa ini juga menjadi
tradisi yang harus dilalui seorang wanita yang telah memasuki usia
baliqh sebagai tanda kalau wanita tersebut sudah siap untuk dinikahkan. Tradisi
ini diberi nama ‘ Kaghombo’ dan masih terpelihara dengan baik sampai
saat ini.
Perkawinan
antara LA ELI alias BAIDHUL JAMANI dengan WA
TANDIABE melahirkan tiga anak yaitu KAGHUA BANGKANO
FOTU. RUNTU WULAE dan KILAMBIBITO. KAGHUA
BHANGKANO FOTU kemudian menjadi Raja
Muna II dengan gelar SUGI PATOLA. Sugi
berarti ’Yang Dipertuan’. RUNTU WULAE
kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di sana sedangkan KILAMBIBITO
kawin dengan LA SINGKABU (kamokulano Tongkuno) Putera
dari MINO WAMELAI ( La Kimi. Sejarah Muna, Jaya Press
).
LAKILAPONTO
Raja Muna VII dan Raja Buton VI/ Sultan Buton I
manusia yang fenomenal karena pernah memimpin lima kerajaan dalam waktu yang
bersamaan berasal dari garis keturunan sugi tersebut.
Dalam sebuah
rapat dewan adat dan semua pemimpin wilayah, disepakati bahwa La Eli atau
Badhuljamani adalah manusia sakti dan pantas untuk dinobatkan menjadi pemimpin
tertinggi di Muna. Setelah dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi, La Eli/
Baidhuljamani mendeklarasikan Muna sebagai sebuah Kerajaan dan dirinya adalah
Raja Pertama dengan Gelar Bheteno Ne Tombula ( yang Muncul di Bambu ) sedangkan
istrinya ( permaisuri ) bergelar Sangke palangga ( yang menumpang pada talam).
Sejak saat itulah Muna menjadi sebuah kerajaan.
B. Menata Sistem Pemerintahan
Tugas pertama
Bheteno ne Tombula Setelah di nobatkan menjadi Raja Muna I adalah
melakukan penataan struktur pemerintahan dan struktur masyarakat di Kerajaan
Muna. Sistem pemerintahan yang dibangun pada awal masa pemerilnahan
Bheteno Netombula tersebut merupakan penyempurnaan dari sistem pemerintahan
terdahulu ( yang masih bersifat kelompok-kelompok komunitas dan berdiri
sendiri-sendiri. Lembaga-lembaga pemerintahan yang merupakan prasyarat sebuah
negara pun dibentuk dan kelompok – kolompok komunitas yang tadinya
berdiri sendiri diikat dalam sebuah lembaga besar yang bernama kerajaan Muna.
Strukur
pemerintahan yang dibentuk oleh Bheteno Ne Tombula sebagai penanda berdirinya
sebuah kerajan adalah:
:Þ Raja,
sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dengan gelar Kino
Wuna. Raja memiliki kewenangan dan kekuasaan yang sangat luas dan
besar yang melingkupi seluruh wilayah kerajaan. Titah raja merupakan hukum yang
harus dipatuhi oleh seluruh rakyat.
Þ Kepala
Pemerintahan Wilayah dengan gelar Mieno (pemimpin ) dan
Komokula ( Yang dituakan ) Kepala pemerintaha wilayah berkuasa dan
memiliki kewenangan dalam wilayah kekuasaannya dan tunduk pada Raja sebagai
pemimpin tertinggi. Wilayah administrsi pemerintahan wilayah berdasarkan
pembagan wilayah terdahulu sebelum terbentuknya kerajaan Muna. Pemerintahan
wilayah tersebut berjumlah 8 wilayah masing-masing 4 wilayah dipimpi oleh “
Mieno “ dan 4 wilayah dipimpin oleh “ Kamokula “. Kedelapan wilayah
tersebut adalah :
Pemerintahan wilayah tersebut kemudian dikenal dengan “
Wawono Liwu “ ( Negeri terdahulu ) adalah :
Empat yang dimpin Mieno
1. Mieno Kaura
2. Mieno Kansitala
3. Mieno Lembo
4. Mieno Ndoke. Dan
Empat yang dipimpin Kamokula :
1. Kamokulano Tongkuno
2. Kamokulano Barangaka
3. Kamokulano Lindo
4. Kamokulano Wapepi
Kedelapan
kepala pemerinahan admiistrasi pemerintahan wilayah tersebut an keturunanannya
kemudian oleh Sugi Manuru Raja Muna VI ketika melakukan penetapan strakta
sosial dalam masyarakat Muna dikenal sebagai “ Wawono Liwu “
Þ Papara
(Rakyat) atau kelompok yang diatur dengan gelar Ana ( yang dianggap
anak ).
C. Pembagian Golongan
Bheteno Ne Tombula juga melakukan pembagian strata/
penampisan golongan membagi masyaraakat Muna menjadi tiga Golongan yaitu
:
Þ Golongan
Beteno Ne Tombula, Golongan ini yang berhak menjadi raja.
Þ Golongan
Mieno Wamelai, Golongan ini berhak untuk menjadi kepalah
pemerintahan wilayah.
Þ Golongan
Rakyat adalah orang yang diatur.
2. Raja Sugi Manuru ( 1527-1538 .
SUGI MANURU adalah Raja Muna VI terkenal
bijaksana dan memiliki wawasan luas dan sangat ahli dalam ilmu ketata
negaraan. Dikalangan masyarakat Muna SUGI MANURU diberi
gelar sebagai ‘ omputo mepasokino Adhati’ artinya Raja yang
menetapkan Hukum , adat, nilai-nilai dan falsafa dasar berbangsa dan bernegara.
Gelar tersebut diberikan sebab pada masa pemerintahan SUGI MANURU
lah dirumuskan dan ditetapkan tatanan, nilai-nilai
dasr dan sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di kerajaan Muna.
Tatanan
kehidupan bermasyarakat yang dirumuskan dan ditetapkan pada masa pemerintahan
Sugi Manuru. Nilai-nilai dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara
tersebut dikaitkan dengan relevansi wilayah dalam hubungannya
dengan manusia, alam dan Tuhan.
Penetapan
hubungan wilayah dengan manusia tersebut dipengaruhi oleh ajaran dan
nilai-nilai islam. Itu artinya walaupun Sugi manuru belum memeluk islam, namun
nilai-nilai islam telah berpengaruh di kalangan istana kerajaan Muna.
Masuknya
pegaruh islam di Kerajaan Muna dalam sistem ketatanegaraan dikrajaan Muna pada
masa pemerintahan Sugi manuru setelah masuknya penyebar islam I di Muna yaitu
Syekh Abdul Wahid. Menurut beberapa catatan, Syekh Abdul Wahid adalah seorang
misionaris islam yang berasal dari Arab. Namun ada juga yang mengatakan bahwa
beliau adalah pedagang dari Gujarad.
Islam mulai
diajarkan secara luas oleh Syekh Abdul Wahid di Kerajaan Muna pada
masa-masa akhir pemerintahan Sugi manuru. Salah satu murid pertama Syekh Abdul
Wahid adalah La Kilaponto, Putera Raja Sugi Manuru yang kemudian menjadi Raja
Muna VII dan akhirnya menjadi Raja Buton VI.
Setelah
Menjadi Raja Buton, La Kilaponto kemudian memboyong gurunya tersebut di
kerajaan Buton. Hal inilah yang menyebabkan proses islamisasi di kerajaan muna
menjadi terhenti
.Hal yang
berbeda terjadi di Kerajaan Buton. Seiring dengan peningkatan intensitas
pengajaran islam di kalangan masyarakat buton, maka proses islamisasi di
Kerajaan tersebut berjalan sangat pesat. Bahkan dalam waktu tiga tahun
agama Islam resmi menjadi agama kerajaan.
Bukti
diterimanya agama islam sebagai agama kerajaan adalah berubahnya bentuk
Kerajaan menjadi kesultanan dan Sultan pertamanya adalah La Kilaponto. Setelah
resmi menjadi Sultan, Lakilaponto Kemudian Bergelar Sultan Qaimuddin
Khalifatul Khamis.
Sebagai mana
halnya dengan pemerintahan tradisonal lainnya, di kerajaan Muna juga
menganggap seorang raja sebagai poros kekuaasaan dan sumber keteladanan.
Jadi apapun yang dilakukan, diyakini atapun yang dititahkan raja
maka semua warga kerajaan wajib mengikuti tanpa terlebih dahulu
menannyakan apalagi menilai baik-buruknya. Jadi karena Islamisasi fase pertama
ini belum mampu mengislamkan raja serta masih kuatnya keyakinan Orang Muna
dengan kepercayan leluhurnya yaitu animisme dan dinamisme maka misi Misionaris
Islam pertam yakni Syeh Abdul Wahid di Muna dapat dikatakan mengalami
kegagalan, walau tidak sepenuhnya sebab Raja Munasaat itu Sugi Manuru telah
banyak memiliki pehaman terhadap nilai-nilai islam.
Sebagai mana
yang dijelaskan terdahulu, Walaupun pada masa Pemerintaha SUGI MANURU Islam
baru diperkenalkan oleh Syekh Abdul Wahid di Kerajaan Muna serta SUGI
MANURU sendiri belum memeluk islam, namun sepertinya SUGI
MANURU telah memiliki pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai Islam.
Pemahaman
Sugi manuru terhadap nilai-nilai islam dapat dilihat saat membagi
Kerajaan dalam empat wilayah besar yang disebut dengan Ghoera yaitu Ghoerano
Tongkuno, Ghoerano Lawa, Ghoerano Katobu. Dan Ghoerano Kabawo
Pembagian wilayah Kerajaan Muna menjadi empat Ghoera tersebut
oleh Sugi manuru di ibaratkan sebagai ;
1. Ghoerano Tongkuno di ibaratkan asal api hurufnya
alif.
2. Ghoerano Lawa di ibaratkan asal angin hurufnya ha.
3. Ghoerano Kabawo di ibaratakan asal air huruf nya mim.
4. Ghoerano Katobu di ibaratkan asal tanah huruf nya
dal.
Pengibaratan tersebut bertitik tolak pada hakikat
penciptaan manusia yang memiliki sifat– sifat api, angin,air dan
tanah.Keempat sifat tersebut kemudian diuraikan sebagai berikut ;
1. Sifat api; adalah menggambarkan manusia yang
memiliki emosi. Sebagaimana Api, emosi ini kalau dikelola dengan baik
akan memberi manfaat bagi banyak orang, tapi kalau tidak terkontrol maka akan
menyebabkan kehancuran yang besar.
2. Sifat
angin adalah menggambarkan manusia yang memiliki ambisi. Ambisi yang
dimiliki setiap manusia itu bagaikan senjata. Kalau ambisi berada pada orang
yang baik maka ambisi itu akan diarahkan pada hal-hal yang positif dan
menjadi motifasi untuk mencapai kesuksesan dengan cara-cara yang benar.
Tapi kalau berada pada orang yang tidak baik maka akan diarahkan pada ha-hal
yang negative bahkan kadang menghalalkan segala cara untuk mencapai apa
yang di cita-citakaan.
3. Sifat
air menggambarkan sifat manusia yang tenang selalu memberikan kesegaran
dan kesejukan serta menghilangkan dahaga. Namun demikian kalau
pengelolaan dan penggunaanya dilakukan dengan cara yang tidak baik dan tidak
benar, maka akan menjadi petaka. Air juga memiliki sifat selalu mengalir
ditempat yang lebih rendah, maksudnya manusia harus memiliki sifat rendah hati,
tidak sombong walau memiliki kekuatan yang besar.
Hal yang
paling pokok adalah sifat air yang selalu mengikuti bentuk wadahnya, ini
artinya manusia harus dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi dimana dia
berada.
4. Sifat
Tanah diibaratkan sebagai sifat manusia yang sabar dan tidak menuntut imbalan
atas segalah sesuatu yang dilakukan untuk kepentingan orang lain. Hal ini dapat
dilihat dari sifat tanah yang selalu sabar walalupun telah menumbuhkan tanaman
sebagai sumber kehidupan manusia, walaupun telah menyediakan tempat untuk
berpijak manusia tapi dia tidak pernah menuntut imbalan. Bahkan ketika diinjak
dan diberaki tanah tidak pernah marah.
Selain itu
empat huruf yang digunakan sebagai pengandaian empat wilayah dalam Kerajaan
Muna tersebut kalau dirangkai suatu kalimat ” Ahmad” Ahmad ini dalam sejarah
islam dan dalam Al-Qur’an disebut sebagai nama lain dari Muhammad SWA, nabi dan
rasul junjungan umat islam.
Begitu
bijaksananya , sehingga dalam melakukan pembagian wilayah pun SUGI MANURU
melakukan pengandaian dengan hakikat penciptaan manusia sebagaimana yang
dikandung oleh nilai-nilai islam.
Disebutkan pula bahwa SUGI MANURU yang
menetapkan pembagian golongan di Kerajaan Muna. Adapun golongan itu adalah
Kaoumu, Walaka, Olindo Fitu Bangkaono,dan Wawono Liwu. Yang secara hakikat
dapat pula dikatakan bahwa susunan golongan-golongan itu di ibaratkan sebagaai
struktur raga manusia yaitu :
Þ O
kaomu, di ibaratkan kepala manusia huruf nya mim awal.
Þ
O walaka di ibaratkan badan manusia huruf nya Ha.
Þ O
lindo Fitu bengkauno di ibaratkan perut hurufnya mim akhir.
Þ
Owawono Liwu di ibaratkan kaki hurupnya Dal.
Inilah yang
dikatakan pengendali dan yang dikendali. Kaomu dan Walaka adalah mitra kerja
yang mengendali, Olindo Fitu Bangkauno serta Wawono Liwu adalah sumber daya
manusia dan sumber daya alam, bakalan yang akan di atur.
Nilai-nilai
yang diajarkan SUGI MANURU Inilah yang dikatakan sebagai rahasia wawasan negeri
dalam pengertian SOWITE ( untuk tanah air ). SOWITE ini kemudian
diuraikan agar mudah dalam implementasinya sebagai landasan
idiologi yang dikenal dengan falsafah hidup masyarakat Muna, yaitu “ Koemo
Bhada Sumanomo Liwu, Koemo Liwu Sumanomo Sara, Koemo Sara Semanomo Oadhati,
Koemo Oadhati Sumanomo Agama”, artinya ; Rela mengorbankan Jiwa dan raga
demi bangsa dan negara, Tegakkan Hukum walaupun bumi runtuh, kalaupun hukum
tidak berjalan, adat istiadat tetap harus dipertahankan, Kalaupun adat istidat
sudah tidak memberi arah, nilai-nilai, agama yang akan dijadikan
pegangan.
Penetapan
empat landasan idiologi sebagai falsafah hidup Masyarakat Muna tersebut sangat
jelas dipengaruhi oleh ajaran Islam. Hal ini ditandai dengan penghargaan agama
sebagai ajaran yang harus dipegang dan menjadi petunjuk apabila ajaran-ajaran
lainnya tidak berjalan dengan baik.
J. Couvreur
(1935;5) mengatakan bahwa Sugimanuru mempunyai empat belas orang putra terdiri
atas sebelas orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Keempat belas
orang dimaksud adalah (1) Kakodo, (2) Manguntara, (3) La Kakolo, (4) La
Pana, (5) Tendridatu, (6) Kalipatolo, (7) Wa Sidakari, (8) La Kilaponto, (9) La
Posasu, (10) Rampeisomba, (11) Kiraimaguna, (12) Patolakamba, (13) Wa Golu,
(14) Wa Ode ogo.
Oleh karena itu dalam Penentuan tingkatan golongan masyarakat
pada masa pemerintahan SUGI MANURU di klasifikasikan
berdasarkan keturunannya. Pengklasifikasian berdasarkan keturunan ini
dimaksudkan agar kelak tidak terjadi konflik perebutan kekuasaan diantara
keturunannnya. Struktur tingkatan golongan masyarakat itu adalah :
1. Golongan Kaomu.
Golongan ini bersumber dari anak laki-laki Sugi Manuru yang
memiliki kemampuan dan keahlian dibidang pemerintahan. Kaomu adalah goloangan
teratas yang berhak menduduki jabatan Raja Muna dan Jabatan-Jabatan eksekutif
lainnya yang sesui dengan hukum adat ( Kuasa eksekutif ).
2. Golongan Walaka.
Golongan ini bersumber dari anak Perempuan Sugi Manuru yaitu
Wa ode pago yang kawin dengan La Pokainse anak Mieno Wamelai. Walaka adalah
golongan yang berhak dan memiliki kuasa dalam mengangkat Raja Muna, memegang
kekuasaan menetapkan hukum hukum adaat dan mengawasi pelaksanaannya (
kuasa legislatif dan Yudikatif ).
3. Goloangan Wawono Liwu.
Goloangan ini terbagi atas tiga tingkatan yaitu :
a. Golongan Wawono Liwu Ghoera
atau Fitu Bengkauno, Golongan ini bermula dari 7 orang
anak laki-laki Sugi Manuru dari istri selir. Golongan ini
berhak untuk menjadi kepalah pemerintahan Ghoera (kuasa Pemerintah daerah)
yaitu;
1.
Ghoerano
Tongkuno
2.
Ghoerano
Kabawo
3.
Ghoerano
Lawa
4.
Ghoerano
Katobu
b.Golongan Wawono Ghaoera Papara
Golongan ini berarasal dariturunan dari ke 4 Kamokulano
dahulu yaitu;
1. Kamokulano Tongkuno.
2. Kamokulano Barangka,
3. Kamokulano Lindo,
4. Kamokulano
Wapepi.
c.
Golongan Poino Kontu Lakono Sau.
Golongan ini adalah golongan Wawono Liwu yang terendah,
ibarat sebuah batu dan sepotong kayu didalam masyarakat Kerajaan Muna. Mereka
ini turunan dari ke empat Mieno yaitu;
1. Mieno Kaura,
2. Mieno Kasintala,
3. Meino Lembo,dan
4. Meino Ndoke.
Sugi Manuru juga menetapkan mekanisme pengangkatan pemimpin,
mulai dari tingkat Raja sampai pada tingkat pemerintahan terendah yaitu Mieno.
Menurut ajaran Sugi manuru Penentuan siapa yang akan menjadi pemimpin
dimasing-masing tingkatan dan golongan ditentukan oleh Sara berdasarkan
kapasitas masing-massing indifidu. Pengangkatannya berdasarkan hasil rapat
dewan adat yang anggotanya berasal dari golongan Walaka.
Selain Menyusun tingkatan golongan masyarakat, SUGI MANURU
juga menetapkan struktur pemerintahan kerajaan. Struktur pemerintahan
kerajaan pada jaman SUGI MANURU adalah ;
1. Raja (Eksekutif), dari
Golongan Kaomu
2. Bonto ( Legislatif ), dari
golongan walaka
3.
Mintarano Bhitara ( Yudikatif ), dari golongan Walaka ( No 1-
3 adalah pemerintah pusat )
4. Mowano Ghoera ———— pemerintahan setingkat dibawah
pemerintah pusat
5. Kamokula & Mieno ————- setingkat dibawah Ghoera
Semua
perangkat kerajaan termasuk raja disebut sebagai Sarano Wuna. Mereka
itu harus dapat merepresentasikan muna secara keseluruhan.Dewan Sara dipimpin
oleh Bonto dari golongan Kaomu. Sidang – sidang dewan Sara bertugas mengangkat
dan memberhentikan Raja serta menetapkan arah haluan
kebijakan Kerajaan.
3.
Raja Muna VII – La Kilaponto gelar mepokonduaghono Ghoera ( 1538-1541).
La kilaponto
Raja Muna VII ( 1538- 1541 M ) adalah
putera Raja Muna VI Sugi Manuru, dari isterinya
Wa Tubapala anak dari Wa Randea puteri Mokole Konawe ( Mahmud Hamundu- Makala
pada Simosium Pernaskahan Nusantara X, 2003 ). La Kilaponto memiliki
13 orang saudara ( J.Courveur 1935;5), namun dari satu
ibu dia hanya memiliki dua saudara yaitu La Posasu/ Kobangkuduno dan Wa
Karamaguna/ Wa Ode Pogo ( silsilah Raja-Raja Muna & Buton, Dok. KTVL ).
La Kilaponto
memilki nama kecil La Kila, kemudian oleh masyarakat Muna di tambahkan dengan
Ponto ( Sejenis bambu yang keras ) sehingga menjadi dikenal namanya La
Kilaponto. Pemberian nama itu karena sesuai dengan sikap dan pembawaanya
sebagi pemuda yang cerdas, tampan, kuat dan keras sikapnya ( Said D, 2007
; 143 ). La Ode Rifai Pedansa, seorang tokoh masyarakat Muna berpendapat lain
mengenai penambahan ‘ponto’pada nama La Kilaponto. Menurutnya penambahan kata
‘ponto’ karena sebeum menjadi Raja Muna, La Kilaponto ditugaskan memimpin
wilayah yang bernama ‘Ponto” yaitu wilayah yang saat ini dikenal dengan Gu, La
kudo dan Mawasangka sebagai Raja Muda (Wawancara; Mei 2011).
Ada beberapa
versi yang mengisahkan tentang tahun La kilaponto menjadi Raja di Kerajaan
Muna. La Kimi Batoa dalam Bukunya Sejarah Kerajaan Daerah Muna, mengatakan
bahwa La Kilaponto menjadi Raja Muna selama 3 tahun yaitu antara tahun 1538-1541
(La Kimi Batoa, 1995). Masa ini bersamaan dengan saat dia menjadi
raja di Kerajaan Buton sebelum kerajan itu menjadi Kesultanan ( 1541 ) dan La
Kilaponto dinobatkan sebagai Sultan Pertama dengan gelar Sultan Qaimuddin
Khalifatul Khamis.
Sedangkan Said
D mengatakan bahwa La kiaponto menjadi raja di Kearajaan Muna pada tahun 1530 –
1538 ( Said D, 2007;144 ). Perkiraan tahun berkuasanya La Kilaponto
sebagai mana yang di katakan oleh Said D tersebut, boleh jadi merupakan masa
ketika dia menjadi Raja Muda di wilayah ‘Ponto’ sebgai mana dikatakan La Ode
rifai Pendansa. Asumsi ini diperkuat dengan hasil penelitian H.E.
Tamburaka yang dumuat dalam buku ‘ Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara’ bahwa La
Kilaponto atau Haluoleo menjadi Raja Muna Sementara pada tahun 1530 – 1538.
A.
Manusia Fenomenal Yang Kharismatik
La Kilaponto adalah
manusia yang fenomenal yang kharismatik, ahlian dalam strategi
perang, piawai dalam berdiplomasi serta pakar dalam ilmu ketata
negaraan.. Hal itu dapat dilihat dimana dia pernah memimpin lima kerajaan
besar dalam waktu bersamaan, sebagai mana dijelaskan dalam dokumen
koleksi Belanda “ Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini,
tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena
ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi
ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekonggo dialihkan, dan
kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” (
Koleksi Belanda, hal 1 ). Karena itulah LA KILAPONTO dikalangan
masyarakat muna di beri gelar ‘ mepokonduaghono Ghoera’ artinya
orang yang menggabungkan Negeri/Kampung
LA
KILAPONTO menjadi Raja pada kerajaan – kerajaan itu bukan karena
invasi, tetapi karena kharisma beliau atau penghargaan karena berhasil melakukan
sesuatu yang besar dinegeri tersebut. Hal ini dapat dilihat setelah
beliau menjadi Penguasa di negeri itu dia tidak berusaha untuk
menjadikan negeri itu sebagai koloni atau bagian dari Kerajaan Muna,
tetapi membiarkan tetap merdeka dan Berdaulat. Padahal bila mau LA
KILAPONTO dapat saja menggabung kerajaan-kerajaan tersebut dibawah
kerajaan Muna karena sebagai raja dia punya kekuasaan yang besar sehingga dapat
saja melakukan hal itu.
Dari semua
kerajaan yang pernah dipimpinnya, hanyalah di kerjaan Buton LA
KILAPONTO memerintah cukup lama yaitu 46 tahun ( 1538 – 1584
M ). Di kerajaan Muna LA KILAPONTO menjadi raja kurang lebih 3
tahun ( 1538 – 1541 M ), setelah itu dilanjutkan oleh adiknya LA POSASU
sebagai Raja Muna VIII. Sedangkan di kerajaan-kerajaan lainnya
tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan berapa lama LA KILAPONTO
menjadi Raja di kerajaan tersebut serta bagaiman proses penyerahan kekuasaan
pasca LA KILAPONTO.
B.
Pakar Tata Negara
Sejak Kecil
Raja Sugi Manuru telah melihat potensi yang dimiliki oleh LA
KILAPONTO. Olehnya dia diberi pendidikan khusus termasuk
mempelajari islam yang dibawah oleh Syek Abdul Wahid pada awal
pemerintahan Sugi Manuru (1527). Namun menurut J. Courveur La Kolaponto telah
menerima islam sejak tahun 1519 M atau 940 H…
Kepakaran di bidang ketatanegaraan. Hal ini dapat dilihat
ketika menjadi Raja/Sultan Buton, La Kilaponto meletakan sendi-sendi dasar
kehidupan berbangsa dan bernegara di kerajaan/kesultanan tersebut. Sendi-sendi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang ditanamkan La Kilaponto di
Kerajaan/Kesultanan Buton merupakan nilai-nilai dasar yang diajarkan oleh
ayahandanya Sugi manuru Raja Muna VI.. MANURU yaitu ;
Þ Pobini-biniti kuli, ( saling tengang rasa )
Þ Poangka-angka tau, ( Saling harga-menghargai )
Þ Poma-masigho, ( Saling sayang- menyayangi )
Þ Poadha-adhati. (Saling menghormati )
LA KILAPONTO juga menyebar luaskan
konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan yang dipimpinnya Yaitu :
¨ Hansuru
–hansuru badha Sumano kono hansuru
liwu ( Biarlah badan binasa asal
Negara tetap berdiri ).
¨ Hansuru-hansuru
Liwu Sumano kono hansuru
Ahdati ( kalaupun Negara
harus bubar adat tetap harus dipertahankan ).
¨ Hansuru-hansuru
Adhati sumano Tangka Agama ( Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama
harus tetap ditegakkan ).
Falsafah
dasar dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja
Muna VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan pada kerajaan-kerajaan yang
pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO. Tentu saja falsafa dasar
dan konstitusi tersebut diadaptasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh
masyrakat setempat dalam hal ini termasuk nilai-nilai Islam sebelum dijadikan
sebagai Konstitusi Kerajaan.
Sikap
toleransi terhadap masuknya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat local dan
nilai- nilai agama yang positif merupakan strategi untuk menghindari
konflik dan penolakan masyarakat terhadap ajaran itu. Karena jasanya tersebut,
La Kilaponto dianugrahi gelar Timba-timbanga oleh rakyat Buton
Konsitusi
pada Kerajaan / kesultanan Buton yang ditanmkan oleh La Kilaponto mulai
ditulis pada masa Sultan Buton IV DAYANU IKSANUDDIN (1597-
1631 M). Sebagai penganut islam yang taat Dayanu Ikhsanuddin
juga memasukan nilai-nilai Islam dalam konstitusi tersebut. Konstitusi
Kesultanan Buton yang ditulis oleh Dayanu Iksanuddin tersebut dikenal dengan Martabat
Tujuh.
Karena
Martabat Tujuh memuat tetntang tatan dasar kenegaraan Kesultanan Buton, oleh
para pakar martabat tujuh kemudian menganggapnya sebagai Konstitusi Kesultanan
Buton. Konstotusi yang bernama martabat tujuh tersebut diproklamirkan pada masa
Kesultanan Buton masih di bawah pimpinan SULTAN DAYANU IKHSANUDDIN.
DAYANU IKHSANUDDIN adalah cucu LA
KILAPONTO dari putrinya PARAMASUNI yang
bersuamikan LA SIRIDATU putera Raja Batauga.
Menurut A.E.
saidi dalam makalahnya pada Simposium Internasionel Pernaskahan
Nusantara IX di Baruga Keraton Buton 5 – 8 Agustus
2005, Martabat Tujuh di proklamirkan
oleh Sapati LA SINGGA pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung
Keraton. Inti dari Konstitusi Martabat Tujuh yaitu ; 1)
Pomae-maeyaka; 2) Popiara-piara’ 3) Po maa-maasiaka. 4) Poangka-angkataka. Keempat
nilai dasar dari Konstitusi martabat Tujuh memiliki makna yang sama dengan apa
yang diajarkan oleh Raja Muna VI SUGI MANURU pada
tahun 1438 M. Demikian pula tatanan pemerintahan yang dianut kesultanan Buton
seperti yang termuat dalam Martabat Tujuh juga merupakan sisten dan tatanan
pemerintahan yang diterapkan oleh Kerajaan Muna sejak jaman SUGI MANURU
Raja Muna VI ( Baca; Sugi Manuru ) .
1.
C. Diplomat Ulung
Selain ahli
di bidang Tata Negara, LAKILAPONTO juga piawai dalam
bidang diplomasi . Kemampuan diplomasi LA KILAPONTO
dibuktikan dengan dapat mendamaikan konflik dua kerajaan besar di jazirah
Pulau Sulawesi bagian Tenggara yaitu kerajaan Konawe dan Mekongga.
Konflik kedua kerajaan tersebut telah berlangsung lama dan telah banyak menelan
korban nyawa dan harta.
Oleh LA
KILAPONTO konflik tersebut diselesaikan hanya dalam waktu delapan
hari, sehingga di kedua kerajaan tersebut LA KILAPONTO di beri
gelar “HALUOLEO” yang artinya delapan hari. Karena sukses
mendamaikan konflik tersebut, LA KILAPONTO dinikahkan dengan
Putri Raja Konawe yang bernama ANAWAY ANGGUHAIRAH
serta dinobatkan menjadi Mokole Konawe.
Kemampuan
diplomatik LA KILAPONTO juga ditunjukan saat
ditugaskan oleh ayahandanya Raja Sugi Manuru untuk menjalin kerja sama dengan
kerajaan-kerajaan tetangga seperti Todore, Ternate, Banggai dan Luwu. ( Lakimi;
Sejarah Muna, Jaya Press Raha).
Misi
diplomatik yang dilakukan LA KILAPONTO itu sangat sukses,
sebab beliau dapat meyakinkan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya untuk
menjalin kerja sama dengan kerajaan Muna. Bahkan Kerajaan Ternate berhasi
diyakinkan untuk bersekutu melawan pengaruh Kolonial Belanda. Bukti lain
keberhasilan misi diplomatik La Kilaponto tersebut adalah sejak saat itu sudah
tidak ada lagi gangguan keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna yang datang dari
kerajaan-kerajaan tersebut.
Sebagai mana
kerajaan-kerajaan kuno lainnya, LA KILAPONTO menjalankan
strategi diplomasinya melalui perkawinan. Dalam beberapa sejarah ditulis selama
hidupnya La Kilaponto melakukan perkawinan sebanyak 5 kali, berturut-turut
putri yang dikawininya adalah :
1.
WA TAMOIDONGI ( Putri Raja Buton V LA
MULAE)
2.
WA ANAWAY ANGGUHAIRAH ( Putri Mokole Konawe )
3.
Putri raja Jampea
4.
Putri Raja selayar OPU MANJAWARI
5.
WA SAMEKA ( Putri Sangia YI TETE )
Dari
masing-masing perkawinannya tersebut, LA KILAPONTO/SULTAN KAIMUDDIN
KHALIFATUL KHAMIS/SULTAN MURHUM memperoleh putra dan putri yaitu :
1. Perkawinan
dengan WA TAMPOIDONGI tidak memperoleh anak
2. perkawinan dengan ANAWAI ANGGUHAIRAH memperoleh
3 orang puteri yaitu WA ODE POASIA, WA ODE LEPO-LEPO dan
WA ODE KONAWE.
3. perkawinan dengan putri raja Jampae memperoleh 1 orang putera yang
bernama LA TUMPAMASI (Sangia Boleko). La Tumparasi kemudin
menjadi Sultan Buton II menggantikan ayahandanya dengan gelar Sultan
Qaimuddin II.
4. Perkawinan dengan putri raja Selayar memperoleh 1 orang putera yang
bernama LA SANGAJI (Sangia Makengkuna). La Sangaji
kemudian menjadi Sultan III mengantikan kakaknya lain ibu La
Tumpamasi dengan gelar Sultan Qaimuddin III
5. Perkawinannya dengan Wa Sameka memperoleh 4 orang puteri yaitu
Paramasuni (istri LA SIRIDATU putra Raja Batauga), Wa
sugirampu (istri LA GALUNGA cucu Raja Buton V La Mulae), WABUNGANILA
(istri LA KABAURA putra raja Batauga) dan WABETA
(istri LA SONGO raja Kambe-kambero). Sultan Buton IV
Dayanu Iksanuddin adalah cucu La Kilaponto dari
putrinya Paramasuni buah perkawinannya dengan La
Siridatu Putra Raja Batauga.
D. AHLI STRATEGI PERANG
Kemampuan
dalam strategi perang La kilaponto dibuktikan saat menumpas pemberontak LA
BOLONTIO yang berasal dari Tobelo. LABOLONTIO
yang terkenal sakti dan sangat kejam dalam melakukan aksinya sehingga Kerajaan
Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Raja Buton saat itu LA MULAE
dan segenap rakyatnya telah putus asa sehingga memaksa dia membuat
sayembara. Isi dari sayembara tersebut adalah “ barang siapa yang dapat
menumpas pemberontakan Labolontio akan dikawinkan dengan salah satu putri Raja
“ yang bernama WA TAMPOIDONGI. WA
TAMPOIDONGI terkenal sangat cantik dan menjadi rebutan
petinggi-petinggi Kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan tetangga.
Sayembara
yang dibuat oleh Raja Buton LA MULAE tersebut mengundang
minat satria-satria di kerajaan tetangga untuk ambil bagian. Mereka
sangat tertarik untuk mempersunting putri Raja yang kecantikannya sudah
terkenal di mana-mana. Raja-raja pada kerajaan tetangga yang mengikuti
sayembara tersebut adalah Raja Selayar Ompu Manjawari dan Raja Jampea dan
Raja Batauga La Maindo.
Sudah sekitar
satu tahun sayembara dibuka, para peserta sayembara telah mengeluarkan segala
kemampuannya, namun tidak ada satupun dari satria-satria yang
ikut dalam kompetisi tersebut yang dapat menumpas Labolontio. Bahkan Labolontio
dan pasukannya semakin merajalela dan telah menguasai beberapa wilayah Kerajaan
Buton seperti Palabusa dan Barangka .
Bukan
saja itu bahkan Labolontio sudah mengancam kerajaan-kerajaan tetangga
Buton termasuk Kerajaan Muina. Terdengar kabar bahwa La Bolontio dalam
waktu dekat akan menyerang mawasangka, salah satu wilayah yang dikenal dengaan
‘ Ponto ’ . ‘Ponto’ adalah wilayah kekuasaan dan tanggung jawab La
Kilaponto sebagai Raja Muda, sebelum menjadi Raja Muna.
Kabar semakin
mengganasnya Labolontio dan pasukannya ikut meresahkan LA KILAPONTO
yang baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII. Olehnya itu LA KILAPONTO
meminta saran dari Ayahandanya SUGI MANURU dalam menyikapi
ancaman tersebut.
Setelah
mendengar masukan-masukan dari LA KILAPONTO dan beberapa
petinggi kerajaan lainnya, SUGI MANURU Raja Muna VI yang juga
ayaahannda dari LA KILAPONTO menyarankan pada LA
KILAPONTO untuk segera pergi ke Buton, menumpas LABOLONTIO
sekaligus menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Jadi keikutsertaan LAKILAPONTO
dalam menumpas LABOLONTIO bukan untuk mengikuti sayembara yang
dibuka oleh Raja LA MULAE tetapi melakukan misi Kerajaan Muna
untuk menyelamatkan Negeri Muna dari ancaman LABOLONTIO
sekaligus menyelamatkan Negeri Buton.
Sesampainya
di Buton dengan tanpa terlebih dahulu menghadap pada Raja LA
MULAE, LA KILAPONTO langsung menyusuri pantai, mencari LABOLONTIO,
orang yang telah membuat Raja Buton dan segenap rakyatnya kalang
kabut dan tidak berdaya.
Dalam
pertarungan di pasisir Kerajaan Buton, LABOLONTIO di
buat bertekuk lutut bahkan mati ditangan LA KILAPONTO.
Sebagai bukti
telah membunuh LABOLONTIO, LA KILAPONTO
membawa kepala LA BOLONTIO di hadapan Raja Buton LAMULAE.
Maksud LAKILAPONTO menghadap Raja LA MULAE adalah untuk
menyampaikan bahwa Kerajaan Buton saat ini telah aman
sebab pengacau keamanan telah berhasil di bunuhnya sekaligus berpamitan
untuk pulang ke Muna meneruskan tugasnya sebagai Raja Muna. LA
KILAPONTO tidak menuntut apapun dengan apa yang telah di lakukannya. LA
KILAPONTO berpikir misinya menumpas LABOLONTIO selain
membantu kerajaan Buton yang berada dalam ambang kehancuran, juga menjaga
keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna dari gangguan pihak luar.
Lain
dengan Raja Buton LA MULAE dan segenap rakyatnya, LA
KILAPONTO oleh mereka dianggap telah berjasa menyelamatkan
Kerajaan Buton dari gangguan keamanan. Untuk itu LABOLONTIO
berhak mendapatkan hadia seperti isi dari sayembara yang telah
dibuat Raja LA MULAE. Sebagai Raja, LAMULAE harus
tetap konsisten menjalankan apa yang telah diucapkan. Untuk itu
pernikahan antara LA KILAPONTO dan Putri Raja WA
TAMPOIDONGI tetap harus dilaksanakan.
Dengan
rasa berat dan penghargaan terhadap Raja Buton LAMULAE,
akhirnya LAKILAPONTO menerimah untuk dinikahkan dengan putri
raja seperti isi sayembara yang di buat Raja LAMULAE. Namun
demikian LA KILAPONTO tetap mengajukan syaraat bahwa setelah
pernikahan dilaksanakan dia tetap kembali ke Kerajaan Muna untuk menjalankan
tugasnya sebagai Raja Muna. Persyaratan itu diterimah dan pernikahan keduanya
pun dilaksanakan. Setelah prosesi pernikahan dilaksanakan LA KILAPONTO
langsung berpamitan untuk Kembali Ke Kerajaan Muna sedangkan isrinya tetap
tinggal di Kerajaan Buton bersama kedua orang tuanya.
Belum cukup
satu tahun menjalankan pemerintahanya sebagai Raja Muna setelah menumpas LABOLONTIO,
Raja Buton V LA MULAE meninggal dunia. Karena raja LA
MULAE tidak memiliki anak Laki-laki, maka petinggi-petinggi Kerajaan
Buton bersepakat untuk mengangkat LA KILAPONTO sebagai Raja
Buton VI menggantikan LA MULAE.
Kesepakatan
para petinggi Kerajaan Buton tersebut kemudian di sampaikan pada LA
KILAPONTO dengan cara mengutus beberapa utusan untuk datang ke
kerajaan Muna. Awalnya LA KILAPONTO merasa sangat berat
menerima kesepakatan yang telah dibuat oleh para petinggi Kerajaan Buton untuk
menjadi Raja di kerajaan Buton, karena saat itu LA KILAPONTO sedang
menjadi raja di kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe serta baru saja memulai
melakukan penataan system pemerintahan di kedua Kerajaan tersebut .
Namun atas
saran Ayahandanya dan melalui pertimbangan yang matang, akhinya LA
KILAPONTO mau menerima untuk menjadi Raja di Kerajaan Buton. Dengan
diterimahnya menjadi Raja Buton, maka secara otomatis
pada saat itu LA KILAPONTO menjadi Raja di tiga kerajaan besar
di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Buton, Kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe,
karena itulah oleh masyarakat Muna LA KILAPONTO mendapat gelar ‘Omputo
Mepokonduaghoono Ghoera ’ artinya orang yang
mengawinkan/menggabungkan Negeri/Kampung.
Pada sebuah
hikayat disebutkan, saat LA KILAPONTO menjadi Raja
di Kerajaan Muna, Buton dan Konawe, kerajaan-kerajaan lainya
yaitu Kerajaan kaledupa, Kerajaan Kabaena dan
Mekongga ikut menggabungkan diri dibawa kekuasaan LA KOLAPONTO,
sebagai mana kutipan berikut ‘Adapun tatkala Murhum menjadi raja di
Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian
Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu
Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan,
Mekongga dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun
dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ).
Tiga Tahun LAKILAPOTO
menjadi raja Buton dan empat kerajaan lainya di Sulawesi Tenggara, ajaran
islam berkembang pesat di Kerajaan Buton. Pesatnya perkembangan agama islam
di kerajaan tersebut karena pada saat dilantik menjadi raja Buton, guru
agama beliau seorang Ulama dari Arab yang bernama SYEKH
ABDUL WAHID turut di boyong ke Kerajaan Buton untuk menyebarkan agama
islam di sana.
Setelah nilai-nilai islam telah tertanam dalam perilaku masyarakat botun, maka pada tahun 1541 La Kilaponto memproklamirkan Kerajaan menjadi Kesultanan dan mengangkat dirinya sebagai Sultan I dengan gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.
Menyusul
berubahnya Buton menjadi Kesultanan (948 H/ 1541 M ), LAKILAPONTO
kemudian menyerahkan jabatannya pada kerajaan-kerajaan
lainnya. Misalnya di Kerajaan Muna. Pada Kerajaan Muna, LAKILAAPONTO
menyerahkan jabatannya kepada adiknya LA POSASU untuk
menjadi Raja Muna VIII. sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada data
yang pasti bagai mana proses penyerahannya.
Namun
yang pasti pada saat itu juga Kerajaan Konawe dan kerajaan-kerajaan
lainya yang pernah di pimpin LAKILAPONTO telah memiliki
raja sendiri-sendiri. Walaupun LAKILAPONTO pernah memimpin
kerajaan-kerajaan tersebut, namun setelah dia melepaskan jabatannya, LAKILAPONTO
tetap mengakui kerajaan-kerajaan tersebut sebagai Negara merdeka
dan berdaulat.
Setelah
LAKILAPONTO Menjadi SULTAN di Kesultanan Buton dan
adiknya LA POSASU menjadi Raja Muna VIII, kedua bela
pihak mengadakan perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut adalah wilayah kerajaan
Muna bagian Selatan yang terdiri dari Mawasangka dan GU diserahkan ke
Buton. Sebagai gantinya, Wialayah pesisir Barat Buton bagian Utara
yaitu Wakorumba dan Kulisusu diserahkan pada Muna. Termasuk dalam perjanjian
itu kesepakatan untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua
kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar (
La kimi- Sejarah Muna, Jaya pres Raha).
Hubungan
persaudaraan di antara kerajaan- kerjajaan yang pernah dipimpin oleh LA
KILAPONTO khususnya Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton terjalin hangat selama
kurang lebih 3,5 abad. Namun Setelah Kesultanan Buton mulai bekerja sama
dengan Kolonial Belanda pada akhir masa pemerintahan Sultan Buton Dayanu
Ikhsanuddin dan dalam kerangka politik pecah belah, pemerintah kolonial
Belanda,
Perseteruan
antara maka hubungan antara Kerajaan Muna dan Buton mengalami keratakan.
bersama Sultan Buton LAODE MUH. ASIKIN, secara sepihak membuat
perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 (Jules
Couvreur , Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna- Artha Wacana Press, Kupang,
Nusa Tenggara Timur, 2001).
Perjanjian
sepihak tersebut tidak pernah diakui oleh Raja Muna. perlawanan terhadap
perjanjian Korte Verklaring ditunjukan oleh
raja Muna LA ODE DIKA gelar OMPUTO KOMASIGINO
yang tidak mematuhi perjanjian tersebut termasuk membayar pajak kepada
Sultan Buton seperti yang diatur dalam perjanjian Korte Verklaring
. Raja Muna LA ODE DIKA juga tidak mau tunduk
saat bertemu dengan Sultan Buton. Bahkan LA ODE DIKA mengangkat
telunjuknya seakan mengancam saat bertemu dengan Sultan Buton di Istana
Sultan Buton. Sikap Raja LA ODE DIKA tersebut oleh Sultan
Buton di adukan kepada penguasa colonial Belanda di Makassar.
Akibatnya LA ODE DIKA di pecat kemudian penguasa colonial
Belanda di makkasar menyatakan kerajaan Muna sepenuhhya dalam penawasan Belanda
sampai pemerintah Kolonial Belanda menunjuk LA ODE PANDU
sebagai Raja Muna pada tahun 1947.
LA
KILAPONTO / SULTAN MURHUM / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS Putra
Raja Muna SUGIMANURU Yang Agung mengakhiri masa
pemerintahannya di Kesultanan Buton karena wafat tahun 1584 setelah
memerintah lebih kurang 46 tahun ( sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan
sebagai Sultan I selama 43 tahun ), dan menjadi Raja Muna selama tiga tahun
( (1538- 1541 M ),. Setelah LA KILAPONTO / SULTAN MURHUMIN /
SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS meninggal dunia, Sara Kesultanan
Buton memilih LA TUMPAMASI (Sangi Boleka) Putra La Kilaponto
dari perkawinannya dengan Putri Raja JAMPEA ( Suku Bajo ? ) sebagai
sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga.
4. Raja Muna X -
Titakono ( 1600- 1625 )
La
Titakono adalah Raja Muna X sekaligus sebagai raja terakhir yang belum memeluk
agama islam. Kendati demikian pada masa pemerintahan La Titakono penyebar Islam
kedua yakni Firus Muammad masuk dimuna. Pada fase kedua masuknya penyebar agama
islam di muna juga belum berjalan secara efisien. Agama islam pada masa itu
berkembang sangat lamban. Hal ini berkaitan dengan Raja Muna belum memeluk
agama islam. Sebagai seorang pemimpin yang menjadi panutan seluruh warga,
maka masuknya seorang raja pada suatu aliran atau agama tertentu sangat
berperan terhadap penyebarluasan kepercarayaan atau agama tersebut.Hal ini juga
terjadi di Kerajaan Muna.
Walaupun Raja
Muna La Titakono belum memeluk islam. namun beliau sangaat toleran terhadap
pemeluk islam yang saat itu masih sangat minoritas serta menghargai nilai-nilai
islam.
Sebagai bukti
penghormatan beliau pada islams yaitu pada masa pemerintahannya masjid
pertama dibangun di Muna ( 1614 ). Pembangunan masjid itu diikuti oleh
pembagunan pusat pendidikan islam. Seiring dengan itu ajaran islam
sedikit demi sedikit mulai dipelajari masyarakat Muna. Seluruh proses
pembangunan masjid dan islamic center tersebut difasilitasi oleh Raja La
Titakono.
Bukti lain
sikap toleransi raja La Titakono terhadap islam adalahdiberikan kebebasan
pada salah seorang putranya yaitu La Ode Sa’aduddin menjadi murid Firus
Muhammad Penyebar islam kedua di Muna. Bahkan La Ode Sa’aduddin menjadi Raja Mua
pertama yang memeluk agama Islam.
Agama Islam
mengalami kemajuan yang sangat pesat setelah Putra La Titakono yakni La Ode
Sa’aduddin di nobatkan menjadi Raja Muna XI setelah La Titakono Mangkat.
Selain
membangun masjid, Raja Titakono membentuk lembaga baru dalam sturktur
pemerintahan kerajaan muna yaitu Bonto Bhalano.
Bonto
Bhalano adalah sebuah lembaga sejenis Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
bertugas memilih dan mengangkat Raja Muna Pada masa Pemerintahan Raja Muna IX
TITAKONO struktur golongan masyarakat Muna juga ditambah dengan golongan
wesimbali.
Golongan Wesimbali
adalah goloangan yang timbul karena perkawinan antara dua golongan yang
sebenar nya dilarang dalam hukum adat.
Pada
zaman dahulu wanita Kaomu dan Walaka pantang menikah dengan goloangan Lakono
sau poino kontu. Golongan Wesimbali ini terbagi lagi menjadi dua yaitu ;
Þ Golongan
Kaomu Wesimbali, yaitu turunan dari wanita kaumu dengan laki-laki wawono liwu.
Derajat dari Kaomu Wasembali dijadikan setara dengan Golongan Walaka, tetapi tidak
boleh menduduki jabatan seperti golongan Walaka.
Þ Golongan
Walaka Wesimbali, yaitu keturunan dari wanita golongan walaka dengan laki-laki
dari golongan Wawono Liwu. Walaka Wasembali di sejajarkan dengan derajatnya
Anangkolaki (fitu bengkauno) tetapi jug tidak dapat mendudukuki jabatan seperi
golongan Angkolaki.
Raja Muna
Titakono juga mengadakan perubahan pada struktur pemerintahan.
Dalam Rapat Agung Kerajaan di hadiri oleh Raja, 4 Mino, 4 kamokula diangkat
Pejabat Bantobalono. Banto Balano yang pertama adalah La Marati,
anak dari Wa Ode Pogo hasil perkawinanya dengan La Pokainse. Sebgai Bonto
Balano.
1.
1. Raja La Ode Sa’adudin (
1625-1626 )
La
Ode Sa’aduddin adalah Raja Muna XI dan
merupakan pertama yang memeluk islam sekaligus raja Muna pertama yang memakai
penambahan La Ode pada awal namannya.
Penambahan La
Ode ( bagi laki-laki ) dan Wa ode ( bagi perempuan) pada awal nama
seorang yang berdarah Kaomu (strata sosial yang berhak menduduki jabatan
Raja ) ditetapkan oleh La Titakono Raja Muna X bersama La Marati ( cucu
Sugi Manuru dari anaknya Wa Ode Pogo buah pernikahannya dengan La
Pokainse}.
Pemerintahan
La Ode Saa’diddin sangat singkat yaitu hanya satu tahun. Walaupun demikian
selama satu tahun masa pemerintahan, La Ode Saa’duddin berhasil melakukan hal
besar taitu melakukan penataan dalam strktur pemerintahan dan menyebarluaskan
ajaran islam dalam kalangan masyarakat Kerajaan Muna.
Setelah La
Ode SaaduSddin naik tahta dia melakukan reformasi pemerintahan di kerajaan
muna. untuk mendukung pmerintahannya la Ode Sa’aaduddin membentuk dua
jabatan baru dalam sistem pemerintahan Kerajaan Muna yaitu kapitalao dan
Kapita. Kapitalao diberi tugas menjaga keamanan pantai Kerajaan muna dari
serangan musuh termasuk bajak laut yang kembali marak disekitar perairan
kerajaan muna. Karena Kerajaan muna dikeliligi oleh lautan dengan wilayah yang
begitu luas maka diangkat dua orang Kapita Lao yaitu Kapitalao
Matagholeo Timur ) dan Kapita Lao Kansoopa ( Barat ).
Untuk mengisi
jabatan kapatalao dipilih dari kino. Namun demikian tidak semua Kino berhak
untuk menjadi Kapitalao dan Kapita. Diantara 26 kino yang ada di kerajaan Muna
hanya Kino Babato yang dapat menjadi Kapita atau Kapitalao, mereka itu adalah :
1.Babato Aluno
yaitu :
·
Kino
Tobea
·
Kino
Labora
·
Kino
Lakologau
·
Kino
Mantobua
·
Kino
Lagadi
·
Kino
Watumela
·
Kino
Lasehao
·
Kino
Kasaka.
2. Kino Barata
yaitu Kino-Kino yang bertugas menajaga pantai kerajaan, yang terdiri dari;
Þ Kino
Wasolangka
Þ Kino
Lohia
Þ Kino
Lahontohe dan
Þ Kino
Marobea.
Dengan demikian maka Dewan Kerajaan terdiri dari;
Dengan demikian maka Dewan Kerajaan terdiri dari;
1.
Raja
2.
Bonto Balano
3.
Mintarano Bhitara
4.
Kapita Lau 2 orang
5.
Kapita 1 orang
6.
Koghoerano 4 orang
7.
Fatolindono 4 orang.
Walaupun Muna
bukanlah kerajaan Islam, namun sejak masa pemerintahan La Ode Saadudin hukum
islam berlaku dikerajaan Muna misalnya hukuman gantung bagi yang
melanggar norma adat dan hukuman cambuk bagi yang melanggar norma
susilah. Pelaksanaan hukuman islam terebut berlaku pada seluruh warga kerajaan
dalam hal ini termasuk Raja. Sebagai bukti penerapan hukum islam tersebut dapat
dilihat ketika mitarano bhitara ( kuasa yudikatif menjatuhkan hukuman gantung
pada La Ode Umara Raja Muna Ke 20 karena dianggap telah melakukan pelanggaran
terhadap norma adat.
Hukuman
cambuk sampai mati seperti yang diajarkan dalam hukum Islam juga pernah
dijatuhkan pada La Ode Sumaili Raja Muna ke 23 Yang dianggap telah melakukan
pelanggaran norma susilah ketika menentang perkawinan Wa Ode Kadingke Dengan
seorang saudagar dari bugis yang bernama Daeng Marewa. Penentangan terhadap
perkawinan tersebut mendapat perlawanan dari Wa Ode Kadingke
sehingga terjadi perang saudara.
Setelah Wa
Ode Kadingke memenangkan pertempuran kemudian mengangkat Puteranya La Ode Saete
menjadi Raja. Sedangkan La Ode Sumaili dijatuhi hukuman ambuk Sampai mati.
Pada masa
pemerintahanLa Ode Saa’duddin pula Belanda mulai mencoba menacapkan kekuasaan
di Kerajaan Muna. Gelagat tidak baik belanda tersebut telah dibaca oleh Raja La
Ode Saa’duddin, sehingga begitu Belanda mencoba menginervesi pemerintahaan,
Raja La Ode Saa’duddin tidak menerimanya dan menyatakan perang terhadap
Pemerintah Kolonial Belanda yang telah lama menjalin kerja sama dengan
Kesultanan Buton.
2.Raja La Ode
Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-1667)-
Raja
Muna XII adalah La Ode Ngkadiri. Beliau adalah anak dari La Ode Saa’duddin raja
Muna XI. La Ode Ngkadiri memeritah dikerajan selama 21 tahun, dibagi
dalam dua periode dan disela dengan pemerintaha permaisurinya Wa Ode Wakelu
selama tiga tahun.
Periode
pemerintahan La Ode Ngkadiri ditandai dengan inseden penangkapan dirinya oleh
Kolonial Belanda dalam sebuah buah kapal yang bernama MV. De flamig pada
tahun 1652 dan diasinkan keternate selama tiga tahun. Kapal itu cukup mega
sebab diatasnya dilengapi dengan taman yang cukup luas. Karena penngkapan diatas
kapal tersebut sehingga setelah beliau mangkat sarano wuna menganugrahkan
gelar Sangia Kaindea pada beliau.
Peristiwa
penangkapan diatas kapal MV. De Flaming tersebut terjadi karena Pemeritah
Imperialis Belanda telah kewalahan mengahadapi Raja La de Ngkadiri dan pasukan
yang terus mengobarkan semangat perang terhadap Belanda. Beberapa kali Belanda
mengirimkan ekspedisi militer ke Kerajaan Muna namun selalu mengalami Kegagalan
padahal dalam ekspedisi itu pasukan Belanda di bantu oleh Tentara Kesultaan Buton
yang menjadi sekutu abadinya.
Sikap
perlawanan Raja La Ode Ngkjadiri terhadap Kolonial Belanda ditunjukan sejak
awal kedatangan Belanda pertama kali yang dipimpin oleh Piether Both di
Kesultanan Buton pada tahun 1631. Ketika Rombongan Pieter Both tersebut akan
masuk ke Kerajaan Muna mereka mendapat penolakan dari Raja La Ode Ngkadiri.
Penolakan
Raja La Ode Ngkadiri terhadap Piether Both tersebut membuat pemerintah Kolonial
Belanda berang, namun untuk melawan sendiri pasukan Kerajaan Muna,
Belanda mengalami kesulitan. Olehnya itu dijalankanlah Politik kotor Belanda
untuk memecah bela antara dua kerajaan ( Kerajaan Muna dan Buton ) yang telah
lama menjalin hunbungan yang sangat erat yang dikenal dengan politik Devide Et
Impera.
Maka
dicari-carilah benih-benih perpecahan antara dua kerajaan bersaudara tersebut.
Kebetulan sebelum menjadi Raja Muna La Ode Ngkadiri pernah
gagal menikahi Wa Ode Sopo Puteri Sapati Baaluwu yang dipelihara oleh Spelma,
padahal keduanya telah dijodohkan. La Ode Ngkadiri lebih memilih Wa Ode Wakelu
puteri Sapati Kapolangku untuk dijadikan isteri (
Drs. La Oba, 2005;43 ).
Kegagalan
pernikahan antara Raja La Ode Ngkadiri dengan Wa Ode Sopo anak angkat Spelman
dijadika alasan bagi Belanda untuk mengadu domba Kesultanan Buton agar mau
memerangi Keraajaan Muna yang telah menjalin persaudaraan sejak ribuan tahun
yang lalu.
Upaya adu
domba Belanda tersebut berhasil, sebab Buton mau bersekutu dengan Belanda untuk
menyerang Kerajaan Muna. sehingga terjadi perang yang cukup lama ( 1631 – 1652
) antara Kerajaan Muna dengan Belanda yang dibantu oleh Kesultanan Buton.
Kendatipun
Pasukan Belanda telah dibantu oleh Pasukan Kesultanan Buton namun mereka belum
juga mampu mengalahkan Pasukan Kerajaan Muna yang dipimpin oleh Raja La Ode
Ngkadiri. Olehnya itu Belanda menggunakan strategi lain yaitu dengan mengajak
untuk melakukan perundingan. Padahal maksud dari perundingan tersebut adalah
guna menangkap Raja La Ode Ngkadiri
Untuk
memuluskan rencananya itu Belanda mengajak Sultan Ternate ( Sultan Mandayasa
) kerabat dekat lainnya Kerajaan Muna ikut dalam perundingan tersebut.
Setelah semuanya telah diatur dengan rapi, maka disepakati tempat perundingan
diatas sebuah kapal MV. De Flaming dan lokasi yang dipilih adalah ditengah
lautan di selat Buton tepatnya di depan Lohia.
Pada
saat perundingan tersebutlah kemudian La Ode Ngkadiri dinyatakan ditangkap Oleh
Belanda dan diasingka ke Ternate selama tiga tahun. Bersamaan dengan
penangkapan itu Belanda kemudian mengangkat La Ode Muh. Idrus sebagai Wali Raja
di Kerajaan Muna dan dilantik diatas kapal itu juga.
Selain
terjadi pergolakan melwan Kolonial Belanda, pada masa pemerintahan
La Ode Ngkadiri juga masuk misionaris Islam gelombang Ketiga yaitu Syarif
Muhammad ( 1643 ). Syarif Muhammad melanjutkan misi penyebar islam terdahulu
yaitu mengajarkan ajaran islam pada masyarakat Muna.
4.Raja Muna XIV La Ode
Muh. Idris Gelar Sorano Kaindea. (1668-1671).
La
Ode Muh. Idris adalah raja yang dikirim oleh Belanda dari Kesultanan Buton
setelah berhasil menjatuhkan La Ode Ngkadiri Raja Muna XIV. La Ode Muh.
Idrus dilantik menjadi raja Muna oleh Pemerintah Kolonial Belanda diatas kapal
yang sama dimana Raja Muna XIII La Ode Ngkadiri di gulingkan. Olehnya itu oleh
masyarakat Muna dia digelar dengan Sorano kaindea yang kira-kira diartikan
sebagai orang yang berkoalisi dengan Kolonial.
Walaupun La
Ode Muh. Idris telah dilantik oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai Raja
Muna, namun masyarakat Muna dan Sarano Wuna tidak mengakuinnya. Olehnya itu,Wa
Ode Wakelu memproklamirkan dirinya sebagai raja Muna menggantikan Suaminya la
Ode Ngkadiri. Sikap Wa Ode Wakelu dalam mengambil alih kekuasaan tersebut
mendapat dukungan dari Sarano Wuna dan segenap Masyarakat Muna.
Kuatnya
dukungan terhadap Wa Ode Wakelu tersebut membuat Pemerintah Konolonil Belanda
dan Kesultanaan Buton tidak dapat membendungnnya sehingga selama tiga tahun
masa pemerintahan La Ode Muh. Idris di Kerajaan Muna terjadi dualisme
kepemimpinan yaitu La Ode Muh. Idris sebagai Utusan kolonial belanda dan
Kesultanan Buton SERTA Wa Ode Wakelu yang mendapat legitimasi dari Sarano
Wuna dan Rakyat Muna. Bahkan pada tahun 1671 Sarano Wuna berhasil mengembalikan
La Ode Ngkadiri sebagai raja Muna.
1.2. Raja Wa Ode
Wakelu ( Permaisuri raja -La Ode Ngkadiri )- ( 1667-1668).
Wa Ode Wakelu
adalah permaisuri Raja muna XII La Ode Ngkadiri. Wa Ode Wakelu dilantik menjadi
Raja Muna oleh Sarano Wuna karena terjadi kekosongan kekuasaan sebagai akibat
dari diasingkannya suaminya yang saat itu sedang menjadi raja Muna La Ode Ngkadiri.
Pelantikan Wa Ode Wa Kelu sebagai raja Muna selain mengisi kekosongan kekuasaan
juga sebagai wujud perlawanan terhadap penguasa kolonial belanda karena
bersamaan dengan di gulingkannya La Ode Ngkadiri diatas sebuah kapal, turut
dilantik pula La Ode Muhammad Idris sebagai Raja Muna menggantikan La Ode
Ngkadiri. yang telah dengan sewenang-wenang menjatuhkan Raja Muna yang sedang
berkuasa.
Perjuangan Wa
Ode Wakelu yang didukung oleh sarano wuna dan segenap masyarakat Kerajaan Muna
berhasil mengembalikan tahta Kerajaan muna pada yang berhak.hal itu
terjadi setelah tiga tahun menjadi raja Muna. Pemerintah kolonial Belanda yang
didukung oleh Kesultanan Buton tidak mampu melawan gelombang perlawanan semesta
rakyat muna dibawah kepemimpinan Wa Ode Wa Kelu, sehingga mereka menerima
keputusan Sarano wuna untuk melantik kembali La ode Ngkadiri Sebagai raja muna.
Penerimaan
Tokoh dan masyarakat Muna terhadap kepemimpinan Wa Ode Wakelu sebagai raja Muna
selain telah berhasil menunjukan sikap perlawanan terhadap penjajaahan belanda,
juga merupakan wujud implementasi kesetaraan gender dalam sistem pemerintahan
tradisional kerajaan Muna.
7. Raja Muna XVI –
La Ode Husaini gelar Omputo Sangia ( 1716-1767 )
Pada
masa Pemerintahan Raja La Ode Huseni ( omputo sangia ) terjadi reformasi pada
struktur pemerintahan dan struktur masyarakat. Reformasi yang dilakukan oleh La
ode husaini tersebut bertuajuannya agar setiap golongan mempunyai andil dan
fungsi dalam roda pemerinttahan. Selain itu dimaksudkan agar roda pemerintahan
dapat berjalan secara efektif.
Perangkat
Pejabat Kerajan Muna pada masa Raja La Ode Husaini adalah :
Dari golongan
Kaomu berjumlah 20 orang yaitu;
Þ Raja
Muna ( Kepla negera )
Þ Dua
orang kapita lau ( Panglima Angkatan Laut )
Þ
Bobata 8 orang (
Þ
Barata 4 orang ( Kepala Daerah Otonom )
Þ
Kino Agama 1 orang ( Kepala Urusan Agama/ menteri Agama )
Þ
Imamu 1 orang ( Imam )
Þ
Hatibi 2 orang. ( Khatib )\
Sedangkan
Pejabat Kerajaan dari golongan Walaka berjumlah 10 orang yaitu;
Þ Banto
balano 1 orang ( Perdana Menteri )
Þ Mintarano
bhitara 1 orang ( Mahkama Agung )
Þ Koghoerano
4 orang ( Kepala Pemerintahan Wilayah setingkat kecamatan )
Þ Mowano
Lindo empat Orang ( Kepala Pemerintahan Kampung )
Perangkat
Pejabat dalam Kerajaan khusunya golongan Lindo dan Fitu Bangkauno
berjumlah 7 orang. Perangkat kerja Raja Muna khususnya Wawono Liwu
berjumlah 3 orang. Mitra kerja raja muna yang mengatur dan di atur
disebut manusia awal.
Di masa
pemerintahan Raja Muna La ode Huseni, dalam tatanan adat istiadat masyarakat
Muna yang menyangkut soal akad nikah di tetapkan mahar menurut golongan
masing-masing sebagai berikut;
Þ Untuk
maharnya goloangan Kaomu 20 boka.
Þ Mahar
golongan Walaka 10 boka 10 suku.
Þ Maharnya
Lindo dan Fitu Bengkauno 7 boka 2 suku;
Þ Maharnya
Wawono Liwu 3 boka 2 suku
Inilah
hubungan antara golongan yang sukar dipisakan dan dihilangkan karena mempunyai
hikmah yang mengadung makna menjurus pada poadha-adhati, poangka-angkatao,
popia-piara dan pomoolo-moologho, yang menjadi landasan idiologi SOWITE.
Karena
jasanya dalam menyempurnakan struktur Kerajaan, masyarakat dan adat tersebut,
dikalangan masyarakat Muna La Ode Husaini di kenal sebagai “ Nembali
Kolakino Wuna Nofotoka Bhesarano. Poentauno Alamu Popano, Malaikati Popano,Bhe
Badhano Manusia, Bhewite”. Yang artinya kira-kita La Ode Huseni dinobatkan
menjadi Raja Muna lengkap dengan skturtur pemerintahan serta
perangkat-perangkat jabatan yang semua bernuansa religius atau ke agamaan.
Yakni agama Islam.
Pada tahun
1910 pemerintah Kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Muna. Akibatnya
tatanan kehidupan social
ekonomi
kemasyarakatan Muna mengalami kesenjangan. Namun
demikian
Semangat “ Koemo Bhada Sumamo Liwu, Koemo Liwu Sumamo Sara, Koemo
Sara Semanumo Adhati, Koemo Adhati Sumanomo Agama” terus berkobar dalam
jiwa setiap masyarakat Muna. Hal ini dapat dilihat dari terus
dikobarkannya semangat perlawanan oleh seluruh masyarakat sampai
Indonesia merdeka.
Bukti lain
dari besarnya api semangat yang dimiliki masyarakat Muna adalah dimana
hingga saat ini tatanan adat istiadat menurut golongan masing-masing masih
tetap terpelihara di Masyarakat Muna walaupun sebahagian masyarakatnya
tergolong modern dan berpendidikan tinggi. Bahkan walaupun mereka menjadi
pejabat tinggi di pemerintahan tetapi semangat memelihara tatanan adat istiadat
dalam jiwa mereka tidak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.
11.Raja Muna XX – La Ode
Umara I gelar Omputo ne Gege ( 1767 – 17 80 ),
La Ode Umara
I , Raja Muna XX adalah raja yang dihukum gantung oleh sarano Wuna karena telah
melakukan sebuah kesalahan yang besar. Keputusan untuk menjatuhkan hukuman
gantung tersebut merupakan vonis peradilan yang dinamakan mintarano
bhitara ( yang memangku kekuasaan peradilan- MA? ).
Tidak
diceritakan apa yang menjadi kesalahan Raja sehingga mendapatkan vonis
tersebut. Hal ini berkaitan dengan adab masyarakat Muna yang tabuh untuk
menceritakan aib saudaranya apa lagi itu seorang raja. Sidang majelis yang
menyidangkan Raja La Ode Umara berlangsung tertutup dan semua orang yang
terlibat dalam persidangan tersebut disumpah untuk tidak menyebarkan apa yang
dilihat dan didengar dalam persidangan. Diperkirakan kesalahan yang dilakukan
raja La Ode Umara yang menyebabkan dia mendapat hukuman gantung tersebut adalah
menyangkut kesusilaan.
14. Raja Muna XXIII
- La Ode Sumaili Gelar Omputo ne Sombo ( 1800 – 1816 ).
Pada
masa pemerintahan La Ode Sumaili terjadi pemberotakan yang dilakukan oleh Wa
Ode Kadingke Cucu dari Sangia La Tugho. Pemberotakan itu dipicu oleh perlawanan
terhadap sistem adat dalam hal kawin-mawin.
Wa Ode
Kadingke menolak denda adat yang begitu besar yang dibebankan pada suaminya
Daeng Marewa dari Suku Bugis. Menurut adat saat itu, apabila ada perempuan
keturunan yang berdara Kaomu ( Keturunan Raja ) akan menikah dengan orang yang
bukan suku Wuna maka laki-laki tersebut akan dikenakan denda adat berupa
membayar mahar sebesar 400 Boka.
Menurut
pandangan Wa Ode Kadingke yang berkeyakinan keislamannya cukup tinggi denda
tersebut bertentangan dengan hukum islam sebab menurut hukum islam mengenai
besaran mahar itu ditentukan oleh wanita yang akan menikah dan tidak membebani
pihak laki-laki.
Pemberontakan
itu semakin meluas, karena Waode Kadingke sangat mahir dalam strategi
perang. La Ode Sumaili tidak mampu meredam pemberontakan tersebut,bahkan
akibat pemberontakan itu Wa Ode Kadingke bersama suaminya Daeng Marewa
mendirikan Kesultanan Tiworo di bagian barat Pulau Muna.
Ketidak
mampuan La Ode Sumaili menumpas pemberotakan tersebut oleh sarano wuna
dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh Raja La Ode Sumaili,
olehnya itu La Ode Sumaili harus mendapat hukuman yang setimpal. Dalam sebuah
Rapat dewan sara diputuskan La Ode Sumaili untuk dihukum rajam samapi mati.
Itulah sebabnya La Ode Sumaili digelar Omputo nesombo artinya Raja
yang dihukum gantung.
15. Raja Muna XXIV
- LA Ode Saete gelar Sorano Masigi ( 1816-1830 ).
La Ode Saete
adalah Putera dari Wa Ode Kadingke dengan Daeng Marewa panglima perang
yang memimpin pemberontakan pada masa pemerintahan La Ode Sumaili. Setelah
Waode Kadingke berhasil mengalahkan La Ode Sumaili, maka Sarano Wuna
mengangkat La Ode Sumaili Puteranya sebagai Raja Muna XXIV menggantikan
La Ode Sumaili yang telah dikalahkannya.
Pada waktu
yang bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita dari Kesultanan Buton
Sebagai Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi dualisme kekuasaan di Muna.
Alasan Penunjukan La Ode Wita sebagai Raja Muna oleh Koalisi Buton –
Belanda tersebut karena Wa Ode Kadingke dianggap telah melanggar kesepakatan
yang telah dibuat antara pihak Wa Ode Kadinge dengan Koalisi Buton –
Belanda pada saat Wa Ode Kadingke meminta bantuan Belanda dan Buton
untuk melawan Raja La Ode Sumaili.
Namun
Sarano Wuna berpendapat lain, menurut Sarano Wuna kesepakatan yang telah dibuat
oleh para pihak tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kesepakatan antara
Pemerintahan karena selain waktu itu Wa Ode Kadingke bukan seorang raja juga
kesepakatan tersebut tidak mendapat persetujuan Sarano Wuna. Untuk itu Sarano
Wuna berkesimpulan sendiri yaitu dapat saja mengesampingkan kesepakatan itu dan
berhak mengangkat Raja berdaarkan hasil permusyawaratan Sarano Wuna.
Kendati
Sarano Wuna tidak mengakui penunjukan La Ode Wita sebagai Raja Muna, Namun
Kesultanan Buton tetap memaksakan keinginannya itu. Dibawah pengawalan tentara
Kolonial Belanda dan Kesultanan Buton, La Ode Wita diantar ke Wuna untuk
menjalankan kekuasaannya sebagai Wali Raja.
Intervensi.
Kesultanan Buton tersebut tentu saja mendapat penolakan dari Rakyat Kerajaan
Muna dan Sarano Wuna Akibatnya terjadi beberapa kali perang bersenjata antara
kedua Kerajaan.Selama masa pemerintahan LA Ode Saete tercatat lebih dari lima
kali terjadi perang terbuka antara Kerajaan Muna dengan Kolaisi Buton-Belanda.
Karenanya
sejak awal pemerintahan La Ode Saete, Belanda dan sekutunya Buton
memerangi Kerajaan Muna sebagai akibat dari penolakan Sarano Wuna dan Rakyat
Muna terhadap pengangkatan La Ode Wita sebagai Raja Muna yang di tunjuk oleh
Belada, maka selama masa pemerintahannya tidak ada perubahan sigifikan yang
dilakukannya.
Menghadapi
dua kekuatan besar tersebut, La Ode Saete tidak gentar. Dia terus
menggalang kekuatan serta menyusun strategi dalam menghadapi perang tersebut
dengan menyeruhkan perang semesta.
Strategi
yang pertama dipilih oleh La Ode Saete untuk menghadapi perang tersebut
adalah meindahkan pusat pemerintahan dekat dengan masjid Muna di Kota
Lama Muna. Setelah itu Raja La Ode Saete juga menyususn strategi perang dalam
melakukan konfrontasi dengan pasukan Koalisi Buton – Belanda. Strategi yang
dilakukan oleh La Ode Saete tersebut ternyata sangat jitu, sehingga Belanda
tidak dapat menguasai Kerajaan Muna.
Karena
La Ode Saete memindahkan Pusat Pemerintahan Kerajaan Muna dekat dengan Masjid,
maka setelah mangkat La Ode Saete dianugrahi gelar ‘ Omputo Sorano
Masigi’ oleh Sarano Wuna yang artinya raja yang mendekati masjid.
Dalam perang
antara kerajaan Muna yang dipimpin oleh Raja La Ode Saete dengan pasukan
Koalisi Buton – Belanda, beberapa kali Pasukan Koalisi dapat dihancurkan oleh
pasukan kerajaan Muna.
Tak mampu
menundukan Kerajaan Muna, akhirnya La Ode Wita Raja yang dilantik oleh Belanda
akhirnya ditarik kembali Ke Kesultanan Buton. Sampai akhir masa
pemerintahan La Ode Saete( 1830 ) perang antara Kerajaan Muna dengan pasukan
koalisi Buton-Belanda terus berlanjut. La Ode Saete mengakhiri masa
pemerintahan karena mangkat.
Raja Muna XXV - La
Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1864 )
La Ode Bulae
adalah Putera Raja Muna XXV La Ode Saete. Pada saat diangkat menjadi Raja Muna,
La Ode Bulae baru berusia 12 tahun. Pengangkatan la ode Bulae sebagai Raja Muna
berkenaan dengan mangkatnya ayahanda beliau La Ode Saete. Karena pada saat
mangkat Raja Muna XXV La Ode saete hanya memiliki satu anak laki-laki yang baru
berusia 12 tahun yaitu laode bulae, maka Saraano Wuna bersepakat mengangkatnya
sebagai Raja Muna XXVI penggantikan ayahandanya.
Pengangkatan
La Ode Bulae yang baru berusia 12 tahu tesrebut menjadi dilema karena pada
saat penobatannya sebagai Raja La Ode Bulae masih terlalu muda dan
dianggap belum cakap mengendalikan pemerintahan. Namun pada saat yang
bersamaan Kerajaan Muna membutuhkan seorang Pemimpin karena pada saat itu Muna
sedang berkonfrontasi dengan Belanda serta sekutunya Buton. Sedangkan untuk
melakukan prosedur pengangkatan raja seperti yang telah diatur yaitu melalui
pemilihan yang dilakukan oleh sarano sangat tidak mungkin karena pasukan
koalisi Buton –Benlanda terus mengganggu.
Dalam situasi
yang pelik tersebutlah, maka SaranoWuna mengambil keputusan cepat dengan
mengangkat La Ode Bulae Putera Raja La Ode Saete sebagai Raja Muna XXV.
Namu karena Raja La Ode Bulae masih sangat belia dan diangap belm cakap
menjalankan pemerintahan, maka Sarano Wuna nmenunjuk La Aka ( Bonto balano )
untuk menjalankan pemerintahan, sedangkan La Ode Bulae tetap sebagai kepala
negara.
Lain dengan
Belanda, moment mangkanya Raja La Ode Saete dan raja penggantinya yang masih
sangat muda dimafaatkan untuk menguasai pemerintahan kerajaan Muna dengan
memaklamatkan secara sepihak bahwa segala urusan pemerintahan Kerajaan Muna
berada dalam kendali Pemerintahan Kolonial Belanda.
Raja La Ode
Bulae yang masih begitu muda tidak mampu melawan maklumat tersebut, sehingga
untuk beberapa saat segala urusan administrasi pemerintahan dijalankan oleh
Wali Raja dari Kesultanan Buton yang ditunjuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Setelah
Dewasa, La Ode Bulae mejalankan pemerintahan melajutkan kebijakan
Ayahandanya. La Ode Saete menyeruhkan untuk melakukan konfrontasi dengan
Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton. La Ode Bulae menyeruhkan perang semesta
terhadap Kolonial Belanda dan Buton sehingga terjadi berang besar antara
Kerajaan Muna dengan Belanda dan sekutunya Buton.
Dalam sebuah
perang, Belanda dan sekutunya Buton berhasil menangkap La ode Bulae dan
membawahnya kepersidangan pengadilan di Makassar. Dalam periudangan pengadilan
tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan dibuang di Pulau Nusa Kambangan,
kemudian diasingkan ke Bengkulu.
20. Raja Muna XXX
- La Ode Ngkaili ( 1870-1907)
La Ode
Ngkalili adalah raja Muna Pada masa Pemerintahan La Ode Ngkaili Pusat
pemerintahan Kerajaan Muna di pindahkan dari Kota Muna ke Raha oleh penguasa
Kolonial Belanda. Pemindahan pusat pemerintahan tersebut dibawah
tekanan militer Kolonial Belanda setelah pasukan Kerajaan Muna mengalami
kekalahan dalam sebuah pertempuran melawan pasukan koalisi Belanda- Buton.
Bersamaan dengan pemindahan ibu kota kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda
mengutus seorang raja dari Kesultanan Buton yaitu la Ode Maktubu untuk
menggulingkan Raja La Ode Ngkaili yang sedang berkuasa dan diangkat oleh
Sarano Wuna.
21. Raja Muna XXXI
- La Ode Ahmad Maktubu/ periode pertama (1907 –- 1914)
Setelah
pasukan koalisi Belanda –Buton memenangkan pertempuran pada tahun 1906 dan
berhasil menggulingkan Raja Muna XXX La Ode Ngkaili, penguasa Kolonial
Belanda di Makassar mengutus seorang dari Kesultanan Buton yakni La Ode Maktubu
untuk menjadi Raja di Kerajaan Wuna sebagai Raja Muna XXXI. La Ode Maktubu
adalah Putera Sultan Buton La Ode Salihi buah perkawinannya dengan putri
raja Muna La Ode Bulae yang bernama Wa Ode Ogo.
Walaupun La
Ode Ahmad Maktubu masih memiliki hubungan darah dengan Raja-Raja Muna, namun
intervensi Pemerintahan Belanda dan Pengkoptasian Kesultanan Buton terhadap
Kerajaan Muna tidak diterima oleh segenap masyarakat Kerajaan Muna sehingga
terjadi penolakan terhadap pengangkatan La OdeAhmad Maktubu tersebut.
Para Petinggi
kerajaan Muna yang didukung oleh seluruh masyarakat Muna melakukan perlawanan
dan menyeruhkan perang terbuka terhadap intervensi pemerintahan Kolonial
tersebut. Salah satu dari wujud perlawanan itu adalah Sarano Wuna segera
menggelar rapat dan bersepakat untuk mengakat La Ode Umara sebagai Raja
Muna XXXI menggantikan Raja La Ode Ngkaili yang telah digulingkan oleh koalisi
Belanda- Buton, serta tidak mengakui La Ode Maktubu Sebagai Raja Muna.
Besarnya
dukungan rakyat terhadap keputusan Sarano Wuna yang tidak mengakui La Ode
Ahmad Maktubu sebagai raja Muna, memaksa La Ode Ahmad
Maktubu meninggalkan Muna dan kembali ke Buton.
Sekembalinya di Buton, Laode Ahmad Maktubu mengadukan perinstiwa tersebut pada
sekutunya Belanda.
Pengaduan
Kesultanan Buton atas sikap Pemerintahan Kerajaan Muna mengusir utusan Kesultanan
Buton, ditanggapi serius oleh pemerintah Kolonial Belanda sehingga dikirim
pasukan militer untuk memerangi kerajaan Muna.
Pada sebuah
pertempuran di sekitar Lohia ( Selat Buton ) tahun 1907, pasukan sekutu
Belanda – Buton berhasil mengalahkan prajurit kerajaan Muna dan
menggulingkan pemerintahan La Ode Umara yang diangkat oleh sarano Wuna. Setelah
berhasil menggulingkan Pemerintahan La Ode Umara, Belanda kembali
menobatkan La Ode Ahmad Maktubu sebagai raja Muna sampai tahun 1914.
23. Raja Muna XXXIV – La
Ode Pulu (1914-1918)
Pada
masa pemerintahan La Ode Pulu, intervensi politik Kolonial Belanda di Kerajaan
Muna semakin kuat. Di akhir masa pemerintahan La Ode Pulu ( 1918 ) Pemerintah
Kolonial Belanda dan Kesultanan Buton secara sepihak melakukan perjanjian yang
dikenal dengan Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918. Belanda dalam
perjanjian itu diwakili oleh Residen Bougman sedangkan Kesultanan Buton
di Wakili oleh Sultan Buton La Ode Muhammad Asyikin. Isi perjanjian
tersebut adalah Belanda hanya mengakui ada dua pemerintahan setingkat
swapraja di Sulawesi tenggara yaitu Swapraja Laiwoi dan Swapraja
Buton. Dengan demikian menurut perjanjian tersebut secara otomatis Muna
menjadi bagian dari Kesultanan Buton/ Underafdeling.
Sebagai Raja
yang berdaulat dan diangkat oleh Sarano Wuna, La Ode Pulu tidak mengakui
perjanjian Korte Varklering tersebut sehingga beliau memimpin rakyat Muna untuk
melakukan perlawanan terhadap Belanda dan Buton.
Karena kalah
dalam persenjataan dan jumlah personil pasukan maka La Ode Pulu dan pasukannya
dapat dikalahkan oleh Pasukan Koalisi Belanda-Buton. akhirnya La Ode Pulu dapat
ditangkap dan di asingkan di Nusa Kambangan. Selama dua Tahun pasca
pemerinyahan La Ode Pulu, Kerjaan Muna berada dalam Kekuasaan Kolonial Belanda
sampai dewan Adat ( Sarano Wuna mengadakan rapat dan mengangkat La Ode
Afiuddin sebagai Raja.
Raja Muna XXXVI –
La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 ).
Pada tahun
1930, Sarano Wuna kembali mengadakan Rapat untuk mengangkat Raja Muna. Pada rapat
yang digelar selama 7 hari tersebut, Sarano Wuna menyepakati untuk mengangkat
seorang pejabat kampung yaitu Kino Labasa yang bernana La Ode Dika sebagai Raja
Muna menggantikan La Ode Rere yang digulingkan oleh Kolonial Belanda.
Pada masa
pemerintahan La Ode dika dilakukan pemugaran masjid agung di Kota Muna menjadi
semi permanen. Sebagian dari material pembuatan masjid tersebut
dibantu oleh kontrolir Belanda , Jules Couvreur yang bertugas di
Muna saat itu.
Karena selama
menjadi Raja Muna ( 8 Tahun ) La Ode Dika sangat fokus terhadap pembangunan
masjid, maka beliau digear Komasigino artinya yang memiliki
masjid.Selama bertugas di Muna Juleus Couvreur juga giat menelusuri
sejarah dan mempelajari adat istiadat masyarakat Muna. Penelusurannya terhadap sejarah
dan adat istiadat tersebut dituangkan dalam sebuah buku “Sejarah dan
Kebudayaan Kerajaan Muna “ yang diterbitkan Artha Wacana Press, Kupang, Nusa
Tenggara Timur, tahun 2001.
Sebagai
mana raja muna yang lain, La Ode Dika juga tidak mau tunduk dengan Kolonial
Belanda dan sekutunya Buton. La Ode Dika juga tidak mengakui isi perjanjian
Korte Verklaring sebab perjanjian itu dianggap ilegal. Sikap
perlawanan La Ode Dika tersebut di tunjukan saat berkunjung di istana
kesultanan Buton. Di hadapan Sultan Buton, La Ode Dika tidak mau memberi hormat
pada Sultan, tapi malah justeru mengancungkan telunjuk seakan memberi ancaman
pada Sultan Buton.
Apa
yang yang dilakukan La Ode Dika tersebut oleh Sultan Buton dilaporkan pada
Penguasa Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya La Ode Dika dipecat dari
jabatannya sebagai Raja Muna.
Menurut La
Ode Ali Hanafi salah seorang Putera La Ode Dika dalam Buku bigrafi “La Ode
Dika Omputo Komasigino” yang ditulisnya mengatakan bahwa penobatan La Ode
Dika sebagai raja Muna tidak melewati proses sebagai mana lazimnya penentuan
kandidat raja . La Ode Dika sebagai mana tertuang dalam Biografi tersebut
adalah satu-satunya raja yang dinobatkan menjadi Raja Muna yang tidak terlebih
dahulu menjabat Kino Ghoera tetapi hanya menjabat sebagai kepala Kampung.
Jabatan terakhir La Ode Dika sebelum menjadi Raja Muna adalah Kepala Kampung
Labasa.
32. Raja Muna
XXXVII – La Ode Pandu ( 1947-1956).
Setelah
terjadi kekosongan kekuasaan di kerajaan Muna selama Sembilan tahun (
1938– 1947 ), pemerintah Belanda di Makassar mengangkat La Ode Pandu
sebagai pejabat Raja Muna pada tahun 1947 dan dilantik pada tahun itu juga di
depan Masjid Muna di Kota lama Muna. Pelantikan Laode Pandu dihadiri oleh
utusan pemerintah belanda. La Ode Pandu mengahiri masa pemerintahannya setelah
meninggal akibat ditembak gerombolan DI/TII di Posunsuno Kecamatan Parigi saat
melakukan kunjungan di Wasolangka.
Peristiwa
penembakan tersebut terjadi saat Raja La Ode Pandu akan melakukan kunjungan ke
Wasolangka. Kunjungan itu berkaitan terjadinya paceklik di wilayah tersebut
akibat gagal panen. Dalam perjalanan menuju Wasolangka tersebutlah kendaraan
yang ditumpangi Raja Muna La Ode Pandu dihadang para pemberontak DII/TII. Ikut
menjadi korban dalam peristiwa itu adalaah sopir beliau dan pengawalnya.
Sepeninggal
La Ode Pandu tidak ada lagi proses pengangkatan Raja. Demikian pula dengan
dewan sara bubar dengan sendiri. Olehnya itu Kerajaan Muna juga ikut bubar.
Para pejuang
Muna memfokuskan diri dalam perjuangan pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara
dan Kabupaten Muna.Gerakaan perjuagan ini berkaitan dengan kooptasi Kesultanan
Buton terhadap Kerajaan Muna, sehingga begitu ada wacana pemisahan Kabupaten
Sulawesi Tenggara dari Propinsi Sulawesi Selatan tenggara dan akan membentuk propinsi
sendiri, Muna tidak masuk dalam salah satu Kabupaten yang akan menjadi Propinsi
Sulawesi tenggara.
Melihat fakta
tersebut Tokoh-tokoh Muna, baik yang ada di Muna ataupun d Makassar, yang tua
ataupun yang muda bersatu secara sinergis memperjuangkan pembentukan Propinsi
Sulawesi tenggara sekaligus pembentukan kabupaten Muna
BAB VI
SUGI MANURU ” OMPUTO MEPASOKINO
ADHATI “
Bheteno ne Tombula alias La Eli alias Baidhul Jamani adalah
Raja Muna I. Bheteno ne Tombula dipercaya sebagai orang pertama yang memulai
beradabaan baru dalam sistem sosial kemasyarakatan di Muna. Hal ini dikarenakan
pada masa pemerintahan Bheteno Ne Tombula Muna menjadi sebuah kerajaan dengan
struktur pemerintahan dan struktur sosial yang lebih moderen. Sebagai seorang
raja Sugi manuru juga melakukan penataan dalam sistem administrasi
pemerintahan, walapun pada waktu itu masyarakat Muna termasuk raja belum
mengenal tuulisan. Bheteno Ne tombula bukanlah orang Muna, beliau ditemukan
dalam rumpun bambu oleh sekelompok orang yang ditugaaskan utnuk mencari bambu
pada saat diadakan pesta besar di Wamelai.
.
Dikisahkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna bahwa pada suatu hari, Mieno ( Pemimpin Wilayah ) Wamelai akan mengadakan pesta raya, seluruh masyarakat Muna di delapan wilayah dikumpulkan untuk turut membantu mempersiapkan pelaksanaan pesta tersebut. Sekelompok orang yang ditugaskan untuk mencari bamboo dihutan, menemukan seorang lelaki yang gagah perkasa di dalam rumpun bamboo yang akan ditebang, ada juga yang mengisahkan bahwa manusia tersebut ditemukan dalam ruas bamboo.
Karena penemuan tersebut dianggap aneh, lelaki itu kemudian dibawah menghadap pada mieno Wamelai . Dihadapan mieno Wamelai dan pemimpin wilayah lainnya lelaki itu mengaku bernama LA ELI alias BAILDHUL JAMAANI Putra Raja Luwu di Sulawesi selatan. Dituturkan dalam tradisi lisan, kedatangan LA ELI alias BAILDHUL JAMAANI di Muna untuk menunggu istrinya yang saat ini sedang hamil dan akan datang menemui dirinya. Tempat pertemuan yang mereka sepakati untuk pertemuan itu adalah Pulau Muna ( Wuna).
Selang beberapa hari setelah penemuan manusia dalam rumpun bamboo tersebut, tersiar kabar bahwa di Lohia pesisir Timur Pulau Muna, tepatnya di Curuk Napabale ditemukan seorang wanita cantik. Wanita tersebut mengaku bernama WA TANDI ABE . berasal dari kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah, dia datang di Muna dengan menumpang sebuah talang dan terdampar ditempat itu. Tujuan kedatangannya adalah untuk bertemu dengan suaminya yang telah menungguhnya disuatu tempat dimana talang yang ditumpanginya terdampar.
Kabar tentaang terdamparnya seorang wanita di Lohia tersebut tersebar luas begitu cepat dikalaangan masyarakaat. Pada suatu hari kabar itu sampai juga ditelinga MIENO WAMELAI di Tongkuno, sehingga beliau memerintahkan agar wanita tersebut di dibawa menghadap dirinya guna dipertemukan dengan LA ELI alias BAIDHULJAMANI untuk di konfrontir. Ternyata setalah dipertemukan keduanya mengaku sebagai suami istri dan mereka yang saling mencari . Dalam pertemuan tersebut Wa Tandi Abe juga mengaku dalam keadaan hamil, dan janin dalam rahimnya tersebut adalah darah daging dari LA ELI alias BAIDHUL JAMANI suaminya yang ada dihadapannya saat ini. .
Karena peristiwa itu dianggap luar biasa dan tidak lazim, maka rapat dewan adat menyepakati untuk ‘memingit’ keduanya dalam sebuah kelambu selama tujuh hari tujuh malam. Tujuan pemingitan adalah untuk mencegah hal-hal negative yang timbul akibat penemuan dua orang yang aneh tersebut dan mengaku sebagai Suami istri. Setelah tujuh hari dalam ‘pingitan’, ternyat tidak ada kejadian yang luar biasa sehingga keduanya di keluarkan dari pingitan kemudian di nikahkaan kembali menurut adat yang berlaku dikalangan masyarakat Muna. .
Peristiwa pemingitan tersebut akhirnya menjadi tradisi dan menjadi syarat yang harus dilalui seseorang yang akan menjadi Raja Muna. Peristiwa ini juga menjadi tradisi yang harus dilalui seorang wanita yang telah memasuki usia baliqh sebagai tanda kalau wanita tersebut sudah siap untuk dinikahkan. Tradisi ini diberi nama ‘ Kaghombo’ dan masih terpelihara dengan baik sampai saat ini. . .
Perkawinan antara LA ELI alias BAIDHUL JAMANI dengan WA TANDIABE melahirkan tiga anak yaitu KAGHUA BANGKANO FOTU. RUNTU WULAE dan KILAMBIBITO. KAGHUA BHANGKANO FOTU kemudian menjadi Raja Muna II dengan gelar SUGI PATOLA. Sugi berarti ’Yang Dipertuan’. RUNTU WULAE kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di sana sedangkan KILAMBIBITO kawin dengan LA SINGKABU (kamokulano Tongkuno) Putera dari MINO WAMELAI (La Kimi Sejarah Muna, Jaya Press).
LAKILAPONTO Raja Muna VII dan Raja Buton VI/ Sultan Buton I manusia yang fenomenal karena pernah memimpin lima kerajaan dalam waktu yang bersamaan berasal dari garis keturunan sugi tersebut. Dalam sebuah rapat dewan adat dan semua pemimpin wilayah, disepakati bahwa La Eli atau Badhuljamani adalah manusia sakti dan pantas untuk dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi di Muna. Setelah dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi, La Eli/ Baidhuljamani mendeklarasikan Muna sebagai sebuah Kerajaan dan dirinya adalah Raja Pertama dengan Gelar Bheteno Ne Tombula ( yang Muncul di Bambu ) sedangkan istrinya ( permaisuri ) bergelar Sangke palangga ( yang menumpang pada talam). Sejak saat itulah Muna menjadi sebuah kerajaan. .
Tugas pertama Bheteno ne Tombula Setelah menjadi Raja adalah melakukan penataan struktur pemerintahan dan struktur masyarakat Muna. Dalam struktur pemerintahan Bheteno Ne Tombula menetapkan : :
1. Raja sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dengan gelar Lakina.
2. Kepala Pemerintahan Wilayah dengan gelar Mieno (pemimpin ) dan Komokula ( Yang d dituakan) )
3. Rakyat atau kelompok yang diatur dengan gelar Ana ( yang dianggap anak ).
Pembagian wilayah pada masa pemerintahan Bheteno Ne Tombula masih memakai s sistem yang lama delapan wilayah yang yang terdiri dari : ;
1. Mieno Kaura a
2. Mieno Kansitala a
3. Mieno o
4. Mieno Ndoke.
Dikisahkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna bahwa pada suatu hari, Mieno ( Pemimpin Wilayah ) Wamelai akan mengadakan pesta raya, seluruh masyarakat Muna di delapan wilayah dikumpulkan untuk turut membantu mempersiapkan pelaksanaan pesta tersebut. Sekelompok orang yang ditugaskan untuk mencari bamboo dihutan, menemukan seorang lelaki yang gagah perkasa di dalam rumpun bamboo yang akan ditebang, ada juga yang mengisahkan bahwa manusia tersebut ditemukan dalam ruas bamboo.
Karena penemuan tersebut dianggap aneh, lelaki itu kemudian dibawah menghadap pada mieno Wamelai . Dihadapan mieno Wamelai dan pemimpin wilayah lainnya lelaki itu mengaku bernama LA ELI alias BAILDHUL JAMAANI Putra Raja Luwu di Sulawesi selatan. Dituturkan dalam tradisi lisan, kedatangan LA ELI alias BAILDHUL JAMAANI di Muna untuk menunggu istrinya yang saat ini sedang hamil dan akan datang menemui dirinya. Tempat pertemuan yang mereka sepakati untuk pertemuan itu adalah Pulau Muna ( Wuna).
Selang beberapa hari setelah penemuan manusia dalam rumpun bamboo tersebut, tersiar kabar bahwa di Lohia pesisir Timur Pulau Muna, tepatnya di Curuk Napabale ditemukan seorang wanita cantik. Wanita tersebut mengaku bernama WA TANDI ABE . berasal dari kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah, dia datang di Muna dengan menumpang sebuah talang dan terdampar ditempat itu. Tujuan kedatangannya adalah untuk bertemu dengan suaminya yang telah menungguhnya disuatu tempat dimana talang yang ditumpanginya terdampar.
Kabar tentaang terdamparnya seorang wanita di Lohia tersebut tersebar luas begitu cepat dikalaangan masyarakaat. Pada suatu hari kabar itu sampai juga ditelinga MIENO WAMELAI di Tongkuno, sehingga beliau memerintahkan agar wanita tersebut di dibawa menghadap dirinya guna dipertemukan dengan LA ELI alias BAIDHULJAMANI untuk di konfrontir. Ternyata setalah dipertemukan keduanya mengaku sebagai suami istri dan mereka yang saling mencari . Dalam pertemuan tersebut Wa Tandi Abe juga mengaku dalam keadaan hamil, dan janin dalam rahimnya tersebut adalah darah daging dari LA ELI alias BAIDHUL JAMANI suaminya yang ada dihadapannya saat ini. .
Karena peristiwa itu dianggap luar biasa dan tidak lazim, maka rapat dewan adat menyepakati untuk ‘memingit’ keduanya dalam sebuah kelambu selama tujuh hari tujuh malam. Tujuan pemingitan adalah untuk mencegah hal-hal negative yang timbul akibat penemuan dua orang yang aneh tersebut dan mengaku sebagai Suami istri. Setelah tujuh hari dalam ‘pingitan’, ternyat tidak ada kejadian yang luar biasa sehingga keduanya di keluarkan dari pingitan kemudian di nikahkaan kembali menurut adat yang berlaku dikalangan masyarakat Muna. .
Peristiwa pemingitan tersebut akhirnya menjadi tradisi dan menjadi syarat yang harus dilalui seseorang yang akan menjadi Raja Muna. Peristiwa ini juga menjadi tradisi yang harus dilalui seorang wanita yang telah memasuki usia baliqh sebagai tanda kalau wanita tersebut sudah siap untuk dinikahkan. Tradisi ini diberi nama ‘ Kaghombo’ dan masih terpelihara dengan baik sampai saat ini. . .
Perkawinan antara LA ELI alias BAIDHUL JAMANI dengan WA TANDIABE melahirkan tiga anak yaitu KAGHUA BANGKANO FOTU. RUNTU WULAE dan KILAMBIBITO. KAGHUA BHANGKANO FOTU kemudian menjadi Raja Muna II dengan gelar SUGI PATOLA. Sugi berarti ’Yang Dipertuan’. RUNTU WULAE kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di sana sedangkan KILAMBIBITO kawin dengan LA SINGKABU (kamokulano Tongkuno) Putera dari MINO WAMELAI (La Kimi Sejarah Muna, Jaya Press).
LAKILAPONTO Raja Muna VII dan Raja Buton VI/ Sultan Buton I manusia yang fenomenal karena pernah memimpin lima kerajaan dalam waktu yang bersamaan berasal dari garis keturunan sugi tersebut. Dalam sebuah rapat dewan adat dan semua pemimpin wilayah, disepakati bahwa La Eli atau Badhuljamani adalah manusia sakti dan pantas untuk dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi di Muna. Setelah dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi, La Eli/ Baidhuljamani mendeklarasikan Muna sebagai sebuah Kerajaan dan dirinya adalah Raja Pertama dengan Gelar Bheteno Ne Tombula ( yang Muncul di Bambu ) sedangkan istrinya ( permaisuri ) bergelar Sangke palangga ( yang menumpang pada talam). Sejak saat itulah Muna menjadi sebuah kerajaan. .
Tugas pertama Bheteno ne Tombula Setelah menjadi Raja adalah melakukan penataan struktur pemerintahan dan struktur masyarakat Muna. Dalam struktur pemerintahan Bheteno Ne Tombula menetapkan : :
1. Raja sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dengan gelar Lakina.
2. Kepala Pemerintahan Wilayah dengan gelar Mieno (pemimpin ) dan Komokula ( Yang d dituakan) )
3. Rakyat atau kelompok yang diatur dengan gelar Ana ( yang dianggap anak ).
Pembagian wilayah pada masa pemerintahan Bheteno Ne Tombula masih memakai s sistem yang lama delapan wilayah yang yang terdiri dari : ;
1. Mieno Kaura a
2. Mieno Kansitala a
3. Mieno o
4. Mieno Ndoke.
Dan empat kamokula adalah sebagai berikut ;
1. Kamokulano Tongkuno
2. Kamokulano Barangaka
3. Kamokulano Lindo
4. Kamokulano Wapepi
Untuk mengatur Pemerintahan, bheteno Ne Tombula membagi masyaraakat Muna menjadi tiga Golongan yaitu :
1. Golongan Beteno Ne Tombula, Golongan ini yang berhak menjadi raja
2. Golongan Mieno Wamelai, Golongan ini berhak untuk menjadi kepalah pemerintahan wilayah.
3. Golongan Rakyat adalah orang yang diatur.
Struktur pemerintahan, pembagian wilayah dan pembagian golongan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Raja Muna VI SUGI MANURU.
1. Kamokulano Tongkuno
2. Kamokulano Barangaka
3. Kamokulano Lindo
4. Kamokulano Wapepi
Untuk mengatur Pemerintahan, bheteno Ne Tombula membagi masyaraakat Muna menjadi tiga Golongan yaitu :
1. Golongan Beteno Ne Tombula, Golongan ini yang berhak menjadi raja
2. Golongan Mieno Wamelai, Golongan ini berhak untuk menjadi kepalah pemerintahan wilayah.
3. Golongan Rakyat adalah orang yang diatur.
Struktur pemerintahan, pembagian wilayah dan pembagian golongan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Raja Muna VI SUGI MANURU.
BAB VII
LA KILAPONTO
” OMPUTO
MEPOKONDUAGHONO “GHOERA”
Lakilaponto
Raja Muna VII ( 1538- 1541 M ) putera Raja Muna VI Sugi Manuru, adalah manusia
yang fenomenal. Dia memimiliki kesaktian yang tinggi, ahli strategi perang,
piawai dalam berdiplomasi serta pakar ketata negaraan. Karena kepiawaiannya
tersebut LA KILAPONTO pernah memimpin lima kerajaan besar dalam waktu
bersamaan, hal ini dijelaskan dalam dokumen koleksi Belanda “ Adapun tatkala
Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka
menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang
besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa
dialihkan, Mekonggo dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun
dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ). Karena itulah LA KILAPONTO
dikalangan masyarakat muna di beri gelar ‘ mepokonduaghono Ghoera’ artinya
orang yang menggabungkan Negeri/Kampung.
Dari semua kerajaan yang pernah dipimpinnya, hanyalah di kerjaan Buton LA KILAPONTO memerintah cukup lama yaitu 46 tahun ( 1538 – 1584 M ). Di kerajaan Muna LA KILAPONTO menjadi raja kurang lebih 3 tahun ( 1538 – 1541 M ), setelah itu dilanjutkan oleh adiknya LA POSASU sebagai Raja Muna VIII. Sedangkan di kerajaan-kerajaan lainnya tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan berapa lama LA KILAPONTO menjadi Raja di kerajaan tersebut serta bagaiman proses penyerahan kekuasaan pasca LA KILAPONTO.
LA KILAPONTO menjadi Raja pada kerajaan – kerajaan itu bukan karena invasi, tetapi karena kharisma beliau atau penghargaan karena berhasil melakukan sesuatu yang besar dinegeri tersebut. Hal ini dapat dilihat setelah beliau menjadi Penguasa di negeri itu dia tidak berusaha untuk menjadikan negeri itu sebagai koloni atau bagian dari Kerajaan Muna, tetapi membiarkan tetap merdeka dan Berdaulat. Padahal bila mau LA KILAPONTO dapat saja menggabung kerajaan-kerajaan tersebut dibawah kerajaan Muna karena sebagai raja dia punya kekuasaan yang besar.
LA KILAPONTO dikenal mewarisi ilmu yang diturunkan oleh ayahandanya SUGI MANURU di bidang Tata Negara, diplomasi dan strategi perang. Potensi yang dimiliki LA KILAPONTO tersebut telah dilihat oleh ayahandanya SUGI MANURU. Olehnya itu sebelum dinobatkan menjadi Raja Muna LA KILAPONTO ditugaskan untuk melaksanakan misi diplomasi dibeberapa kerajaan seperti Todore, Ternate, Banggai dan Luwu. ( Lakimi; Sejarah Muna, Jaya Press Raha). Misi diplomatik yang dilakukan LA KILAPONTO sangat sukses, sebab beliau dapat meyakinkan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan Muna. Hal ini dibuktikan setelah kunjungan diplomatik tersebut sudah tidak ada lagi gangguan keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna yang datang dari kerajaan-kerajaan tersebut.
Kepakaran LA KILAPONTO dalam bidang ketatanegaraan dapat dilihat saat beliau menjaddi penguasa di suatu negeri. Selain Hal ini dapat dilihat pada saat ,menjadi Raja di suatu kerajaan beliau melakukan penataan sisten ketata negaraan Kerajaan tersebut. Beliau juga menanamkan falsafa atau nilai-nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang diajarkan oleh SUGI MANURU yaitu ;
Pobini-biniti kuli, ( saling tengang rasa )
Poangka-angka tau, ( Saling harga-menghargai )
Poma-masigho, ( Saling sayang- menyayangi )
Poadha-adhati. (Saling menghormati )
Keempat prinsip dasar diatas wajib dipahami dan dijalankan oleh setiap warga kerajaan dalam hal ini termasuk juga Raja dan aparat kerajaan lainnya.
LA KILAPONTO juga menyebar luaskan konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan yang dipimpinnya Yaitu :
Hansuru –hansuru badha Sumano kono hansuru liwu ( Biarlah badan binasa asal Negara tetap berdiri ).
Hansuru-hansuru Liwu Sumano kono hansuru Ahdati ( kalaupun Negara harus bubar adat tetap harus dipertahankan ).
Hansuru-hansuru Adhati sumano Tangka Agama ( Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama harus tetap ditegakkan ).
Falsafah dasar dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja Muna VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan pada kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO. Tentu saja falsafa dasar dan konstitusi tersebut diadaptasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyrakat setempat dalam hal ini termasuk nilai-nilai Islam sebelum dijadikan sebagai Konstitusi Kerajaan. Sikap toleransi terhadap masuknya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat local dan nilai- nilai agama yang positif merupakan strategi untuk menghindari konflik dan penolakan masyarakat terhadap ajaran itu. Misalnya Konsitusi pada Kerajaan / kesultanan Buton yang diproklamirkan pada masa Sultan Buton IV DAYANU IKSANUDDIN (1597- 1631 M) yang mesakukan nilai-nilai Islam. Konstitusi Kesultanan Buton itu dikenal dengan Martabat Tujuh. DAYANU IKHSANUDDIN adalah cucu LA KILAPONTO dari putrinya PARAMASUNI yang bersuamikan LA SIRIDATU.
Menurut A.E. saidi dalam makalahnya pada Simposium Internasionel Pernaskahan Nusantara IX di Baruga Keraton Buton 5 – 8 Agustus 2005, Martabat Tujuh di Undangkan oleh Sapati LA SINGGA pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung Keraton. Inti dari Konstitusi Martabat Tujuh yaitu ; 1) Pomae-maeyaka; 2) Popiara-piara’ 3) Po maa-maasiaka. 4) Poangka-angkataka. Keempat nilai dasar dari Konstitusi martabat Tujuh memiliki makna yang sama dengan apa yang diajarkan oleh Raja Muna VI SUGI MANURU pada tahun 1438 M. Demikian pula tatanan pemerintahan yang dianut kesultanan Buton seperti yang termuat dalam Martabat Tujuh juga merupakan sisten dan tatanan pemerintahan yang diterapkan oleh Kerajaan Muna sejak jaman SUGI MANURU Raja Muna VI ( Baca; Sugi Manuru ) .
Selain alhi di bidang Tata Negara, LAKILAPONTO juga piawai dalam bidang diplomasi serta ahli dalam strategi perang. Kemampuan diplomasi LA KILAPONTO dibuktikan dengan dapat mendamaikan konflik dua kerajaan besar di jazirah Pulau Sulawesi bagian Tenggara yaitu kerajaan Konawe dan Mekongga. Konflik kedua kerajaan tersebut telah berlangsung lama dan telah banyak menelan korban nyawa dan harta. Oleh LA KILAPONTO konflik tersebut diselesaikan hanya dalam waktu delapan hari, sehingga di kedua kerajaan tersebut LA KILAPONTO di beri gelar “HALUOLEO” yang artinya delapan hari. Karena sukses mendamaikan konflik tersebut, LA KILAPONTO dinikahkan dengan Putri Raja Konawe yang bernama ANAWAY ANGGUHAIRAH serta dinobatkan menjadi Raja Konawe.
Sebagai mana kerajaan-kerajaan kuno lainnya, LA KILAPONTO menjalankan strategi diplomasinya melalui perkawinan. Dalam beberapa sejarah ditulis selama hidupnya La Kilaponto melakukan perkawinan sebanyak 5 kali, berturut-turut putri yang dikawininya adalah :
1. WA TAMOIDONGI ( Putri Raja Buton V LA MULAE)
2. WA ANAWAY ANGGUHAIRAH ( Putri kerajaan Mekongga )
3. Putri raja Jampea
4. Putri Raja selayar OPU MANJAWARI
5. WA SAMEKA ( Putri Sangia YI TETE )
Dari masing-masing perkawinannya tersebut, LA KILAPONTO/SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS/SULTAN MURHUM memperoleh putra dan putri yaitu :
1. perkawinan dengan WA TAMPOIDONGI tidak memperoleh anak
2. perkawinan dengan ANAWAI ANGGUHAIRAH memperoleh 3 orang puteri yaitu WA ODE POASIA, WA ODE LEPO-LEPO dan WA ODE KONAWE.
3. perkawinan dengan putri raja Jampae memperoleh 1 orang putera yang bernama LA TUMPARASI (Sangia Boleko)
4. perkawinan dengan putri raja Selayar memperoleh 1 orang putera yang bernama LA SANGAJI (Sangia Makengkuna)
5. Perkawinan dengan Wa Sameka memperoleh 4 orang puteri yaitu Paramasuni (istri LA SIRIDATU putra Raja Batauga), Wasugirampu (istri LA GALUNGA cucu Raja Buton V), WABUNGANILA (istri LA KABAURA putra raja Batauga) dan WABETA (istri LA SONGO raja Kambe-kambero)
Sedangkan kemampuan strategi perangnya dibuktikan saat menumpas pemberontak LA BOLONTIO yang berasal dari Tobelo. LABOLONTIO terkenal sakti dan sangat kejam sehingga Kerajaan Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Raja Buton saat itu LA MULAE dan segenap rakyatnya telah putus asa sehingga memaksa dia membuat sayembara. Isi dari sayembara tersebut adalah ‘ barang siapa yang dapat menumpas pemberontakan Labolontio akan dikawinkan dengan salah satu putri Raja ’ yang bernama WA TAMPOIDONGI. WA TAMPOIDONGI terkenal sangat cantik dan menjadi rebutan petinggi-petinggi Kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan tetangga.
Sayembara yang dibuat oleh Raja Buton LA MULAE tersebut mengundang minat satria-satria di kerajaan tetangga untuk ambil bagian. Mereka sangat tertarik untuk mempersunting putrid Raja yang kecantikannya sudah terkenal di mana-mana. Salah seorang petinggi kerajaan tetangga yang mengikuti sayembara tersebut adalah Raja Selayar dan Raja Jampea.
Sudah sekitar satu tahun sayembara dibuka, para peserta sayembara telah mengeluarkan segala kemampuannya, namun tidak ada satupun dari satria-satria yang ikut dalam kompetisi tersebut yang dapat menumpas Labolontio. Bahkan Labolontio dan pasukannya semakin merajalela dan telah menguasai beberapa wilayah Kerajaan Buton . Bukan saja itu bahkan Labolontio sudah mengancam kerajaan-kerajaan tetangga Buton termasuk Kerajaan Muna.
Kabar semakin mengganasnya Labolontio dan pasukannya ikut meresahkan LAKILAPONTO yang baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII. Olehnya itu LA KILAPONTO meminta saran dari Ayahandanya SUGI MANURU dalam menyikapi ancaman tersebut. Setelah mendengar masukan-masukan dari LAKILAPONTO dan beberapa petinggi kerajaan, SUGI MANURU Raja Muna VI menyarankan pada LA KILAPONTO untuk segera pergi ke Buton, menumpas LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Jadi keikutsertaan LAKILAPONTO dalam menumpas LABOLONTIO bukan untuk mengikuti sayembara yang dibuka oleh Raja LA MULAE tetapi melakukan misi Kerajaan Muna untuk menyelamatkan Negeri Muna dari ancaman LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton.
Sesampainya di Buton dengan tanpa terlebih dahulu menghadap pada Raja LA MULAE, LA KILAPONTO langsung menyusuri pantai, mencari LABOLONTIO, orang yang telah yang membuat Raja Buton dan segenap rakyatnya kalang kabut dan tidak berdaya. Selain itu aksi yang dilakukan LABOLONTIO dalam melakukan terror pada kerajaan Buton juga meresahkan Kerajaan-kerajaan lain yang bertetangga dengan Buton termasuk Muna. Sebagai Raja yang lagi berkuasa di Kerajaan Muna LA KILAPONTO bertanggung jawab untuk segera menghentikan sepak terjang LABOLONTIO agar tidak meluas di Kerajaan Muna. Dalam hitungan hari saja LA KILAPONTO sudah menemukan LABOLONTIO hingga terjadi adu tanding.
Dalam pertarungan di pasisir Kerajaan Buton, LABOLONTIO di buat bertekuk lutut bahkan mati ditangan LA KILAPONTO. Sebagai bukti telah membunuh LABOLONTIO, LA KILAPONTO membawa kepala LA BOLONTIO di hadapan Raja Buton LAMULAE. Maksud LAKILAPONTO menghadap Raja LA MULAE adalah untuk menyampaikan bahwa Kerajaan Buton saat ini telah aman sebab pengacau keamanan telah berhasil di bunuhnya sekaligus berpamitan untuk pulang ke Muna meneruskan tugasnya sebagai Raja Muna. LA KILAPONTO tidak menuntut apapun dengan apa yang telah di lakukannya. LA KILAPONTO berpikir misinya menumpas LABOLONTIO selain membantu kerajaan Buton yang berada dalam ambang kehancuran, juga menjaga keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna dari gangguan pihak luar.
Lain dengan Raja Buton LA MULAE dan segenap rakyatnya, LA KILAPONTO oleh mereka dianggap telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Buton dari gangguan keamanan. Untuk itu LABOLONTIO berhak mendapatkan hadia seperti isi dari sayembara yang telah dibuat Raja LA MULAE. Sebagai Raja, LAMULAE harus tetap konsisten menjalankan apa yang telah diucapkan. Untuk itu pernikahan antara LAKILAPONTO dan Putri Raja WA TAMPOIDONGI tetap harus dilaksanakan.
Dengan rasa berat dan penghargaan terhadap Raja Buton LAMULAE, akhirnya LAKILAPONTO menerimah untuk dinikahkan dengan putrid raja seperti isi sayembara yang di buat Raja LAMULAE. Namun demikian LA KILAPONTO tetap mengajukan syaraat bahwa setelah pernikahan dilaksanakan dia tetap kembali ke Kerajaan Muna untuk menjalankan tugasnya sebagai Raja Muna. Persyaratan itu diterimah dan pernikahan keduanya pun dilaksanakan. Setelah prosesi pernikahan dilaksanakan LA KILAPONTO langsung berpamitan untuk Kembali Ke Kerajaan Muna sedangkan isrinya di tinggal di Kerajaan Buton bersama Orang tuanya.
Belum cukup satu tahun Menjalankan pemerintahanya sebagai Raja Muna setelah menumpas LABOLONTIO, Raja Buton V LA MULAE meninggal dunia. Karena raja LA MULAE tidak memiliki anak Laki-laki, maka petinggi-petinggi Kerajaan Buton bersepakat untuk mengangkat LA KILAPONTO sebagai Raja Buton VI menggantikan LA MULAE. Kesepakatna para petinggi Kerajaan Buton tersebut kemudian di sampaikan pada LA KILAPONTO dengan cara mengutus beberapa utusan untuk datang ke kerajaan Muna. Awalnya LA KILAPONTO merasa sangat berat menerima kesepakatan yang telah dibuat oleh para petinggi Kerajaan Buton untuk menjadi Raja di kerajaan Buton, karena saat itu LA KILAPONTO sedang menjadi raja di kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe.
Atas saran Ayahandanya dan melalui pertimbangan yang matang, akhinya LA KILAPONTO mau menerima untuk menjadi Raja di Kerajaan Buton. Dengan diterimahnya menjadi Raja Buton, maka secara otomatis pada saat itu LA KILAPONTO menjadi Raja di tiga kerajaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Buton, Kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe, karena itulah oleh masyarakat Muna LA KILAPONTO mendapat gelar ‘Omputo Mepokonduaghoono Ghoera ’ artinya orang yang mengawinkan Negeri/Kampung.
Pada sebuah hikayat disebutkan, saat LA KILAPONTO menjadi Raja di Kerajaan Muna, Buton dan Konawe, kerajaan-kerajaan lainya yaitu Kerajaan kaledupa, Kerajaan Mokole dan Mekongga ikut menggabungkan diri dibawa kekuasaan LA KOLAPONTO, sebagai mana kutipan berikut ‘Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekongga dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ).
Selama tiga tahun LAKILAPOTO menjadi raja di lima kerajaan tersebut, nilai-nilai Islam yang seberbakan seorang Ulama dari Arab SYEKH ABDUL WAHID dan di bantu seorang imam dari Patani yang bernama FIRUS MUHAMMAD mulai mempengaruhi istana Kesultanan Buton. Setelah Islam diterima di Istana dan LAKILAPONTO telah memeluk Islam, maka pemerintahan Buton berubah menjadi kesultanan dan LAKILAPONTO dilantik menjadi Sultan dengan bergelar Sultan MURHUM/ SULTAN KAIMUDDIN KHALIMATUL KHAMIS.
Menyusul berubahnya Buton menjadi Kesultanan (948 H/ 1542 M ), LAKILAPONTO kemudian menyerahkan jabatannya pada kerajaan-kerajaan lainnya. Misalnya di Kerajaan Muna, LAKILAAPONTO menyerahkan jabatannya kepada adiknya LA POSASU untuk menjadi Raja Muna VIII. sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada data yang pasti bagai mana proses penyerahannya. Namun yang pasti pada saat itu juga Kerajaan Konawe dan kerajaan-kerajaan lainya yang pernah di pimpin LAKILAPONTO telah memiliki raja sendiri-sendiri. Walaupun LAKILAPONTO pernah memimpin kerajaan-kerajaan tersebut, namun setelah dia melepaskan jabatannya, LAKILAPONTO tetap mengakui kerajaan-kerajaan tersebut sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Setelah LAKILAPONTO Menjadi SULTAN di Kesultanan Buton dan adiknya LA POSASU menjadi Raja Muna VIII, kedua bela pihak mengadakan perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut adalah wilayah kerajaan Muna bagian Selatan yang terdiri dari Mawasangka dan GU diserahkan ke Buton. Sebagai gantinya, Wialayah pesisir Barat Buton bagian Utara yaitu Wakorumba dan Kambowa diserahkan pada Muna. Termasuk dalam perjanjian itu kesepakatan untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar ( La kimi- Sejarah Muna, Jaya pres Raha).
Hubungan persaudaraan di antara kedua Kerajaan- kerjajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO, terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, Setelah Kesultanan Buton bekerja sama dengan Kolonial Belanda dan dalam kerangka politik pecah belah, pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton LA ODE FALIHI, secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 (Jules Couvreur , Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna- Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2001).
Perjanjian sepihak tersebut tidak pernah diakui oleh Raja Muna. perlawanan terhadap perjanjian Korte Verklaring ditunjukan oleh raja Muna LA ODE DIKA gelar OMPUTO KOMASIGINO yang tidak mematuhi perjanjian tersebut termasuk membayar pajak kepada Sultan Buton seperti yang diatur dalam perjanjian Korte Verklaring . Raja Muna LA ODE DIKA juga tidak mau tunduk saat bertemu dengan Sultan Buton. Bahkan LA ODE DIKA mengangkat telunjuknya seakan mengancam saat bertemu dengan Sultan Buton di Istana Sultan Buton. Sikap Raja LA ODE DIKA tersebut oleh Sultan Buton di adukan kepada penguasa colonial Belanda di Makassar. Akibatnya LA ODE DIKA di pecat kemudian penguasa colonial Belanda di makkasar menunjuk LA ODE PANDU sebagai Raja Muna menggantukan LA ODE DIKA.
LA KILAPONTO / SULTAN MURHUM / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS Putra Raja Muna SUGIMANURU Yang Agung mengakhiri masa pemerintahannya di Kesultanan Buton karena wafat tahun 1584 setelah memerintah lebih kurang 46 tahun ( sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan sebagai Sultan I selama 43 tahun ), dan menjadi Raja Muna selama tiga tahun ( (1488- 1491 M ),. Setelah LA KILAPONTO / SULTAN MURHUMIN / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS meninggal dunia, Sara Kesultanan Buton memilih LA TUMPARASI (Sangi Boleka) Putranya dari perkawinannya dengan Putri Raja JAMPEA ( Suku Bajo ? ) sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga.
Dari semua kerajaan yang pernah dipimpinnya, hanyalah di kerjaan Buton LA KILAPONTO memerintah cukup lama yaitu 46 tahun ( 1538 – 1584 M ). Di kerajaan Muna LA KILAPONTO menjadi raja kurang lebih 3 tahun ( 1538 – 1541 M ), setelah itu dilanjutkan oleh adiknya LA POSASU sebagai Raja Muna VIII. Sedangkan di kerajaan-kerajaan lainnya tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan berapa lama LA KILAPONTO menjadi Raja di kerajaan tersebut serta bagaiman proses penyerahan kekuasaan pasca LA KILAPONTO.
LA KILAPONTO menjadi Raja pada kerajaan – kerajaan itu bukan karena invasi, tetapi karena kharisma beliau atau penghargaan karena berhasil melakukan sesuatu yang besar dinegeri tersebut. Hal ini dapat dilihat setelah beliau menjadi Penguasa di negeri itu dia tidak berusaha untuk menjadikan negeri itu sebagai koloni atau bagian dari Kerajaan Muna, tetapi membiarkan tetap merdeka dan Berdaulat. Padahal bila mau LA KILAPONTO dapat saja menggabung kerajaan-kerajaan tersebut dibawah kerajaan Muna karena sebagai raja dia punya kekuasaan yang besar.
LA KILAPONTO dikenal mewarisi ilmu yang diturunkan oleh ayahandanya SUGI MANURU di bidang Tata Negara, diplomasi dan strategi perang. Potensi yang dimiliki LA KILAPONTO tersebut telah dilihat oleh ayahandanya SUGI MANURU. Olehnya itu sebelum dinobatkan menjadi Raja Muna LA KILAPONTO ditugaskan untuk melaksanakan misi diplomasi dibeberapa kerajaan seperti Todore, Ternate, Banggai dan Luwu. ( Lakimi; Sejarah Muna, Jaya Press Raha). Misi diplomatik yang dilakukan LA KILAPONTO sangat sukses, sebab beliau dapat meyakinkan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan Muna. Hal ini dibuktikan setelah kunjungan diplomatik tersebut sudah tidak ada lagi gangguan keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna yang datang dari kerajaan-kerajaan tersebut.
Kepakaran LA KILAPONTO dalam bidang ketatanegaraan dapat dilihat saat beliau menjaddi penguasa di suatu negeri. Selain Hal ini dapat dilihat pada saat ,menjadi Raja di suatu kerajaan beliau melakukan penataan sisten ketata negaraan Kerajaan tersebut. Beliau juga menanamkan falsafa atau nilai-nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang diajarkan oleh SUGI MANURU yaitu ;
Pobini-biniti kuli, ( saling tengang rasa )
Poangka-angka tau, ( Saling harga-menghargai )
Poma-masigho, ( Saling sayang- menyayangi )
Poadha-adhati. (Saling menghormati )
Keempat prinsip dasar diatas wajib dipahami dan dijalankan oleh setiap warga kerajaan dalam hal ini termasuk juga Raja dan aparat kerajaan lainnya.
LA KILAPONTO juga menyebar luaskan konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan yang dipimpinnya Yaitu :
Hansuru –hansuru badha Sumano kono hansuru liwu ( Biarlah badan binasa asal Negara tetap berdiri ).
Hansuru-hansuru Liwu Sumano kono hansuru Ahdati ( kalaupun Negara harus bubar adat tetap harus dipertahankan ).
Hansuru-hansuru Adhati sumano Tangka Agama ( Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama harus tetap ditegakkan ).
Falsafah dasar dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja Muna VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan pada kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO. Tentu saja falsafa dasar dan konstitusi tersebut diadaptasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyrakat setempat dalam hal ini termasuk nilai-nilai Islam sebelum dijadikan sebagai Konstitusi Kerajaan. Sikap toleransi terhadap masuknya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat local dan nilai- nilai agama yang positif merupakan strategi untuk menghindari konflik dan penolakan masyarakat terhadap ajaran itu. Misalnya Konsitusi pada Kerajaan / kesultanan Buton yang diproklamirkan pada masa Sultan Buton IV DAYANU IKSANUDDIN (1597- 1631 M) yang mesakukan nilai-nilai Islam. Konstitusi Kesultanan Buton itu dikenal dengan Martabat Tujuh. DAYANU IKHSANUDDIN adalah cucu LA KILAPONTO dari putrinya PARAMASUNI yang bersuamikan LA SIRIDATU.
Menurut A.E. saidi dalam makalahnya pada Simposium Internasionel Pernaskahan Nusantara IX di Baruga Keraton Buton 5 – 8 Agustus 2005, Martabat Tujuh di Undangkan oleh Sapati LA SINGGA pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung Keraton. Inti dari Konstitusi Martabat Tujuh yaitu ; 1) Pomae-maeyaka; 2) Popiara-piara’ 3) Po maa-maasiaka. 4) Poangka-angkataka. Keempat nilai dasar dari Konstitusi martabat Tujuh memiliki makna yang sama dengan apa yang diajarkan oleh Raja Muna VI SUGI MANURU pada tahun 1438 M. Demikian pula tatanan pemerintahan yang dianut kesultanan Buton seperti yang termuat dalam Martabat Tujuh juga merupakan sisten dan tatanan pemerintahan yang diterapkan oleh Kerajaan Muna sejak jaman SUGI MANURU Raja Muna VI ( Baca; Sugi Manuru ) .
Selain alhi di bidang Tata Negara, LAKILAPONTO juga piawai dalam bidang diplomasi serta ahli dalam strategi perang. Kemampuan diplomasi LA KILAPONTO dibuktikan dengan dapat mendamaikan konflik dua kerajaan besar di jazirah Pulau Sulawesi bagian Tenggara yaitu kerajaan Konawe dan Mekongga. Konflik kedua kerajaan tersebut telah berlangsung lama dan telah banyak menelan korban nyawa dan harta. Oleh LA KILAPONTO konflik tersebut diselesaikan hanya dalam waktu delapan hari, sehingga di kedua kerajaan tersebut LA KILAPONTO di beri gelar “HALUOLEO” yang artinya delapan hari. Karena sukses mendamaikan konflik tersebut, LA KILAPONTO dinikahkan dengan Putri Raja Konawe yang bernama ANAWAY ANGGUHAIRAH serta dinobatkan menjadi Raja Konawe.
Sebagai mana kerajaan-kerajaan kuno lainnya, LA KILAPONTO menjalankan strategi diplomasinya melalui perkawinan. Dalam beberapa sejarah ditulis selama hidupnya La Kilaponto melakukan perkawinan sebanyak 5 kali, berturut-turut putri yang dikawininya adalah :
1. WA TAMOIDONGI ( Putri Raja Buton V LA MULAE)
2. WA ANAWAY ANGGUHAIRAH ( Putri kerajaan Mekongga )
3. Putri raja Jampea
4. Putri Raja selayar OPU MANJAWARI
5. WA SAMEKA ( Putri Sangia YI TETE )
Dari masing-masing perkawinannya tersebut, LA KILAPONTO/SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS/SULTAN MURHUM memperoleh putra dan putri yaitu :
1. perkawinan dengan WA TAMPOIDONGI tidak memperoleh anak
2. perkawinan dengan ANAWAI ANGGUHAIRAH memperoleh 3 orang puteri yaitu WA ODE POASIA, WA ODE LEPO-LEPO dan WA ODE KONAWE.
3. perkawinan dengan putri raja Jampae memperoleh 1 orang putera yang bernama LA TUMPARASI (Sangia Boleko)
4. perkawinan dengan putri raja Selayar memperoleh 1 orang putera yang bernama LA SANGAJI (Sangia Makengkuna)
5. Perkawinan dengan Wa Sameka memperoleh 4 orang puteri yaitu Paramasuni (istri LA SIRIDATU putra Raja Batauga), Wasugirampu (istri LA GALUNGA cucu Raja Buton V), WABUNGANILA (istri LA KABAURA putra raja Batauga) dan WABETA (istri LA SONGO raja Kambe-kambero)
Sedangkan kemampuan strategi perangnya dibuktikan saat menumpas pemberontak LA BOLONTIO yang berasal dari Tobelo. LABOLONTIO terkenal sakti dan sangat kejam sehingga Kerajaan Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Raja Buton saat itu LA MULAE dan segenap rakyatnya telah putus asa sehingga memaksa dia membuat sayembara. Isi dari sayembara tersebut adalah ‘ barang siapa yang dapat menumpas pemberontakan Labolontio akan dikawinkan dengan salah satu putri Raja ’ yang bernama WA TAMPOIDONGI. WA TAMPOIDONGI terkenal sangat cantik dan menjadi rebutan petinggi-petinggi Kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan tetangga.
Sayembara yang dibuat oleh Raja Buton LA MULAE tersebut mengundang minat satria-satria di kerajaan tetangga untuk ambil bagian. Mereka sangat tertarik untuk mempersunting putrid Raja yang kecantikannya sudah terkenal di mana-mana. Salah seorang petinggi kerajaan tetangga yang mengikuti sayembara tersebut adalah Raja Selayar dan Raja Jampea.
Sudah sekitar satu tahun sayembara dibuka, para peserta sayembara telah mengeluarkan segala kemampuannya, namun tidak ada satupun dari satria-satria yang ikut dalam kompetisi tersebut yang dapat menumpas Labolontio. Bahkan Labolontio dan pasukannya semakin merajalela dan telah menguasai beberapa wilayah Kerajaan Buton . Bukan saja itu bahkan Labolontio sudah mengancam kerajaan-kerajaan tetangga Buton termasuk Kerajaan Muna.
Kabar semakin mengganasnya Labolontio dan pasukannya ikut meresahkan LAKILAPONTO yang baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII. Olehnya itu LA KILAPONTO meminta saran dari Ayahandanya SUGI MANURU dalam menyikapi ancaman tersebut. Setelah mendengar masukan-masukan dari LAKILAPONTO dan beberapa petinggi kerajaan, SUGI MANURU Raja Muna VI menyarankan pada LA KILAPONTO untuk segera pergi ke Buton, menumpas LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Jadi keikutsertaan LAKILAPONTO dalam menumpas LABOLONTIO bukan untuk mengikuti sayembara yang dibuka oleh Raja LA MULAE tetapi melakukan misi Kerajaan Muna untuk menyelamatkan Negeri Muna dari ancaman LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton.
Sesampainya di Buton dengan tanpa terlebih dahulu menghadap pada Raja LA MULAE, LA KILAPONTO langsung menyusuri pantai, mencari LABOLONTIO, orang yang telah yang membuat Raja Buton dan segenap rakyatnya kalang kabut dan tidak berdaya. Selain itu aksi yang dilakukan LABOLONTIO dalam melakukan terror pada kerajaan Buton juga meresahkan Kerajaan-kerajaan lain yang bertetangga dengan Buton termasuk Muna. Sebagai Raja yang lagi berkuasa di Kerajaan Muna LA KILAPONTO bertanggung jawab untuk segera menghentikan sepak terjang LABOLONTIO agar tidak meluas di Kerajaan Muna. Dalam hitungan hari saja LA KILAPONTO sudah menemukan LABOLONTIO hingga terjadi adu tanding.
Dalam pertarungan di pasisir Kerajaan Buton, LABOLONTIO di buat bertekuk lutut bahkan mati ditangan LA KILAPONTO. Sebagai bukti telah membunuh LABOLONTIO, LA KILAPONTO membawa kepala LA BOLONTIO di hadapan Raja Buton LAMULAE. Maksud LAKILAPONTO menghadap Raja LA MULAE adalah untuk menyampaikan bahwa Kerajaan Buton saat ini telah aman sebab pengacau keamanan telah berhasil di bunuhnya sekaligus berpamitan untuk pulang ke Muna meneruskan tugasnya sebagai Raja Muna. LA KILAPONTO tidak menuntut apapun dengan apa yang telah di lakukannya. LA KILAPONTO berpikir misinya menumpas LABOLONTIO selain membantu kerajaan Buton yang berada dalam ambang kehancuran, juga menjaga keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna dari gangguan pihak luar.
Lain dengan Raja Buton LA MULAE dan segenap rakyatnya, LA KILAPONTO oleh mereka dianggap telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Buton dari gangguan keamanan. Untuk itu LABOLONTIO berhak mendapatkan hadia seperti isi dari sayembara yang telah dibuat Raja LA MULAE. Sebagai Raja, LAMULAE harus tetap konsisten menjalankan apa yang telah diucapkan. Untuk itu pernikahan antara LAKILAPONTO dan Putri Raja WA TAMPOIDONGI tetap harus dilaksanakan.
Dengan rasa berat dan penghargaan terhadap Raja Buton LAMULAE, akhirnya LAKILAPONTO menerimah untuk dinikahkan dengan putrid raja seperti isi sayembara yang di buat Raja LAMULAE. Namun demikian LA KILAPONTO tetap mengajukan syaraat bahwa setelah pernikahan dilaksanakan dia tetap kembali ke Kerajaan Muna untuk menjalankan tugasnya sebagai Raja Muna. Persyaratan itu diterimah dan pernikahan keduanya pun dilaksanakan. Setelah prosesi pernikahan dilaksanakan LA KILAPONTO langsung berpamitan untuk Kembali Ke Kerajaan Muna sedangkan isrinya di tinggal di Kerajaan Buton bersama Orang tuanya.
Belum cukup satu tahun Menjalankan pemerintahanya sebagai Raja Muna setelah menumpas LABOLONTIO, Raja Buton V LA MULAE meninggal dunia. Karena raja LA MULAE tidak memiliki anak Laki-laki, maka petinggi-petinggi Kerajaan Buton bersepakat untuk mengangkat LA KILAPONTO sebagai Raja Buton VI menggantikan LA MULAE. Kesepakatna para petinggi Kerajaan Buton tersebut kemudian di sampaikan pada LA KILAPONTO dengan cara mengutus beberapa utusan untuk datang ke kerajaan Muna. Awalnya LA KILAPONTO merasa sangat berat menerima kesepakatan yang telah dibuat oleh para petinggi Kerajaan Buton untuk menjadi Raja di kerajaan Buton, karena saat itu LA KILAPONTO sedang menjadi raja di kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe.
Atas saran Ayahandanya dan melalui pertimbangan yang matang, akhinya LA KILAPONTO mau menerima untuk menjadi Raja di Kerajaan Buton. Dengan diterimahnya menjadi Raja Buton, maka secara otomatis pada saat itu LA KILAPONTO menjadi Raja di tiga kerajaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Buton, Kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe, karena itulah oleh masyarakat Muna LA KILAPONTO mendapat gelar ‘Omputo Mepokonduaghoono Ghoera ’ artinya orang yang mengawinkan Negeri/Kampung.
Pada sebuah hikayat disebutkan, saat LA KILAPONTO menjadi Raja di Kerajaan Muna, Buton dan Konawe, kerajaan-kerajaan lainya yaitu Kerajaan kaledupa, Kerajaan Mokole dan Mekongga ikut menggabungkan diri dibawa kekuasaan LA KOLAPONTO, sebagai mana kutipan berikut ‘Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekongga dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ).
Selama tiga tahun LAKILAPOTO menjadi raja di lima kerajaan tersebut, nilai-nilai Islam yang seberbakan seorang Ulama dari Arab SYEKH ABDUL WAHID dan di bantu seorang imam dari Patani yang bernama FIRUS MUHAMMAD mulai mempengaruhi istana Kesultanan Buton. Setelah Islam diterima di Istana dan LAKILAPONTO telah memeluk Islam, maka pemerintahan Buton berubah menjadi kesultanan dan LAKILAPONTO dilantik menjadi Sultan dengan bergelar Sultan MURHUM/ SULTAN KAIMUDDIN KHALIMATUL KHAMIS.
Menyusul berubahnya Buton menjadi Kesultanan (948 H/ 1542 M ), LAKILAPONTO kemudian menyerahkan jabatannya pada kerajaan-kerajaan lainnya. Misalnya di Kerajaan Muna, LAKILAAPONTO menyerahkan jabatannya kepada adiknya LA POSASU untuk menjadi Raja Muna VIII. sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada data yang pasti bagai mana proses penyerahannya. Namun yang pasti pada saat itu juga Kerajaan Konawe dan kerajaan-kerajaan lainya yang pernah di pimpin LAKILAPONTO telah memiliki raja sendiri-sendiri. Walaupun LAKILAPONTO pernah memimpin kerajaan-kerajaan tersebut, namun setelah dia melepaskan jabatannya, LAKILAPONTO tetap mengakui kerajaan-kerajaan tersebut sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Setelah LAKILAPONTO Menjadi SULTAN di Kesultanan Buton dan adiknya LA POSASU menjadi Raja Muna VIII, kedua bela pihak mengadakan perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut adalah wilayah kerajaan Muna bagian Selatan yang terdiri dari Mawasangka dan GU diserahkan ke Buton. Sebagai gantinya, Wialayah pesisir Barat Buton bagian Utara yaitu Wakorumba dan Kambowa diserahkan pada Muna. Termasuk dalam perjanjian itu kesepakatan untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar ( La kimi- Sejarah Muna, Jaya pres Raha).
Hubungan persaudaraan di antara kedua Kerajaan- kerjajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO, terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, Setelah Kesultanan Buton bekerja sama dengan Kolonial Belanda dan dalam kerangka politik pecah belah, pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton LA ODE FALIHI, secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 (Jules Couvreur , Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna- Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2001).
Perjanjian sepihak tersebut tidak pernah diakui oleh Raja Muna. perlawanan terhadap perjanjian Korte Verklaring ditunjukan oleh raja Muna LA ODE DIKA gelar OMPUTO KOMASIGINO yang tidak mematuhi perjanjian tersebut termasuk membayar pajak kepada Sultan Buton seperti yang diatur dalam perjanjian Korte Verklaring . Raja Muna LA ODE DIKA juga tidak mau tunduk saat bertemu dengan Sultan Buton. Bahkan LA ODE DIKA mengangkat telunjuknya seakan mengancam saat bertemu dengan Sultan Buton di Istana Sultan Buton. Sikap Raja LA ODE DIKA tersebut oleh Sultan Buton di adukan kepada penguasa colonial Belanda di Makassar. Akibatnya LA ODE DIKA di pecat kemudian penguasa colonial Belanda di makkasar menunjuk LA ODE PANDU sebagai Raja Muna menggantukan LA ODE DIKA.
LA KILAPONTO / SULTAN MURHUM / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS Putra Raja Muna SUGIMANURU Yang Agung mengakhiri masa pemerintahannya di Kesultanan Buton karena wafat tahun 1584 setelah memerintah lebih kurang 46 tahun ( sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan sebagai Sultan I selama 43 tahun ), dan menjadi Raja Muna selama tiga tahun ( (1488- 1491 M ),. Setelah LA KILAPONTO / SULTAN MURHUMIN / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS meninggal dunia, Sara Kesultanan Buton memilih LA TUMPARASI (Sangi Boleka) Putranya dari perkawinannya dengan Putri Raja JAMPEA ( Suku Bajo ? ) sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga.
BAB VIII
SEJARAH PEMBENTUKAN KABUPATEN MUNA
Perjuangan
Pembentukan Kabupaten Muna seiring dengan perjuangan pembentukan propinsi
Sulawesi tengara. Dalam perjuangan ini dilakukan secara sinergis antara tokoh
muda dan tokoh tua baik yang ada di muna ataupun yang ada diperantauan, baik
perorangan maupun organisasi.
Tokoh Muda
seperti Idrus Efendi, Halim Tobulu, La Ode Enda dan La Ode Taeda Ahmad
dikenal sangat gigih memperjuangkan pembentukan Kabupaten Muna. dan Propinsi
Sulawesi Tenggara.
Dengan
oraganisasi para militer yang dibentuknya seperti Batalyon SADAR (
Sarekat Djasa Rahasia) dan Barisan 20 mereka terus menggalang dukungan guna
perwujudan pembentukan kabupaten Muna dan Propinsi Sulawesi Tenggara.
Bataliyon
SADAR dan Barisan 20 pada awalnya dibentuk untuk melakukan perlawanan terhadap
pasukan sekutu ( NICA ) yang diboncengi Belanda yang mencoba kembali untuk
melakukan penjajahan terhadap Indonesia yang telah memproklamirkan
kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945. Dengan Jiwa patriotisme yang
tinggi Tokoh-Tokoh Muna tersebut melakukan perlawanan melalui gerakan bawah
tanah dan perang terbuka. Tujuannya adalah mengusir kolonial tersebut
dari bumi Indonesia dalam hal ini termasuk di Muna.
A.Fase I (Pertama),
Pemerintahan Swapraja
Pemerintahan
Muna pada fase ini berstatus Swapraja dengan raja yang terakhir Laode Pandu
yang dilantik oleh pemangku adat menjadi Raja Muna tanggal 24 Februari 1947 di
Kota Wuna. Pada fase ini tidak dapat dilepaskan dengan perjuangan
mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Para pejuang
Muna dengan dipelopori tokoh-tokoh Muna melakukannya dengan cara-cara
yang lebih cerdik. Para tokoh dan rakyat pejuang daerah Muna baik
perorangan maupun organisasi perjuangan antara lain Batalyon Sadar (Serikat
Djasa Rahasia), Barisan 20 dan lain-lain. Mereka dipimpin oleh para tokoh
dianataranya, Laode Muh Idrus Efendy dengan nama samaran Sitti Goladria, Laode
Enda Anwar dengan nama samaran Soneangka, Laode Taeda Ahmad dan Halim Toboeloe.
S
B.Fase II (Kedua),
Pemerintahan Kewedanan
Pada fase ini
ditandai dengan dibubarkan Daerah Afdeling Buton dan Laiwoi berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara Nomor 18 Tahun 1951 tanggal 20
Oktober 1951. Ini didasrakan Peraturan Pemerintah (Permen) Nomor 34 Tahun 1952
tentang pembentukan 7 (tujuh) Daerah Administratif Sulawesi Tenggara,
pemerintahan Muna beralih status menjadi Kewedanan bersama-sama dengan
Kewedanan Buton, Kendari, dan Kolaka. Masing-masing Kewedanan dipimpin oleh
seorang KPN (Kepala Pemerintahan Negeri). Dan dalam sejarahnya Kewedanan Muna
dipimpin, oleh :
1. Abdul
Razak,
2. Ngitung,
3. Andi
Pawilloi,
4. H
Lethe,
5. H
Suphu Yusuf,
6. Andi
Jamuddin, dan,
7. F
Latana.
C.Fase III (Ketiga),
Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna
Bupati
Sulawesi Tenggara yang kelima adalah Drs Laode Manarfa, tanggal 26 Juni S/D 31
Juli 1954 mengadakan sidang DPRD-SGR Sulawesi Tenggara di Raha, dengan
menghasilkan ketetapan-ketetapan antara lain, Kabupaten Sulawesi Tenggara
meliputi Kewedanan Kendari, Kolaka, dan Boea Pinang. Hasil keputusan tersebut
harus mendapat persetujuan Pemerintah Pusat, sehingga untuk kepentingan
perjuangan tersebut, anggota DPRD-SGR Sulawesi Tenggara berangkat ke Jakarta.
Delegasi Muna diwakili oleh Laode Ado dan Supphu Yusuf.
Hasil
perjuangan tersebut disetujui oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 3 Januari 1955.
Berdasarkan ketetapan Menteri Dalam Negeri tentang pembentukan dan pemekaran
kabupaten Sulawesi Tenggara menjadi dua Kewedanan, maka terjadilah polemik dan
protes dari para tokoh masyarakat dan pemuda baik di Muna maupun di Makassar.
Karena tujuan akhir terbentuknya Kewedanan Muna belum terwujud. Protes dan
unjuk rasa dilakukan oleh para pemuda Muna baik yang ada di Muna maupun yang
ada di Makassar. Unjuk rasa tesebut selalu ditujukan kepada Laode Ado sebagai
delegasi Muna yang menghadap kepada Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan
kenyataan tersebut, Raja Muna, Laode Pandu mengadakan rapat pada hari Senin,
tanggal 12 September 1955 di Raha yang dihadiri tiga Kepala Distrik, yaitu
Kepala Distrik Katobu, Kepala Distrik Kabawo, Kepala Distrik Tongkuno, dan
Kepala Distrik Lawa tidak hadir. Selain itu turut pula hadir para Kepala
Kampung, Ketua-ketua Partai/Organisasi, Pemuka Masyarakat, dan Pihak
Kepolisian. Agenda rapat yakni mendengarkan delegasi DPRD-SGR SULTRA pada
bulan Januari 1955, membicarakan tentang status daerah-daerah otonom dan status
swapraja. Dan keputusannya antara lain, Muna diperjuangkan untuk menjadi daerah
Swatantra dengan otonomi penuh. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka hasil
rapat memutuskan memberikan mandat kepada Laode Rasjid dan Laode Ado untuk
melaksanakan tugas menyusun program dan menetapkan langkah perjuangan untuk
terbentuknya daerah Swatantra Muna, dan membentuk daerah persiapan pembentukan
Kabupaten Muna.
Pemberi
mandat untuk melaksanakan tugas-tugas dimaksud ditanda tangani oleh sebanyak
102 orang. Selanjutnya, pada tanggal 5 Agustus 1956, para tokoh masyarakat Muna
di Makassar yang tergabung dalam PRIM (Persatuan Rakyat Indonesia Muna),
membentuk panitia pembentukan kabupaten Muna yang ditanda tangani oleh Laode
Walanda sebagai Ketua dan Laode Hatali sebagai sekretaris yang ditujukan kepada
MENDAGRI di Jakarta dan Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar dan 13 alamat
lainnya
Tanggal 2
September 1956 dibentuk Panitia Dewan Penuntut Kabupaten Muna di Raha dengan
Ketua dan Sektretarisnya masing-masing Laode Hibi dan Laode Tuga dan
disetujui oleh Raja Muna. Gelombang penuntutan pembentukan daerah
setingkat Kabupaten juga muncul dari generasi muda Muna yang ada di
Makassar. Pada tanggal 8 Februari 1958 terbentuk panitiaa penuntutan
percepatan pembentukan Kabupaten Muna Muna dengan Ketua La Ode Walanda dan
sekretaris Ando Arifin. Panitia ini kemudian mengutus delegasinya untuk
mengahadap MENDAGRI di Jakarta. Delegasi ini dipimpin oleh La Ode Muh. Idrus
Efendi.
Tanggal 20
Maret 1958 Pemerintah Swapraja Buton mengeluarkan Surat Pernyataan yang ditanda
tangani Sultan Buton Laode Falihi, yang intinya menyetujui terbentuknya
Kabupaten Muna. Mengenai batas-batas akan ditetapkan pada
perundingan-perundingan yang akan datang.
Sebagai
realisasi pernyataan Sultan Buton tersebut maka diadakan rapat bertempat di
Pendopo Sri Sultan Buton, yang hadir pada rapat tersebut ialah, Drs Laode
Manarfa, Kepala Daerah Sulawesi Tenggara, Laode Falihi, Sultan Buton, Laode
Pandu, Raja Muna, Laode A Salam dan Laode Hude masing-masing Kepala Distrik
yang diperbantukan pada Kantor Swapraja Buton, sebagai yang mewakili Buton.
Hadir juga Laode Muh Shalihin, Kepala Distrik Katobu dan Laode Rianse sebagai
Distrik Lawa, mewakili Muna.
Wujud dari
pertemuan diatas yang disertai pernyataan-pernyatan Panitia dari tiap tingkat
pejabat pemerintah, maka pada tanggal 6 Desember 1958 diutuslah empat orang
Delegasi Muna untuk menghadap pemerintah pusat yakni Laode Muh Idrus Efendi, La
Sipala, Laode Muh Badia Rere dan Laode Ado. Adapun penyandang dana
keberangkatan Delegasi adalah Ham Ahing, Darwis Tungguno dan Wahid Kuntarati
Hasil
perjuangan tersebut oleh Mendagri menetapkan, Pulau Sulawesi dibagi 4 (empat)
propinsi yaitu Sulawesi utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara. Pemerintah Pusat mengajukan para delegasi agar dipenuhi syarat-syarat
berdirinya propinsi Sulawesi Selatan Tenggara, antara lain Sulawesi Selatan
dibagi 4 (empat) Kabupaten, yaitu KPN Kolaka, KPN Kendari, KPN Buton, dan KPN
Muna.
Pada tanggal
20 hingga 22 Juli 1959 diadakan rapat raksasa yang dihadiri utusan Buton, Muna,
Kendari, Kolaka masing-masing 15 orang, lima orang dari staf Kepala Daerah,
empat KPN, dan empat Swapraja. Musyawarah itu dipimpin langsung Laode Manarfa
dan dihadiri pula oleh unsur TNI, Abdul Kahar (Kuasa Perang), H Abdul Halik
(Buton), Abdul Rahim Daeng Muntu (Muna), H L Lethe (Kendari), Abdul Wahab
(Kolaka).
D.Fase IV (Empat),
Terbentuknya Kabupaten Muna
Setelah
melalui perjuangan yang panjang oleh para tokoh pejuang Muna, dan dilakukan
tanpa pamrih dalam menghadapi berbagai tantangan, maka berdasarkan berbagai
pertimbangan yang logis dan pertimbangan strategis, oleh pemerintah pusat
menindaklanjuti yang ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 29 tahun 1959
tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi, termasuk didalamnya
Kabupaten Muna dengan ibukotanya Raha.
Pada awal
pengusulan Kabupaten Muna terdiri dari empat Ghoerah (distrik, red) yaitu
distrik Katobu, Distrik Lawa, Distrik Kabawo, dan Distrik Tongkuno. Dari empat
distrik itu belum memenuhi kriteria untuk membentuk suatu kabupaten, maka
diadakan pendekatan dengan beberapa tokoh pada saat itu yaitu tokoh Masyarakat
Kulisusu, tokoh Masyarakat Wakorumba, dan tokoh Masyarakat Tiworo Kepulauan,
yang pada saat itu ketiga distrik tersebut adalah distrik Kulisusu diwakili
oleh Laode Ganiru dan Laode Ago, Distrik Wakorumba diwakili oleh Laode Hami dan
Laode Haju, Distrik Tiworo diwakili oleh La Baranti.
Berdasarkan
kesepakatan yang utuh dan bulat dari tokoh – tokoh tersebut untuk bergabung
dalam pemerintahan Kabupaten Muna, maka doktrin untuk terbentuknya Kabupaten
Muna sudah tidak ada masalah lagi.
Dengan
terbentuknya Kabupaten Muna, secara administratif dan yuridis pada tanggal 2
Maret 1960, maka para Bupati yang menjabat sebagai Bupati Muna, adalah,:
1.LAODE ABDUL
KUDUS 02 Maret 1960 S/D 03 –
Maret 1961,
2. LETTU
INF. M THOLIB 21 Juni 1961 S/D 13 Juli 1965,
3. LAODE
RASYID 11 November 1965 S/D 03 Desember 1970,
4. RS LA
UTE 13 Desember 1970 S/D 22 April 1974,
5. DRS
LAODE KAIMOEDDIN 22 April 1974 S/D 10 Maret 1981,
6. DRS
LAODE SAAFI AMANE 10 Maret 1981 S/D 10 Maret 1986
7. DRS
MAOLA DAUD 1986 S/D 1997,
8. KOL
ART H M SALEH LASATA 3 Oktober 1997 S/D 1999
9. KOL
INF H M DJAMALUDDIN BEDDU 1998 S/D 2000
10.RIDWAN BAE DAN Drs SYARIF ARIFIN S (Bupati dan wakil bupati)
periode 2000-2005,
11. RIDWAN
BAE DAN Drs H LA BUNGA BAKA PERIODE TAHUN 2005 – 2010
12. Dr.
LM. BAHARUDDIN, M.KES DAN DRS. MALIK DITU, M.Si 2010 2015
Jabatan
Ketua DPRD Kabupaten Muna adalah,
1. PELTU
BABASA,
2. KAPTEN
MAHMUD A,
3. KOL
CHB M YASIN USMAN,
4. KOL.
CHK M A RACHMAN SH,
5. Drs
LAODE MARADALA,
6. Hj WA
ODE ZAENAB HIBI.
7. H. UKING
DJASA, SH
Di samping
para pejabat Bupati Definitif sebagaimana tersebut diatas, maka untuk mengisi
kekosongan dalam proses pemilihan Bupati, maka Gubernur Sulawesi Tenggara
menunjuk beberapa pelaksana Bupati agar tidak terjadi kefakuman dalam bidang
pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan masyarakat. Adapun pelaksana Bupati
adalah,
1. La
Tana,
2. Laode
Saafi Amane,
3. Ahmad
Djamaluddin SH,
4. Laode
Moh Saleh SH,
5. Drs H
Badrun Raona.
Pejabat
SEKWILDA sejak terbentuknya Kabupaten Muna adalah,:
1. Drs
Laode Arifin,
2. Drs
Laode Saifudin Misbah,
3. Drs
Muh Kasim Andi,
4. Drs
LM Shalihin Sabora,
5. Drs
Laode Majid Olo,
6. Drs
Laode Nsaha,
7. Drs
Muh Yusuf,
8. Drs H
Badrun Raona,
9. Drs P
Haridin,
10. Drs
H Laode Kilo.
11.
Zakaruddin, SE
12. DRS. H La
Ode Alibasa
13. Dra La
Ora, M.Pd
tulisan ini menarik tapi tidak ada satu pun sumber yang menjadi pegangan
BalasHapus