MENGENAL PERADABAN ORANG MUNA (Upaya Pelurusan Sejarah)







BAB I
ASAL USUL PULAU MUNA

Muna   pada awalnya dikenal dengan nama ‘WUNA’.yang dalam Bahasa Muna berati ‘bunga’. Merujuk pada tradisi lisan masyarakat Muna, nama itu    memberi makna spiritual kepada kejadian alamnya, dimana terdapat gugusan batu yang berbunga yang menyerupai batu karang. Gugusan batu tersebut  pada waktu-waktu tertentu kerap mengeluarkan tunas-tunas yang tumbuh seperti bunga karang. Oleh karena kejadian itulah maka  masyarakat Muna menyebutnya sebagai ‘Kontu Kowuna’  artinya Batu Berbunga .  Gugusan batu berbunga tersebut terletak di  dekat Masjid  tua Wuna di Kota Muna yang bernama bahutara ( bahtera?). Tempat  dimana Kontu Kowuna tersebut berada dipercaya sebagai tempat terdamparnya kapal Sawerigading, Putra Raja Luwu di Sulawesi Selatan Yang melegenda.
 Saat ini, Muna dikenal sebagai nama sebuah Pulau yang terletak pada posisi 4015’ sampai 4030’ lintang Selatan dan 122015’  – 123000’ Bujur Timur ( RPJMD Kabupuaten Muna 2010-2015 ), tepatnya diantara Pulau Sulawesi bagian Tenggara, Pulau Buton di bagian Barat dan sebelah Timur Pulau Kabaena
Selain nama Pulau,  Muna juga menjadi nama  salah satu Kabupaten dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tenggara dengan batas-batas administrasi;
1. Di Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan dan Selat Spelman.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buton.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten Buton,
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Tiworo dan Kabupaten Bombana.
Selain itu Muna juga menjadi nama suku yang mendiami Pulau Muna dan sebagian besar Pulau Buton serta pulau-pulau disekitarnya yang menggunakan Bahasa Muna  sebagai bahasa tutur diantara mereka.
 Sebelum menjadi Kabupaten, Muna juga dikenal sebagai sebuah kerajaan yang berkedudukan di Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara. Pembagian wilayah tersebut dilakukan pada masa Pemerintahan Raja Buton VI Lakilaponto dan Raja Muna VIII La Posasu. Kedua raja tersebut merupakan kakak beradik,  Putra dari Raja Muna VI  Sugi Manuru.
Sebelum menjadi raja Buton VI, La Kilaponto telah menjadi  Raja Muna  VII sehingga  jabatan Raja di kedua kerajaan itu diembannya secara bersamaan selama tiga tahun bersama dengan kerajaan lainnya yakni Kaledupa, Konawe dan kabaena. Namun setelah dilantik menjadi Sultan Buton I ( menyusul perubahan kerajaan buton menjadi Kesultanan ), jabatan Raja di empat kerajaan lainnya yang diembannya selama tiga tahun ( 1538- 1541 M ) diseraahkan pada yang berhak untuk mengembannya.
Di Kerajaan Muna  jabatan Raja diserahkan pada adiknya La Posasu, sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada catatan sejarah yang mengisahkan bagaimana proses penyerahannya dan pada siapa diserahkan. Bersamaan dengan penyerahan kekuasaan di  kerajaan Muna  , turut pula dibagi wilayah kerajaan sebagaimana dijelaskan diatas.
Menurut La Kimi Batoa  pembagian wialayah tersebut karena kecintaan La Kilaponto pada dua wilayah di bagian Selatan Pulau Muna yaitu Gu dan Mawasangka sehingga beliau memohon pada adiknya sekaligus  penggantinya sebagai raja Muna La Posasu agar kedua wilayah dimaksud menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Buton. Sebagai gantinya, La Kilaponto menyerahkan dua wilayah yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kesultanan Buton yang ada di bagian Utara Pulau Buton yakni Kulisusu dan Wakorumba ( Sebagian wilayah tersebut saat ini menjaadi Kabupaten Buton Utara) (Sejarah Kerajan Daerah Muna CV. Astri Raha,1995).
Beberapa catatan sejarah mengungkapkan sebelum menjadi Raja di Kerajaan Muna, La Kilaponto terlebih dahulu diangkat menjadi Raja Muda di wilayah Gu dan Mawasangka selama tiga tahun ( 1530-1538 ). Kedua wilayah tersebut dikenal dengan nama  “Ponto” yang diambil dari nama sejenis bambu yang kuat dan keras. Penamaan “Ponto” tersebut karena  seseorang yang menjadi Raja Muda diwilayah itu  akan ditempah menjadi seseorang yang cerdas, kuat dan keras jiwanya dalam memperjuangkan keadilan dan menumpas kesewenang-wenangan terhadap orang lain. Sehingga ketika benar-benar telah menjadi Raja disebuah kerajaan yang besar dia telah memiliki jiwa tersebut dan menjadi Raja yang adil dan mengayomi serta melindungi rakyatnya dari tindakan kesewenang-wenangan dari pihak manapun juga.
Bila menilik catatan mengenai masuknya agama islam dikerajaan Muna boleh jadi misionaris  islam pertama Syehk Abdul Wahid pertama kali menyebarkan agama Islam di kerajaan Muna pada tahun 1530 ( Courveur ; 19..)  bukan dipusat kerajaan Muna di kota Muna Kawuna-Wuna  yang saat itu sedang dipimpin oleh Sugi Manuru , tetapi diwilayah “ Ponto” yang dipimpin oleh La Kilaponto.
Asumsi ini diperkuat oleh fakta di mana saat ini kedua wilayah tersebut masyarakatnya dikenal sebagai pemeluk agama  islam yang taat. Selain itu wilayah Gu da Mawasangka adalah wilayah Pulau Muna yang berhadapan langsung dengan lautan bebas sehingga memudahkan para musyafir untuk menyinggahinya di banding dengan pusat Kerajaan Muna yang terletak dipedalaman dan diatas bukit. Dalam Buku Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Darul Munajat juga mengisahkan bahwa salah seorang utusan Nabi SAW yakni Abdul Sukur menemukan Pulau Muna dan langsung menancapkan bendera yang dibawahnya di Waara ( Wamengkoli ) yang masuk dalam wilayah “ Ponto” tersebut. Jadi berdasarkan hal tersebutlah sehingga La Kilaponto merasa sudah menyatu dengan masyarakat kedua wilayah tersebut, sehingga ketika dilantik menjadi raja Buton, kedua wilayah tersebut juga dimintakan untuk masuk dalam wilayah kekuasaannya.
Sebagai pewaris tahta kerajaan yang diwariskan dari kakanya La Kilaponto, La Posasu tidak keberatan dengan pembagian tersebut. Apalagi selain membagi wilayah kerajaan, dalam perjanjian itu juga disertakan suatu perjanjian bahwa kedua kerajaan itu ( Muna dan Buton ) adalah kerajaan yang bersaudara dan saling membantu bila ada kesusahan atau gangguan dari luar yang dialami oleh salah satunya.
Perjanjian itu tetap dipegang teguh oleh kedua kerajaan sampai kemudian kolonial Belanda masuk mengintervensi Kesultanan Buton dan memaksa Sultan Buton saat itu ( Dayanu Ikhsanuddin)  untuk memasukkan dalam konstitusinya yang dikenal dengan martabat Tujuh bahwa Kerajaan Muna menjadi bagian dari Kesultanan Buton dengan status “barata” ( wilayah dengan otonomi penuh ). Sejak saat itulah dua kerajaan yang sebelumnya bersaudara tersebut saling memusuhi dan menyerang satu sama lain.
Banyak kisah yang menceritakan asal usul Muna Sebagai sebuah pulau, baik itu dalam  tradisi lisan dikalangan masyarakat Muna maupun hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton. Namun secara ilmiah belum ada penelitian yang mengungkap kebenaran cerita-cerita/hikayat tentang asal usul Pulau Muna tersebut.
Kendati demikian  tradisi lisan yang hidup dikalangan masyarakatlah dan hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton yang sering dijadikan sebagai referensi dalam menulis sejarah asal usul Pulau Muna dan Pulau Buton. Untuk itu penulis akan menjelaskan satu persatu cerita dan hikayat tersebut serta beberapa hasil penelitian ilmiah mengenai situs-situs purba kala dan formasi bebatuan yang di Pulau Muna.

A. HIKAYAT “ ASSAJARU HULIQA DAAARUL BATHNIY WA DARUL MUNAJAT ”
Hikayat  “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat”(Hakikat Kejadian Negeri Buton dan Negeri Muna- Buku Tambaga ) mengisahkan bahwa Pulau Muna dan Pulau Buton berasal dari segumpal tanah yang muncul dari dasar laut yang ditandai dengan sebuah ledakan yang maha dasyat. Hikayat tersebut menceritakan  bahwa ketika Nabi Muhammad SAW.  mengadakan rapat dengan para sahabat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang yang sangat keras hinga mengejutkan para sahabat yang lagi mengikuti rapat.  Mendengar suara tersebut salah seorang sahabat bertanya pada Nabi Muhammad SAW. apa gerangan yang sedang  terjadi. Pertanyaan sahabat itu dijawab oleh  Nabi Muhammad SAW bahwasanya disebelah timur telah muncul dua buah Pulau ( Wuna & Buton )  yang mana penghuninya nantinya akan menjadi pemeluk agama Islam yang taat.
Olehnya itu diutuslah dua orang sahabat yakni Abdul Sukur dan Abdul Gafur untuk Mencari pulau dimaksud oleh Rasulullah SAW sekaligus menyebarkan agama islam di kedua pulau tersebut.
Dalam pencarian sebuah negeri sebagaimana yang di wasiatkan oleh Rasulullah SAW, kedua utusan tersebut terlebih dahulu menyinggahi beberapa negeri sebelum menemukan dua buah pulau  ( ditemukan dalam arti hakiki ) di maksud yaitu Pulau Wuna  – ( Muna ) dan Pulau Buton. Setelah kedua utusan tersebut menemukan negeri dimaksud ,maka ditancapkanlah sebuah bendera. Selain menancapkan bendera, kedua utusan tersebut juga memberikan nama pulau yang telah ditemukan yaitu Butuuni dan Munajat yang artinya Perut bumi dan Kesejahteraan.
Kisah seperti yang diceritakan  hikayat  “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat”  mengenai  asal mula Pulau Muna dan Pulau Buton  diatas secara ilmiah  tidak dapat-  dipertanggungjawabkan, sebab masa kerasulan Nabi Muhammad SAW di mulai setelah beliau berusia 40 tahun atau sekitar tahun 600-an M. jadi kalau mengacu pada buku “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” berarti umur pulau Muna dan Pulau Buton baru sekitar 1400 tahun.
Intinya  Buku tambaga hikayat Assjaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat bukanlah teks sejarah tentang asal usul pulau Muna dan Pulau Buton. Hikayat Assajaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat hanyalah  mitos yang memberikan gambaran kebudayaan masyarakat Muna dan Buton.

B. TRADISI LISAN MASYARAKAT MUNA
Cerita lainya yang mengisahkan asal mula Pulau Muna adalah seperti yang dituturkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna. Kendatipun tradisi lisan  tersebut  dibumbuhi dengan miros-mitos namun banyak digunakan sebagai referensi para sejarawan dalam menulis Sejarah Muna.
 Dalam tradisi lisan masyarakat Muna itu   dikisahkan bahwa Pulau Muna ditemukan oleh Sawerigading pelaut dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan dan pengikutnya sebanyak 40 orang. Mereka itu terdampar di sebuah wilayah yang saat ini bernama BAHUTARA ( Bahtera?). Terdamparnya Kapal Swaerigading tersebut akibat munculnya pulau dari dasar laut. 
Bukti terdamparnya kapal sawerigading tersebut adalah adanya sebuah bukit yang menyerupai sebuah kapal lengkap dengan kabin-kabinnya. Bukit yang menyerupai kapal tersebut diyakini oleh masyarakat Muna sebagai fosil dari Kapal  Sawerigading yang terdampar tersebut. Ditutur kan pula pengikut Sawerigading yang berjumlah 40 orang  kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Muna.
Bukti lainya yang menguatkan keyakinan masyarakat Muna terhadap kebenaran tradisi lisan yang telah hidup beratus-ratus tahun  dikalangan masyarakat Muna adalah adanya sebuah bukit karang yang mana pada waktu-waktu  tertentu  mengeluarkan bunga yang mirip dengan bunga karang. Bukit batu yang juga terletak di Bhahutara tersebut di namakan “Kontu Kowuna”yang artinya batu  berbunga. Bukit batu yang mengeluarkan bunga tersebutlah konon sebagai asal usul penamaan Pulau dan Kerajaan ‘Wuna’
Walaupun tradisi lisan masyarakat Muna tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah, khususnya tentang awal terjadinya Pulau Muna, yaitu sebuah gugusan pulau yang muncul dari dasar lautan namun tidak dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul terjadian Pulau Muna karena juga dibumbui dengan mitos dan kisah-kisah luar biasa.
Jadi tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau muna juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul Pulau Muna, untuk itu perlu ada penelitian yang lebih mendalam lagi untuk membuktikan kebenaranya secara ilmih. Terutama mengenai tahun pemunculannya sebagai pulau.
 C. EPIK I LAGALIGO
Cerita yang memiliki kemiripan  dengan tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau Muna adalah epic I La galigo. Epic itu mengisahkan bahwa Sawerigading adalah seorang pelaut yang tangguh. Dia melakukan penjelajahan samudera setelah bersumpah untuk tidak kembali di negerinya ( Luwu) karena ditentang rencananya untuk menikahi Wa Tendriyabeng yang ternyata saudara kembarnya.  Dikisahkan dalam epik tersebut bahwa menurut adat masyarakat Luwu hubungan antara  Sawerigading dan Wa Tanriabeng ( Saudara kembar ) tidak dibolehkan. Olehnya itu keduanya harus dipisahkan.
Tokoh dari kedua pada tradisi lisan masyarakat Muna dan Epic I La galogo memiliki kesamaan nama. Demikian pula dengan peranannya. Baik tradisi lisan masyarakat Muna maupun Epik I Lagaligo mengakui bahwa Sawerigading adalah seorang Pelaut.
Penyebutan nama yang diawali dengan ‘La’ bagi laki-laki masyarakat Muna memiliki kemiripan dengan penyebutan nama orang laki-laki pada suku Bugis. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa sangat besar kemungkinannya Sawerigading pernah singgah ( terdampar)  di pulau Muna. Hal ini diperkuat oleh DR. Anhar Gonggong sebagai mana kutipan berikut :
Pemerintah pertama Muna yaitu Beteno Netombula juga dikenali sebagai Baidul Zamani adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Beteno Netombula atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kaghua Bangkano Fotu”.  ( La Galigo, Menelusuri Warisan Sastra Dunia– DR. Anghar Gonggong)
Tapi apakah terdamparnya kapal Sawerigading tersebut merupakan awal dari munculnya Pulau Muna? Hal ini juga perlu penelitian yang lebih mendalam lagi. Olehnya itu Epik I Lagaligo juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul terjadinya Pulau Muna.

D.RELIEF DI LIANGKOBORI DAN METANDUNO DAN MUSEUM KARTS INDONESIA
Asal usul keberadaan Pulau Muna yang dapat dijelaskan secara ilmiah karena telah melalui penelitian ilmiah adalah  seperti yang dapat dilihat pada panel monitor  museum karts Indonesia  yang terletak di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. 
Dari panel tersebut kita dapat mengetahui bahwa Pulau Muna hampir seluruhnya tersusun oleh batu gamping berumur Pleistosen (sekitar 1,8 juta tahun yang lalu). Batu gamping ini diperkirakan dari Formasi Wapulaka, seperti terlihat pada tebing-tebing batu gamping ( Karts ) di sepanjang pantai. Batu gamping ini merupakan terumbu karang yang terangkat dan sekarang membentuk kawasan kars yang luas.( Museum Karts Indonesia ).
Itu artinya bahwa pulau Muna sebelumnya adalah terumbu karang yang ada didasar lautan, namun karena desakan dari bawah maka terumbu karang tersebut muncul dipermukaan dan menjadi sebuah pulau. Bukti kuat dari itu adalah sebuah wilayah disekitar Kota Muna lama dimana ada hamparan batu karang yang pada saat-saat tertentu mengeluarkan tunas-tunas seperti terumbu karang didasar laut, namun warnanya  agak berbeda yaitu putih. Tempat itu sekarang dikenal dengan Kontu Kowuna yang artinya batu berbunga.
Selain data yang tersimpan pada museum karts Indonesia, yang telah diteliti secara ilmiah adalah relief yang ada di  gua Liangkobori dan gua Metanduno. Relief  yang terdapat  di dinding gua tersebut menggambarkan kehidupan dan peradaban masyarakat Muna pada jaman purba. Relief tersebut menurut beberapa penelitian telah berumur lebih dari  25.000 tahun. Itu artinya bahwa jauh sebelum itu Pulau Muna telah ada dan telah di huni oleh manusia. Hasil penelitian ini mematahkan pendapat sebagai mana yang dikisahkan dalam buku Assajaru uliqa Darul Bathniy Wa Darul Munajat.  
Dari relief Liangkobori dan Metanduno tergambar bahwa sejak ribuan tahun yang lalu Orang  Muna telah menguasai teknologi kelautan dan telah melakukan penjelajahan samudera. Dari kebiasaan itulah yang memungkinkan Orang Muna bermigrasi dan menempati pulau-pulau lain disekitar Pulau Muna.
Jadi berdasarkan fakta ilmiah tersebut maka penulis berkesimpulan bahwa Pulau Muna pada awalnya merupakan terumbu karang. Namun setelah terjadi desakan akibat pergerakan kulit bumi, maka terumbu karang tersebut muncul dipermukaan dan membentuk sebuah pulau karang. Berdasarkan formasi bebatuan yang dimiliki sebagaimana yang ada di panel monitor Museum Karts di Jawa Tengah, kejadian munculnya  Pulau Muna kepermukaan tersebut sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.
Merujuk pada usia relief yang ada di dinding gua Liangkobori dan Metanduno, Pulau Muna mulai dihuni oleh manusia jauh dari usia relief tersebut. Sebab bila melihat motif lukisan yang ada di dinding kedua gua tersebut maka manusia yang membuatnya telah memiliki peradaban yang tinggi yaitu telah mengenal teknologi kelautan dan astronomi.




BAB II
O R A N G   M U N A
 A. SIAPA ORANG MUNA ITU?
Orang  Muna adalah masyarakat Suku Bangsa Muna, yang mendiami Pulau Muna dan pulau-pulau kecil disekitarnya, sebagian besar  Pulau Buton khususnya bagian Utara, Utara Timur Laut dan Barat Daya  Pulau Buton, Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Kepulauan Talaga ( wilayah Kabupaten Buton) . Orang Muna menggunakan Bahasa Daerah Muna sebagai bahasa tutur diantara mereka.
Orang Muna asli memiliki kemiripan dengan  suku-suku Polynesia dan Melanesia di Pasifik dan Australia. Orang Muna berbeda dengan suku-suku lain yang ada di Sulawesi Tenggara seperti suku Tolaki/Mekongga dan Moronene yang memiliki kemiripan dengan Melayu dan Mongoloid. 
Dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam), dan rambut (keriting/ikal) terlihat bahwa orang Muna asli lebih dekat dengan suku-suku  yang ada di Pulau Flores dan Kepulauan Maluku.  Hal ini semakin diperkuat dengan kemiripan tipikal manusianya dan kebudayaan suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan Pulau Timor dan Flores umumnya dan Kepulauan Maluku dengan Kebudayaan dan tipikal Orang Muna..
Motif sarung tenunan di NTT, Maluku  dan Muna memiliki kemiripan satu dengan lainnya  yaitu garis-garis horisontal dengan warna-warna dasar seperti kuning, hijau, merah, dan hitam. Bentuk ikat kepala juga memiliki kemiripan, kecuali Maluku bentuk  ikat kepalanya berbeda.
Orang Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan Muna khususnya di Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga sering mencari ikan atau teripang dan lola hingga ke perairan Darwin.
Telah beberapa kali Nelayan Muna ( dalam laporan penelitian Program Study Pendidikan Sejarah FKIP Unidayan, ditulis Buton)  ditangkap di perairan sekitar Darwin oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan tradisional antara orang Muna dengan suku asli Australia Aborigin  ( La Ode Abd Munafi & Andi Tendri,2002 ).
La Kimi Batoa dalam bukunya ‘Sejarah Kerajan Muna’ terbitan  CV Astri Raha menjelaskan  bahwa penduduk asli Pulau Muna adalah O Tomuna dan Batuawu. O Tomuna memiliki ciri-ciri  berkulit hitam, rambut ikal tinggi badan antara 160- 165 Cm. Ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum suku-suku malanesia dan Australia .
Suku-suku di Indonesia yang memiliki ciri-ciri seperti ini mendiami wilayah Irian dan Australia ( suku Aborigin). Sedangkan Batuawu  berkulit Coklat  berambut ikal dan tinggi tubuh berkisar 150-160 Cm. Postur tubuh seperti ini merupakan ciri-ciri yang dimiliki suku-suku  Polynesia yang  mendiami Pulau Flores dan Maluku. Suku asli Muna menggunakan Bahasa muna sebagai bahasa sehari-hari.
B. SEBARAN WILAYAH HUNIAN ORANG MUNA
Suku asli Muna ( O Tomuna & Batuawu ), Menghuni Pulau Muna sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan selain menghuni Pulau Muna  Orang Muna juga menjadi menghuni sebagaian besar  wilayah Pulau Buton dan Pulau-Pulau kecil lainnya seperti Pulau Talaga, Kadatua dan Pulau Siompu yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi kabupaten Buton. Penyebaran Suku asli Muna ( Baca; Orang Muna )di Pulau Buton dan pulau-pulau lainya di Sulawesi Tenggara itu dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, bentuk tubuh, warna kulit  dan kebuadayaan masyarakatnya. 
Kebudayaan yang paling menonjol dari Orang Muna adalah menjadi pelaut. Kebiasaan mengarungi lautan telah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dapat dilihat dari gambar-gambar perahu yang terdapat di dinding Gua Liangkobori. Jadi boleh jadi dari kebiasaan mengarungi lautan itulah Orang Muna menyebar keseluruh kepulauam di Sulawesi Tenggara, bahkan sampai ke Darwin Australia.
Dalam literatur dan juga dalam pergaulan, Orang Muna lebih dikenal sebagai orang Buton. Hal ini disebabkan karena Kerajaan/Kesultanan Buton, atas bantuan Belanda, mengkooptasi Kerajaan Muna dan mengklaimnya sebagai bagian dari Wilayahnya. Kendati demikian maasyarakat dan pihak istana Kerajaan Muna tidak pernah mengakuinya.
Hingga Kerajaan/Kesultanan Buton dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1962, Raja– raja  Muna terus melakukan perlawanan terhadap kooptasi Buton dan sekutunya, Belanda. Konsekuensi dari perlawanan tesebut adalah diasingkannya beberapa Raja Muna ke Pulau Sumatera, Jawa dan Ternate serta Pulau Banda.
 Ada beberapa Raja-Raja Muna yang tercatat dalam sejarah yang pernah melakukan perlawanan  (fisik mapun politik) terhadap Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton seperti Raja La Ode Ngkadiri, Wa Ode Wakelu (permaisuri Raja La Ode Ngkadiri), Raja La Ode Saete, La Ode Ngkaili, Raja La Ode Umara, La Ode Pulu dan yang terakhir Raja La Ode Dika gelar Komasigino.
Perlawanan Raja La Ode Dika ditunjukan saat menghadap Sultan Buton  La Ode Salihi. Dihadapan Sultan Buton, Raja Muna La Ode Dika tidak  melakukan penghormatan  sebagai mana layaknya bawahan terhadap atasan, bahkan dengan ketegasannya Raja Muna La Ode Dika mengacungkan telunjuknya ke Pada Sultan Buton.
Tata cara yang dilakukan oleh Raja Muna La Ode Dika tersebut dianggap sebagai perlawanan dan ancaman oleh Sultan Buton sehingga dilaporkan pada Pemerintah Kolonial Belanda di Makassar. Akibat dari sikapnya  tersebut La Ode Dika dicopot dari jabatannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan secara sepihak pemerintah kolonial menyatakan Kerajaan Muna berada dibawah pengawasannya ( 1938-1941 ) hingga akhirnya  melantik  La Ode Pandu sebagai penggantinya.
Kenyataan lain yang menunjukkan bahwa Kerajaan Muna tidak pernah mengakui klaim Kesultanan Buton dan sekutunya Kolonial Belanda adalah kuatnya pengaruh kebudayaan Muna mempengaruhi kehidupan masyarakat di Kesultanan Buton khususnya pengguanaan bahasa Muna. Fakta ini masih dapat dilihat sampai saat ini dimana penutur bahasa Muna (orang Muna) yang mendiami sebagian besar wilayah ex Kerajaan/Kesultanan Buton masih dapat dilihat sampai saat ini..
Orang Muna menjadi penghuni Pulau Muna dan Pulau-pulau lainnya sejak  jaman purbakala. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan relief purba di gua Liangkobori dan Gua Metanduno. Menurut beberapa penelitian relief tersebut telah berusia lebih dari 25.000 tahun. Relief yang ada di Gua Liangkobori dan Metanduno secara jelas menceritakan peradaban dan kebudayaan  Orang Muna saat itu.
Relief yang terdapat digua tersebut memberikan gambaran bahwa walau Orang Muna masih menempati Gua sebagai tempat tinggal mereka, tetapi mereka telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang cukup tinggi. Orang Muna saat itu seperti yang diceritakan dari relief tersebut telah menggunakan  alat-alat  pertanian dalam bercocok  tanam, telah menguasai teknologi pelayaran serta memiliki pengetahuan  dibidang astronomi.
Kebudayaan Orang  Muna seperti tersebut diatas diketahui dari  gambar-gambar yang ada pada Gua Liangkobori seperti gambar tanaman perkebuanan, gambar orang yang sedang berburu dengan menunggang kuda, gambar perahu layar, gambar matahari, bulan dan bintang dan lain-lain.
Pengetahuan Orang Muna di bidang astronomi tersebut selain berkaitan dengan pengetahuan dibidang kelautan sebagai penunjuk arah juga berkaitan dengan kebudayaan bidang pertaian dan astrologi. Pengetahuan astronomi dan astrologi tersebut  masih terus di lestarikan sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat dari Masyarakat Muna di pedalaman yang masih mengandalkan pengetahuan tradisional dibidang astronomi untuk menentukan musim tanam. Demikian juga dalam melihat hari baik untuk melakukan suatu aktifitas, masyarakat Muna sampai saat ini masih mengaitkan dengan peredaran bulan dan bintang. Pengetahuan masyarakat Muna dalam bidang astrologi dinamakan “kutika”.
Ada beberapa nama Rasi bintang yang menjadi petunjuk untuk melakukan aktifitas pertanian. Misalnya saja Rasi Bintang yang di namakan Fele, apabila rasi bintang ini sudah mulai terlihat jelas, maka aktifitas membersikan lahan segera di mulai sebab satu bulan lagi hujan pertama akan turun. Apabila hujan sudah turun maka pembakaran lahan dimulai.
Demikian pula dengan penguasaan Orang Muna terhadap Teknologi pelayaran dapat dilihat yang mana sampai saat ini Orang Muna dikenal sebagai nelayan-nelayan tangguh yang dapat mengarungi samudera sampai  Australia. Bukti itu dapat dilahat dengan banyaknya nelayan-nelayan Orang Muna yang ditangkap di Negara Australia pada saat mencari ikan dan lola dinegeri tersebut.
Belum ada penelitian yang mengungkap secara pasti sejak kapan Orang Muna menghuni  Pulau-Pulau lain selain pulau Muna. Namun kalau melihat dari relief-relief yang ada di liangkobori dapat diperkirakan bahwa Orang Muna telah menjadi penghuni Pulau-Pulau tersebut lebih dari 25.000 tahun yang lalu yaitu jauh sebelum relief yang ada di Liangkobori dibuat.
Gambar perahu/kapal yang terdapat  gua tersebut menunjukan bahwa waktu itu Orang Muna telah menguasai teknologi Kelautan serta telah melakukan perjalanan keluar Pulau  Muna dengan menggunakan perahu/kapal. Jadi dari kebiasan melakukan penjelajahan samudera tersebut sehingga Orang Muna banyak mendatangi tempat lain termasuk pulau-pulau yang ada di sekitar Pulau Muna yakni Pulau Buton, Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga bahkan sampai di darwin Australia.
 















C. ORANG MUNA   DALAM MEMBANGUN  PER-ADABAN   DI SULAWESI TENGGARA
1. Orang Muna Di Pulau Muna
Sebelum  Sawerigading  dan pengikutnya yang  berjumlah 40 orang tiba di Pulau Muna, Orang Muna yang dikenal sebagai O Tomuna dan Batawu telah menghuni Pulau Muna. Bukti keberadaan Orang Muna tersebut  dijelaskan dalam relief yang terdapat pada dinding Gua Liangkobori dan Gua Metanduno yang terletak sekitar Kawuna-wuna jaraknya 15 Km dari Kota Raha Ibu Kota Kabupaten Muna saat ini. Menurut Kosasi relief di dinding Gua Liangkobori dan Gua Metanduno berumur sekitar 25.000 tahun.
Relief yang terdapat didinding kedua gua tersebut menggambarkan bahwa Orang Muna saat itu telah memeiliki peradaban dan kebudayaan yang cukup maju. Jadi Sawerigading dan pengikutnya bukan orang pertama yang menjadi penghuni Pulau Muna, tetapi ketika merek mendarat, mereka langsung berbaur dengan kelompok masyarakat ( Orang Muna ) lainnya dan membangun peradaban baru yang lebih maju.
 Penghuni Pulau Muna sebelum kedatangan Sawerigading dan Pengukutnya masih mendiami gua-gua yang memang banyak terdapat di Pulau Muna sebagai tempat tinggal mereka. Kehidupan mereka masih sangat tergantung dengan alam. Mereka hidup dari berburu hewan dan memetik langsung makanan dari alam. Penduduk asli Pulau Muna belum mengenal bercocok tanam.
 Peradaban dan kebudayaan Suku asli Pulau Muna semakin berkembang setelah berbaur dengan  empat puluh orang pengikut Sawerigading.  Pola hidup mereka yang sebelumnya mengandalkan meramu dan berburu dalam mencukupi kebutuhan pangannya, kemudian  berupa dengan polah bercocok tanam dan berternak. Selain itu mereka  juga mulai membentuk koloni-koloni dan mulai membangun perkampungan di luar gua.
 Seiring dengan pertambahan penduduk, koloni-koloni tersebut berubah menjadi kampung dan permasalahan mereka menjadi kompleks. Untuk mengatur kehidupan social mereka, kemudian mereka mengangkat seorang pemimpin diantara mereka yang di gelar dengan kamokula ( Yang di tuakan ). 

2. ORANG MUNA DALAM MEMBANGUN PERADABAN DI NEGERI  BUTON
Jauh sebelum Rombongan Mia Pata Miana ( orang yang empat) yakni Sipanjonga,Sitamanajo, Simalui dan Sibatara mendarat di Pulau Buton, Orang Muna telah menjadi penghuni Pulau tersebut.
Dalam hikayat  Mia Patamiana,  dikisahkan bahwa pada saat Armada  Simalui yang berjumlah 40 orang  mendarat di sebelah Timur Laut Negeri Buton ( diperkirakan disekitar Kamaru ) pada tahun 1236 M, mereka bertemu dan berbaur dengan masyarakat lokal kemudian  membentuk sebuah pemukiman. Selain itu mereka juga membuat benteng sebagai pertahanan dari serangan dari luar.
Demikian juga dengan armada Mia Pata Miana yang lain ( Sipanjonga, Sijawangkati dan Sitamanjo), pada saat mendarat di suatu wilayah mereka langsung berbaur dengan masyaarakat Lokal yang menggunakan bahasa Pancana ( Muna ) sebagai bahasa tutur diantara mereka.  Kisah seperti yang diceritakan dalam hikayat Mia Pata Miana ini  diperkuat dengan  fakta dimana sampai saat ini masyarakat yang mendiami wilayah tempat pendaratan mereka masih menggunakan  bahasa Muna ( Pancana ) sebagai bahasa tutur.
 Dari fakta ini dapat di asumsikan bahwa jauh sebelum Mia Patamiana mendarat di negeri Buton, Suku asli Muna telah menjadi penghuni Pulau Buton.
Setelah Mia Patamiana dan pengikutnya datang di Pulau Buton kemudian berbaur dengan Orang Muna yang terlebi dahulu menempati Pulau Buton mereka membangun peradaban yang lebih maju lagi sampai menjadikan Wolio/Buton sebagai sebuah kerajaan. Kerajaan Wolio dibangun atas kesepakatan para pendatang dari melayu, cina, Jawa ( Majapahit) dan Orang Muna yang   yang telah berbaur sebelumnya dan membentuk empat komunitas besar ( Pata Limbona).
Tidak sampai disitu saja, ketika Kerajaan Buton dipimpin oleh raja Buton V yang bernama La Mulae terjadi kekacauan yang luar biasa di kerajaan Buton akbiat terror yang dilakukan oleh La Bolontio seorang bajak laut dari Tobelo.
Teror tersebut nyaris meruntuhkan kerajaan Buton. Dalam Kondisi yang kacau balau itulah, Putera raja Muna VI Sugi Manuru yang bernama La Kilaponto datang menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Dengan kesaktiannya dalam waktu singkat penyebar terror tersebut dapat ditumpas ( Baca; La Kilaponton Omputo Mepokonduaghono Ghoera ).
Setelah Raja Buton V meninggal, tidak ada satupun yang berani menggantikannya untuk menjadi raja. Olehnya itu para tetua dinegeri Buton bersepakat  untuk melantik La Kilaponto menjadi Raja buton menggantikan La Mulae. Padahal waktu itu La kilaponto baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII menggantikan ayahandanya Sugi Manuru yang telah tua.
Karena merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan negeri Buton yang telah dibangun leluhurnya serta petuah ayahandanya, La Kilaponto menerimah amanah tersebut dengan konsekuensi harus mengemban jabatan raja pada dua kerajaan sekaligus dalam waktu yang bersamaan
.dikisahkan pula selain pada Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton, pada waktu yang bersamaan pula La Kilaponton juga menjadi raja pada kerajaan Konawe, kerajaan Kabaena dan Kerajaan kaledupa
Terhitung sejak masa pemerintahan La Kilaponto  sampai masa pemerintahan Sultan Buton IV La Elangi gelar Dayanu Ikhsanuddin orang Muna menjadi penguasa dan berperan melakukan penataan terhadap system pemerintahan, hukum dan mebangun tatanan sosial kemasyarakat di negeri Buton adalah selama hampir dari dua ratus tahun.
   Mengapa La Kilaponto dan penerusnya sampai La Elangi di katakana sebagai Orang Muna ? Sebab berdasarkan hasil penelusuran sejarah dan analisis terhadap sislsilah Raja-raja/Sultan Buton yang dilakukan penulis terungkap  bahwa Sultan Buton I ( La Kilaponton ) sampai Sultan Buton IV ( La Elangi ) tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja-Raja Buton terdahulu ( Baca; La Kilaponto Omputo Mepokonduaghono ghoera).
Itu artinya bahwa peranan Orang Muna dalam membangun peradaban di negeri Buton, sampai menjadikan  Negeri itu menjadi sebuah Kesultanan yang di kenal dalam pergaulan dunia sangat besar dan tidak bisa dipandang  sebelah mata. 
Perananan Orang Muna di Kesultanan Buton mulai didistorsi setelah Kolonial Belanda dapat mempengaruhi para petingi di Kesultanan Buton. Bukti bahwa Kolonial Belanda telah mempengaruhu petinggi di Kesultanan Buton khususnya golongan ‘sara’ adalah ketika ‘sara’ berhasil mendepak Sultan Buton II La Tumpamasi dari jabatannya sebagai Sultan. Golongan ‘sara’ mengamgap bahwa Sultan La Tumpamasi dalam menjalankan pemerintahanya terlalu keras melawan Kolonial Belanda.
Pendistorsian peranan Orang Muna tersebut berkaitan dengan keinginan Kolonial Belanda untuk dapat mengasai kesultanan Buton. Orang Muna yang saat itu sedang berkuasa di Kesultanan Buton diangap sebagai penghalang bagi Kolonial Belanda untuk memwujudkan ambisinya tersebut karena sejak awal Orang Muna yang dipelopori oleh La Kilaponto telah menganggap Bangsa Eropa dalam hal ini termasuk Belanda adalah musuh yang harus diperangi.
Keinginan Belanda untuk menguasai Kesultanan Buton yang saat itu sedang dikuasai oleh orang muna berkaitan dengan letak Kesultana Buton yang strategis yaitu sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara wilayah timur dan Barat Nusantara. Apa lagi waktu itu Kolonial Belanda sedang berkonfrontasi dengan Kerajan Gowa di satu pihak dan melawan pengaruh dua kekuatan Kolonial yang telah menuasai wilayah Timur Nusantara yaitu Portugis dan Spanyol..
. Kolonial Bealnda melihat  bahwa  letaknya sangat strategis  sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai basis pertahanan dari 
C. ORANG MUNA DALAM MEMBANGUN PERADABAN DI KONAWE /MEKONGGA.
Tidak saja di Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton Orang Muna berperan aktif dalam membangun peradaban, tetapi di juga di Kerajaan lainnya di Sulawesi Tenggara yaitu Konaw/Mekongga.  Bahkan dalam beberapa literatur mengungkapkan bahwa  Orang Muna yang dipelopori oleh La Kilaponto berperan aktif membangun peradaban di Kerajaan Konawe/Mekongga sejak La Kilaponto belum menjadi Raja di Kerajaan Muna maupun di Kerajaan Buton.
Berbeda dengan Kedatangan Orang Muna di Buton yang dilakukan sejak jaman purba, kedatangan Orang Muna ( La Kilaponto) di Konawe/Mekongga, dikarenakan adanya hubungan kekerabatan antara Raja-Raja Muna dengan Raja-Raja Konawe sebagai mana kutipan berikut
“ Setelah beberapa lamanya maka terdengar chabar oleh La Kilaponto ( Murhum) bahwa mama dari Wa Sitao anak dari Mokole Konawe telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta benda yang menjadi pusaka Wa Sitao dan Wa Randea nenek Murhum tersebut. Mendengar itu, maka La Kilaponto ( Murhum) sampailah di Konawe dan disebut  namaanya La tolaki. Beberapa lamanya beliau menjadi Mokole Konawe, maka terjadilah perang antara Mekongga dan Konawe, dalam peperangan itu dimana Konawe mendapaat kemenangan” ( La Ode Abdul Kudus, 1962;2).
 Namun Said D berpendapat lain, menurutnya kedatangan Orang Muna ( La Kilaponto ) di Kerajaan Konawe/Mekongga akibat adanya keinginan La Kilaponto untuk melakukan perlawatan pada  Kerajaan-kerajaan yang pernah di hancurkan oleh La Bolontio, tokoh bajak laut bermata satu yang telah dikalahkannya pada suatu pertempuran di Boneatiro.  Dalam perjalanan menuju Konawe, kebetulan kerajaan itu sedang bertikai dengan Kerajaan Mekonga. Hanya dalam waktu delapan hari La Kilaponto dapat menyelesaikan pertikaian itu. Atas jasanya tersebut, La Kilaponto kemudian diangkat menjadi Mokole Konawe dan dianugerahi gelar Haluoleo ( Said D, 2007 ; 148 ).
Tidak ada catatan sejarah yang megungkap sejak tahun berapa  La Kilaponto di lantik menjadi Mokole Konawe, tapi yang pasti hingga dia di lantik mejadi Raja Muna pada tahun 1538,  La Kilaponto masih menjabat sebagai Mokole Konawe, bahkan sampai Kerajaan Buton  berubah menjadi Kesultanan dan La Kiaponto menobatkan diri sebagai Sultan Pertamanya pada tahn1541 La Kiaponto masih menjadi Mokole Konawe.
Jadi dalam kurun waktu tiga tahun Orang Muna ( La kiaponto ) menjadi raja di tiga  Kerajaan dalam waktu yang bersamaan. Dalam lteratur lain mengungkakan sesunguya selain tiga kerajaan besar tersebut, turut pula dua kerajaan lainnya yaitu Kobaena dan Mekongga  ikut menyertakan diri dibawah kekuasaan Orang Muna ( La kilaponto ) sebagaimana kutipan berikut
‘ Adapun tatkala Murhum menjadi raja dalam negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian negeri karena ia Raja La Kilaponto membawahi negeri  yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri ini seperti Kaledupa dialihkannya, Mekongga dialihkannya dan Kobaena dialihkannya. Maka sekalian negeripun dialihkannya oleh Murhum’ ( Koleksi belanda, hal 1)’     
BAB III
BAHASA MUNA

 Selain nama kerajaan/kabupaten/ pulau, Muna juga menjadi nama sebuah bahasa yang digunakan oleh suku bangsa Muna yang mendiami Pulau Muna, Pulau Buton dan Pulau-pulau kecil di sekitar kedua pulau tersebut seperti Pulau Kadatua, Pulau Siompu dan Pulau Talaga ( Kabupaten Buton ).  Dr Rene van den Berg, dosen linguistik di Darwin, Australia yang melakukan penelitian Bahasa Muna menjelaskan bahwa sebaran wilayah yang masyarakatnya menggunakan Bahasa Muna sebaagai bahasa tutur yang berada di daratan Pulau Buton adalah  wilayah Kecamatan Batauga , Lasalimu, kamaru, Kapontori, Labuandiri, Lawele, laonti kambe-kambero, Bosuwa, Lawela ( Kabupaten Buton ), Kecamatan Betoambari (Katobengke-Topa-Sulaa-Lawela), Kecamatan Bungi ( Lianbuku, Wonco, Bungi, Palabusa ) , Kecamatan Kokalukuna ( Pulau Makasar) di Kota Baubau   serta di ex kerajaan Muna meliputi Kecamatan Kambowa, Kecamatan Wakorumba dan Kecamatan Bonegunu Kabupaten  Buton Utara, serta Kecamatan Wakorsel, Maligano dan Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Muna.
Belum ada yang menjelaskan secara ilmiah mengapa Suku Muna yang menggunakan bahasa muna yang awalnya menghuni Pulau Muna dapat tersebar begitu  luas di daratan Pulau Buton dan Pulau-Pulau disekitarnya ( ex Kesultanan Buton). Sebagian sejarahwan Buton menulis  bahwa luasnya sebaran wilayah yang dihuni oleh Suku Muna di Pulau Buton hingga menguasai hampir seluruh Pulau Buton adalah migrasi besar-besaran Suku Muna akibat tidak kondusifnya Kerajaan Muna sehingga mencari perlindungan pada Kesultanan Buton yang lebih aman.
 Namun argumentasi tersebut terbantahkan dengan adanya fakta seperti yang dikisahkan dalam hikayat Mia patamiana. Hikayat tersebut mengisahkan bahwa  jauh sebelum kerajaan Buton terbentuk Suku Muna telah menjadi penghuni Pulau Buton. Fakta itu dapat dilihat dari setiap  wilayah  yang menjadi tempat pendaratan Mia Patamiana,  orang yang diakui sebagai orang yang memulai peradaban di Negeri Buton masyarakatnya   menggunakan bahasa muna sebagai bahasa tutur  mereka. Ini juga dijelaskan dalam hikayat Mia Patamiana dimana ketika sitamajo salah seorang dari empat orang Mia Patamianaa mendarat di Kapontori mereka telah menemukan masyarakat lokal yang menggunakan Bahasa Muna sebagai bahasa komunikasi diantara mereka.
Demikian pula ketika armada Mia Patamiana lainnya ( Simalui, Sijawangkati dan Si Batara )  mendarat disuatu wilayah seperti Kamaru, Lasalimu, Kadatua dan Topa mereka selalu bertemu dengan  penduduk lokal yang menggunakan  bahasa Muna sebagaai bahasa tutur mereka. Bukti kuat dari itu adalah sampai saat ini masyaarakat diwilayah tersebut tetap menggunakan Bahasa Muna sebagai bahasa primer mereka selain Bahasa Indonesia.
Berdasarkan luas wilayah dan kuantitas pengguna Bahasa Muna sebagai bahasa Tutur di Sulawesi tenggara, bahasa Muna merupakan  bahasa kedua penutur terbanyak setelah Bahsa Tolaki-Mekonggga. Secara geografis penyebaran penutur kedua bahasa tersebut juga berbeda. Bahasa Tolaki-Mekongga sebarannya di daratan Pulau Sulawesi Bagian Tenggara, sedangkan Bahasa Muna Penuturnya tersebar di Kepulauan termasuk dua pulau besar yaitu Muna dan Pulau Buton.
Dr, Rene Van dengberg juga menemukan penutur bahasa Muna ternyata bukan saja di tersebar di wilayah kepulauan Sulawesi bagian tenggara tetapi di sebagian Pulau Ambon dan kepualauan Maluku Utara. Dr. Rene Van Denberg tidak menjelaskan sejak kapan bahasa muna digunakan oleh maasyaarakat Pulau Ambon dan Kepulauan Maluku Utara serta bagaimana  proses penyebarannya.
Mungkin saja  penyebaran bahasa Muna di Pulau Ambon dan Kepulauan Maluku utara tersebut lakukan oleh La Ode Wuna Putra raja Muna VI Sugi Manuru.
Tradisi lisan masyarakat Muna menjelaskan bahwa salah seorang Putra Raja Muna VI Sugimanuru yaitu La Ode Wuna yang berwujud Ular berkepala manusia diusir karena berulah yang dapat mencoreng kewibawaan ayahaandanya sebagai Raja.
Setelah diusir dari kerajaan Muna, La Ode Wuna kemudian  berlayar menuju Pulau Halmahera di Maluku Utara. Dalam pelayaranya La Ode Wuna yang dikenal sakti menumpang pada dua buah kelapa. Sesampainya di pantai Pulau Halmahera ( maluku Utara ), La Ode Wuna kemudian menanam kelapa yang menjadi tumpangannya tersebut di pantai dimana dia terdampar. Jadi ada kemungkinan La Ode Wuna dan pengikutnyalah yang pertama menyebarkan bahasa Muna di Kepulauan Maluku/maluku Utara melalui alkulturasi budaya.
“Bahasa Menunjukan Bangsa”  demikian dikatakan JS. Badudu, seorang pakar bahasa Indonesia yang terkenal pada masa Orde Baru karena mengeritik dialek Presiden Suharto yang melafalkan kata makin dengan mangkin. JS. Badudu menyadari bahwa bahasa merupakan identitas dan jati diri bangsa. Olehnya itu setiap orang termasuk Suharto harus melafalkan pengucapan setiap kalimat bahasa sesuai dengan kaidah tata bahasa yang baik dan benar sebagai manifestasi jati diri dan identitas suatu bangsa, dalam hal ini Bangasa Indonesia.
Menurut JS. Badudu  kebesaran suatu bangsa dapat dilihat dari seberapa besar kecintaan bangsa itu dengan bahasanya. Salah satu bentuk dari kecintaan tersebut adalah ditentukan dengan kualitas dan kuantitas orang yanng  menggunakan  bahasa bangsa tersebut.
Mengapa JS.  Badudu menekankan penggunaan bahasa dengan eksistensi suatu bangsa? Hal ini terjawab dengan sejarah kolonialisme moderen di mana untuk dapat mengifiltrasi suatu bangsa,  maka hal pertama yang dilakukan bangsa tersebut adalah menyebar luaskan penggunaan bahasanya pada bangsa yang di incarnya.
Bila melihat pengguna Bahasa Muna yang hampir melingkupi seluruh wilayah ex Kesultanan Buton, mungkinkah kita dapat berasumsi bahwa Buton itu merupkan bagian atau koloni dari Kerajaan Muna? Atau mungkinkah Bahasa Muna merupakan bahasa Kesultanan Buton? 
Pertanyaan diatas perlu diteliti lebih mendalam lagi, sebab berdasarkan artikel-artikel sejarah yang ditulis oleh sejarawan buton selama ini dikatakan bahwa bahasa kesultanan Buton adalah Bahasa Wolio. Padahal berdasarkan penelitian dan fakta yang ada hari ini pengguna bahasa Wolio hanyalah melingkupi masyarakat satu Kecamatan ( Kecamatan Wolio )dari 6 Kecamatan yang ada di Kota Bau-bau saat ini, selebihnya menggunakan bahasa Muna ( sebagian besar ) dan bahasa Cia-cia ( sebagian kecil-khususnya di kecamatan Sorawolio).
Soerjono Soekanto Dalam buku Sosiologi Suatu pengantar ( 1990) mengatakan interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu: 1) Adanya kontak sosial ( social contact, 2) adanya komunikasi. Apabila salah satu dari dua syarat tadi tidak terpenuhi maka  mustahil terjadi interaksi sosial.  Jadi bagai mana suatu kelompok dapat berkomunikasi dengan kelompok lain bila  tidak saling memahami bahasa masing-masing? Padahal arti penting dari suatu komunikasi adalah memberikan penafsiran perilaku orang lain melalui pembicaraan dan gerak-gerak badania ( Sujano Sukanto, 1990:71-73).   
Jadi kalau kita masih tetap mengakui bahwa bahasa merupakan identitas dan jati diri suatu bangsa, maka bagi mana bisa bahasa Wolio dapat dikatakan menjadi identitas dan jati diri Kesultanan Buton? Badingkan dengan Bahasa Muna yang digunakan oleh hampir seluruh masyarakat ex Kesultanan Buton. Bukankah itu dapat dikatakan bahwa Bahasa Muna telah menjadi  identitas dan jati diri  Bangsa dari Kesultanan Buton? Untuk menjawab semua itu diperlukan suatu kejujuran dan kebesaran hati para sejarawan untuk mengungkap kebenaran sejarah dengan tidak perlu ada yang ditutup-tutupi.
 A. AKSEN
Dr. Rene Van Debrg dalam penelitiaannya menemukan bahwa bahasa Muna memiliki banyak aksen. Setiap wilayah penyebaran bahasa muna memiliki aksen sendiri-sendiri dalam  pengucapannya seperti aksen Bosua, Kamaru,Kaimbulawa,Lasalimu dan Muna, sedangkan menurut Burhanuddin ada juga aksen Pancana.
Aksen Bosua digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Batauga, pantai barat daya Pulau Buton, sebelah selatan wilayah Katobengke-Topa-Sulaa dan Lawela. Sedangkan aksen Kaimbulawa  digunakan oleh masyarakat ‘Siompu. Lantoi, Kambe-Kambero , Liabuku, Barangka dan Kapontori.
Aksen Kamaru digunakan oleh  masyarakat di Kecamatan kamaru kabupaten buton. Aksen Pancana di Gunakan oleh masyarakat yang mendiami pulau Muna bagian Selatan yaitu masyarakat Gu dan mawasangka. Aksen Pancana juga digunakan oleh masyarakat Pulau Talaga, Siompu dan Kadatua.
Setiap aksen dalam pengucapan bahasa Muna, dipengaruhi oleh lingkungan dimana komunitas penggunanya menetap atau pengaruh luar dimana penggunanya sering berintaraksi dengan dunia luar. Dari interaksi-interaksi dari dua atau beberapa bahasa tersebut kemudian melahirkan aksen baru. Misalnya saja Masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang menggunakan Bahasa Wolio atau Cia-cia, maka aksennya akan berbeda dengan masyarakat Muna yang sering berinteraksi dengan masyarakat dari luar seperti melayu, jawa, arab dan lain-lain.
B.PENGUCAPAN
Bahasa Muna dari semua dialek/ aksen dalam pengucapannya tidak mengenal konsonan dalam setiap akhir kata. Dalam  kosa kata bahasa muna tidak mengenal  struktur konsonal vokal konsonan ( KVK ). Olehnya itu penyerapan bahasa asing kedalam bahasa Muna apabila berakhir dengan konsonan dalam pengucapannya pada akhir pengucapannya selalu ditambah dengan vokal ( a,e,i,o,u ). Atau di hilangkan huruf akhirnya sehingga berakhir dengan vokal. Contohnya sandal, dalam bahasa Muna pengucapannya di tambah dengan vokal ‘i’ sehingga pengucapannya menjadi sandal(i), atau Pelabuhan misalnya di hilangkan hurup ‘n’ sehungga dalam pengucapannya menjadi ‘pelabuha’(n).
Selain tidak mngenal vokal dalam akhir kata, dalam alfabet bahasa Muna asli juga tidak mengenal huruf ‘C.’ Namun pada  aksen Kaimbulawa dan pancana huruf C digunakan untuk mengganti huruf ‘T’ pada aksen Muna asli contonya ‘ihintu’ ( Kamu) dalam bahasa Muna asli bila diucapkan dalam aksen Kaimbunawa dan Pancana maka menjadi ‘isincu’
Penggunaan Hurup  ‘C’ dalam pengucapan bahassa Muna tersebut mungkin saja dipengaruhi oleh bahasa Cia-ciaHal ini dapat dimungkinkan karena masyarakat yang meggunakan huruf ‘c’ dalam pengucapannya pada umumnya masyarakat yang dalam pergaulannya sangat dekat dengan masyarakat Cia-cia. Jadi karena pergaulan itulah sehingga terjadi perpaduan bahasa kedua suku bangsa tersebut.
Ada juga kemungkinan bahwa penggunaan huruf ‘C’ tersebut dipengaruhi oleh bahasa Wolio. Hal ini terutama  mempengaruhi masyarakat yang dalam pergaulannya sehari-hari sangat dekat dengan masyarakat pengguna bahasa wolio. Mereka itu adalah masyarakat yang berdiam disekitar kecamatan Wolio seperti Katobengke, palabusa, bosuwa,dan Pulau makasaar.


BAB V
RAJA—RAJA MUNA DAN PERJUANGANNYA.
Dari 39 Raja-Raja Muna yang telah memerintah dikerajaan muna tidak semua memiliki catatan sejarah yang dapat diungkap .  Untuk itu dalam tulisan ini penulis hanya mengungkap beberapa orang saja dengan perjuangannya masing-masing serta masa pemerintahan dan sistem pemerintahannya..
Pengungkapan ini bertujuan untuk menjadi pembelajaran  pada geberasi agar mereka mengenal sejarah kejayaan nenek moyang mereka serta bagaimana perjuangan mereka dalam membesarkan Kerajaan Muna dan kegigihan mereka dalam mengusir penjajah belanda dari Kerajaan Muna.Pengungkapan sejarah ini juga bertujuan untuk menumbuhkan rasa bangga sebagai generasi Muna karena ternyata  raja-raja Muna masa lalu telah menggoreskan tinta emas dalam catatan sejarah, baik sejarah ditingkat Lokal Sulawesi tenggara maupun ditingkat nasional.Raja-Raja Muna dan segenap masyarakatnya masa lalu juga tidak pernah tunduk dengan imperialisme dan liberalisme. 
1. Raja Muna I – La Eli alieas Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula,  ( 1417 – 1467 ),
Bheteno ne Tombula alias La Eli alias Baidhul Jamani adalah Raja Muna I. Bheteno ne Tombula  dipercaya sebagai orang pertama yang memulai beradabaan baru  dalam sistem sosial kemasyarakatan di Muna. Hal ini dikarenakan pada masa pemerintahan Bheteno Ne Tombula Muna menjadi sebuah kerajaan dengan struktur  pemerintahan dan struktur sosial yang lebih moderen. Sebagai seorang raja Sugi manuru juga melakukan penataan dalam sistem administrasi pemerintahan, walapun pada waktu itu masyarakat Muna termasuk raja belum mengenal tuulisan. 
Bheteno Ne tombula bukanlah orang Muna, beliau ditemukan dalam rumpun bambu oleh sekelompok orang yang ditugaskan utnuk mencari bambu pada saat diadakan pesta besar di Wamelai.


  A.   Bheteno Ne Tombula Versi Tradisi Lisan Masyarakat Muna
Dikisahkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna bahwa pada suatu hari, Mieno ( Pemimpin Wilayah ) Wamelai  akan mengadakan  pesta raya, seluruh masyarakat  Muna di delapan wilayah dikumpulkan untuk turut membantu mempersiapkan pelaksanaan pesta tersebut.
Sekelompok orang yang ditugaskan untuk mencari bamboo dihutan, menemukan seorang lelaki yang gagah perkasa di dalam rumpun bamboo yang akan ditebang, ada juga yang mengisahkan bahwa manusia  tersebut ditemukan dalam ruas bamboo.
Karena penemuan tersebut dianggap aneh, lelaki itu kemudian  dibawah menghadap pada mieno Wamelai . Dihadapan mieno Wamelai  dan pemimpin wilayah lainnya lelaki itu mengaku bernama  LA ELI  alias BAILDHUL  JAMAANI  Putra Raja Luwu di Sulawesi selatan. Dituturkan dalam tradisi lisan, kedatangan LA ELI  alias BAILDHUL  JAMAANI  di Muna untuk menunggu  istrinya yang saat ini sedang hamil dan akan datang menemui dirinya. Tempat pertemuan yang mereka sepakati untuk pertemuan itu adalah Pulau Muna ( Wuna).  
Selang beberapa hari setelah penemuan manusia dalam rumpun bamboo tersebut, tersiar  kabar bahwa di Lohia pesisir Timur Pulau Muna, tepatnya di Laguna Napabale ditemukan seorang wanita cantik. Wanita tersebut mengaku bernama WA TANDI ABE .  berasal dari kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah, dia datang di Muna dengan menumpang sebuah talang dan terdampar ditempat itu. Tujuan kedatangannya adalah  untuk bertemu dengan suaminya yang telah menungguhnya disuatu tempat dimana talang yang ditumpanginya terdampar.
Kabar tentang terdamparnya seorang wanita di Lohia tersebut  tersebar luas begitu cepat dikalaangan masyarakaat. Pada suatu hari kabar itu  sampai juga ditelinga MIENO WAMELAI di Tongkuno, sehingga beliau memerintahkan agar wanita tersebut di dibawa menghadap dirinya guna dipertemukan dengan LA ELI alias BAIDHULJAMANI  untuk di konfrontir.
Ternyata  setalah dipertemukan keduanya mengaku sebagai suami istri dan mereka yang saling mencari  . Dalam pertemuan tersebut Wa Tandi Abe juga mengaku dalam keadaan hamil, dan janin dalam rahimnya tersebut adalah darah daging dari LA ELI alias BAIDHUL JAMANI suaminya yang ada dihadapannya saat ini.
Karena peristiwa itu dianggap luar biasa dan tidak lazim, maka rapat dewan adat menyepakati untuk ‘memingit’  keduanya dalam sebuah kelambu selama tujuh hari tujuh malam. Tujuan pemingitan adalah untuk  mencegah hal-hal negative yang timbul akibat penemuan dua orang yang aneh tersebut dan mengaku sebagai Suami istri. 
Setelah tujuh hari dalam  ‘pingitan’, ternyat tidak ada  kejadian  yang luar biasa sehingga  keduanya di keluarkan dari pingitan kemudian di nikahkaan kembali menurut adat yang berlaku dikalangan masyarakat Muna.
Peristiwa pemingitan tersebut akhirnya menjadi tradisi dan menjadi syarat yang harus dilalui seseorang yang akan menjadi Raja Muna.  Peristiwa ini juga menjadi tradisi  yang harus dilalui seorang wanita  yang telah memasuki usia baliqh sebagai tanda kalau wanita tersebut sudah siap untuk dinikahkan. Tradisi ini diberi nama ‘ Kaghombo’ dan masih terpelihara dengan baik sampai saat ini.
Perkawinan antara LA ELI alias BAIDHUL JAMANI dengan WA TANDIABE  melahirkan tiga anak yaitu KAGHUA BANGKANO FOTU. RUNTU WULAE dan KILAMBIBITO. KAGHUA BHANGKANO FOTU  kemudian menjadi Raja Muna II dengan gelar SUGI PATOLA. Sugi berarti ’Yang Dipertuan’.   RUNTU WULAE kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di sana  sedangkan  KILAMBIBITO  kawin dengan LA SINGKABU (kamokulano Tongkuno) Putera dari MINO WAMELAI ( La Kimi. Sejarah Muna, Jaya Press ).       
LAKILAPONTO  Raja Muna VII dan Raja Buton VI/ Sultan Buton I  manusia yang fenomenal karena pernah memimpin lima kerajaan dalam waktu yang bersamaan  berasal dari garis keturunan sugi tersebut. 
Dalam sebuah rapat dewan adat dan semua pemimpin wilayah, disepakati bahwa La Eli atau Badhuljamani adalah manusia sakti dan pantas untuk dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi di Muna. Setelah dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi, La Eli/ Baidhuljamani mendeklarasikan Muna sebagai sebuah Kerajaan dan dirinya adalah Raja Pertama dengan Gelar Bheteno Ne Tombula ( yang Muncul di Bambu ) sedangkan istrinya ( permaisuri ) bergelar Sangke palangga ( yang menumpang pada talam). Sejak saat itulah Muna menjadi sebuah kerajaan.

B.  Menata Sistem  Pemerintahan
Tugas pertama Bheteno ne Tombula Setelah di nobatkan menjadi Raja Muna I adalah  melakukan penataan struktur pemerintahan dan struktur masyarakat di Kerajaan Muna. Sistem  pemerintahan yang dibangun  pada awal masa pemerilnahan Bheteno Netombula tersebut merupakan penyempurnaan dari sistem pemerintahan terdahulu ( yang masih bersifat kelompok-kelompok komunitas  dan berdiri sendiri-sendiri. Lembaga-lembaga pemerintahan yang merupakan prasyarat sebuah negara pun dibentuk dan  kelompok – kolompok komunitas yang tadinya berdiri sendiri diikat dalam sebuah lembaga besar yang bernama kerajaan Muna.  
Strukur pemerintahan yang dibentuk oleh Bheteno Ne Tombula sebagai penanda berdirinya sebuah kerajan adalah:
:Þ Raja, sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dengan gelar Kino Wuna. Raja memiliki kewenangan dan kekuasaan yang sangat luas dan besar yang melingkupi seluruh wilayah kerajaan. Titah raja merupakan hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat.
Þ Kepala Pemerintahan Wilayah   dengan gelar Mieno (pemimpin )  dan Komokula ( Yang dituakan ) Kepala pemerintaha wilayah berkuasa dan memiliki kewenangan dalam wilayah kekuasaannya dan tunduk pada Raja sebagai pemimpin tertinggi. Wilayah administrsi pemerintahan wilayah berdasarkan pembagan wilayah terdahulu sebelum terbentuknya kerajaan Muna. Pemerintahan wilayah tersebut berjumlah 8 wilayah masing-masing 4 wilayah dipimpi oleh “ Mieno “  dan 4 wilayah dipimpin oleh “ Kamokula “. Kedelapan wilayah tersebut adalah :
Pemerintahan wilayah tersebut kemudian dikenal dengan “ Wawono Liwu “ ( Negeri terdahulu ) adalah :
Empat yang dimpin Mieno
1. Mieno Kaura
2. Mieno Kansitala
3. Mieno Lembo
4. Mieno Ndoke. Dan
Empat yang dipimpin Kamokula :
1. Kamokulano Tongkuno
2. Kamokulano Barangaka
3. Kamokulano Lindo
4. Kamokulano Wapepi
Kedelapan kepala pemerinahan admiistrasi pemerintahan wilayah tersebut an keturunanannya kemudian oleh Sugi Manuru Raja Muna VI ketika melakukan penetapan strakta sosial dalam masyarakat Muna dikenal sebagai “ Wawono Liwu “
Þ Papara (Rakyat)   atau kelompok yang diatur dengan gelar Ana ( yang dianggap anak ).
C. Pembagian Golongan
Bheteno Ne Tombula  juga melakukan pembagian strata/ penampisan golongan membagi masyaraakat  Muna menjadi tiga Golongan yaitu :
Þ Golongan Beteno Ne Tombula, Golongan ini  yang berhak menjadi raja.
Þ Golongan Mieno Wamelai, Golongan ini  berhak untuk menjadi kepalah pemerintahan wilayah.
Þ Golongan Rakyat adalah  orang yang diatur.
2. Raja Sugi Manuru ( 1527-1538 .
SUGI MANURU adalah Raja Muna VI terkenal bijaksana dan memiliki wawasan luas dan sangat ahli dalam ilmu ketata negaraan.  Dikalangan masyarakat Muna   SUGI MANURU  diberi gelar sebagai ‘ omputo mepasokino Adhati’  artinya Raja yang menetapkan Hukum , adat, nilai-nilai dan falsafa dasar berbangsa dan bernegara. Gelar tersebut diberikan sebab pada masa pemerintahan SUGI MANURU lah  dirumuskan dan ditetapkan tatanan,  nilai-nilai dasr dan sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di kerajaan Muna.
Tatanan kehidupan bermasyarakat yang dirumuskan dan ditetapkan pada masa pemerintahan Sugi Manuru. Nilai-nilai dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut dikaitkan dengan   relevansi wilayah dalam hubungannya dengan manusia, alam dan Tuhan.
Penetapan hubungan wilayah dengan manusia tersebut dipengaruhi oleh ajaran dan nilai-nilai islam. Itu artinya walaupun Sugi manuru belum memeluk islam, namun nilai-nilai islam telah berpengaruh di kalangan istana kerajaan Muna.
Masuknya pegaruh islam di Kerajaan Muna dalam sistem ketatanegaraan dikrajaan Muna pada masa pemerintahan Sugi manuru setelah masuknya penyebar islam I di Muna yaitu Syekh Abdul Wahid. Menurut beberapa catatan, Syekh Abdul Wahid adalah seorang misionaris islam yang berasal dari Arab. Namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau adalah pedagang dari Gujarad.
Islam mulai diajarkan  secara luas oleh Syekh Abdul Wahid di Kerajaan Muna pada masa-masa akhir pemerintahan Sugi manuru. Salah satu murid pertama Syekh Abdul Wahid adalah La Kilaponto, Putera Raja Sugi Manuru yang kemudian menjadi Raja Muna VII dan akhirnya menjadi Raja Buton VI.
Setelah Menjadi Raja Buton, La Kilaponto kemudian memboyong gurunya tersebut di kerajaan Buton. Hal inilah yang menyebabkan proses islamisasi di kerajaan muna menjadi terhenti
.Hal yang berbeda terjadi di Kerajaan Buton. Seiring dengan peningkatan intensitas pengajaran islam di kalangan masyarakat buton, maka proses islamisasi di Kerajaan tersebut  berjalan sangat pesat. Bahkan dalam waktu tiga tahun agama Islam resmi menjadi agama kerajaan.
Bukti diterimanya agama islam sebagai agama kerajaan adalah berubahnya bentuk Kerajaan menjadi kesultanan dan Sultan pertamanya adalah La Kilaponto. Setelah resmi menjadi Sultan, Lakilaponto Kemudian Bergelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.
Sebagai mana halnya dengan pemerintahan tradisonal lainnya, di kerajaan Muna juga menganggap  seorang raja sebagai poros kekuaasaan dan sumber keteladanan. Jadi apapun yang dilakukan, diyakini atapun yang dititahkan  raja  maka semua warga kerajaan  wajib mengikuti tanpa terlebih dahulu menannyakan apalagi menilai baik-buruknya. Jadi karena Islamisasi fase pertama ini belum mampu mengislamkan raja serta masih kuatnya keyakinan Orang Muna dengan kepercayan leluhurnya yaitu animisme dan dinamisme maka misi Misionaris Islam pertam yakni Syeh Abdul Wahid di Muna dapat dikatakan mengalami kegagalan, walau tidak sepenuhnya sebab Raja Munasaat itu Sugi Manuru telah banyak memiliki pehaman terhadap nilai-nilai islam.
Sebagai mana yang dijelaskan terdahulu, Walaupun pada masa Pemerintaha SUGI MANURU Islam baru diperkenalkan oleh Syekh Abdul Wahid  di Kerajaan Muna serta  SUGI MANURU sendiri belum memeluk islam, namun sepertinya SUGI MANURU telah memiliki pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai Islam.
Pemahaman Sugi manuru terhadap nilai-nilai islam  dapat dilihat saat membagi  Kerajaan dalam empat wilayah besar yang disebut dengan Ghoera yaitu Ghoerano Tongkuno, Ghoerano Lawa, Ghoerano Katobu. Dan Ghoerano Kabawo
Pembagian wilayah Kerajaan Muna menjadi empat Ghoera tersebut oleh Sugi manuru di ibaratkan sebagai ;
1. Ghoerano Tongkuno di ibaratkan asal api hurufnya alif.
2. Ghoerano Lawa di ibaratkan asal angin hurufnya ha.
3. Ghoerano Kabawo di ibaratakan asal air huruf nya mim.
4. Ghoerano Katobu di ibaratkan asal tanah huruf nya dal.
Pengibaratan tersebut bertitik tolak pada  hakikat penciptaan manusia yang memiliki  sifat– sifat  api, angin,air dan tanah.Keempat sifat tersebut kemudian diuraikan sebagai berikut ; 
1. Sifat api; adalah menggambarkan  manusia yang memiliki  emosi. Sebagaimana Api, emosi ini kalau dikelola dengan baik akan memberi manfaat bagi banyak orang, tapi kalau tidak terkontrol maka akan menyebabkan kehancuran yang besar.
2. Sifat angin adalah menggambarkan manusia yang memiliki  ambisi. Ambisi yang dimiliki setiap manusia itu bagaikan senjata. Kalau ambisi berada pada orang yang baik maka ambisi itu akan  diarahkan pada hal-hal yang positif dan menjadi motifasi untuk mencapai kesuksesan dengan cara-cara yang benar.  Tapi kalau berada pada orang yang tidak baik maka akan diarahkan pada ha-hal yang negative bahkan kadang  menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang di cita-citakaan.
3. Sifat air menggambarkan  sifat manusia yang tenang selalu memberikan kesegaran dan kesejukan serta  menghilangkan dahaga. Namun demikian kalau pengelolaan dan penggunaanya dilakukan dengan cara yang tidak baik dan tidak benar, maka akan menjadi petaka. Air juga memiliki sifat selalu mengalir ditempat yang lebih rendah, maksudnya manusia harus memiliki sifat rendah hati, tidak sombong walau memiliki kekuatan yang besar.
Hal yang paling pokok adalah sifat air yang selalu mengikuti bentuk wadahnya, ini artinya manusia harus dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi dimana dia berada.
4. Sifat Tanah diibaratkan sebagai sifat manusia yang sabar dan tidak menuntut imbalan atas segalah sesuatu yang dilakukan untuk kepentingan orang lain. Hal ini dapat dilihat dari sifat tanah yang selalu sabar walalupun telah menumbuhkan tanaman sebagai sumber kehidupan manusia, walaupun telah menyediakan tempat untuk berpijak manusia tapi dia tidak pernah menuntut imbalan. Bahkan ketika diinjak dan diberaki tanah tidak pernah marah.
Selain itu empat huruf yang digunakan sebagai pengandaian empat wilayah dalam Kerajaan Muna tersebut kalau dirangkai suatu kalimat ” Ahmad” Ahmad ini dalam sejarah islam dan dalam Al-Qur’an disebut sebagai nama lain dari Muhammad SWA, nabi dan rasul junjungan umat islam.
Begitu bijaksananya , sehingga dalam melakukan pembagian wilayah pun SUGI MANURU melakukan pengandaian dengan hakikat penciptaan manusia sebagaimana yang dikandung oleh nilai-nilai islam.
 Disebutkan pula bahwa SUGI MANURU  yang menetapkan pembagian golongan di Kerajaan Muna. Adapun golongan itu adalah Kaoumu, Walaka, Olindo Fitu Bangkaono,dan Wawono Liwu. Yang secara hakikat dapat pula dikatakan bahwa susunan golongan-golongan itu di ibaratkan sebagaai struktur raga manusia yaitu :
Þ O kaomu,  di ibaratkan kepala manusia huruf nya mim awal.
Þ  O walaka di ibaratkan badan manusia huruf nya Ha.
Þ O lindo Fitu bengkauno di ibaratkan perut hurufnya mim akhir.
Þ  Owawono Liwu di ibaratkan kaki hurupnya Dal.
Inilah yang dikatakan pengendali dan yang dikendali. Kaomu dan Walaka adalah mitra kerja yang mengendali, Olindo Fitu Bangkauno serta Wawono Liwu adalah sumber daya manusia dan sumber daya alam, bakalan yang akan di atur.
Nilai-nilai yang diajarkan SUGI MANURU Inilah yang dikatakan sebagai rahasia wawasan negeri dalam pengertian  SOWITE ( untuk tanah air ). SOWITE ini kemudian diuraikan  agar mudah dalam implementasinya sebagai landasan idiologi  yang dikenal dengan falsafah hidup masyarakat Muna, yaitu “ Koemo Bhada Sumanomo Liwu, Koemo Liwu Sumanomo Sara, Koemo Sara Semanomo Oadhati, Koemo Oadhati Sumanomo Agama”, artinya ; Rela mengorbankan Jiwa dan raga demi bangsa dan negara, Tegakkan Hukum walaupun bumi runtuh, kalaupun hukum tidak berjalan, adat istiadat tetap harus dipertahankan, Kalaupun adat istidat sudah tidak memberi arah,  nilai-nilai,  agama yang akan dijadikan pegangan.
Penetapan empat landasan idiologi sebagai falsafah hidup Masyarakat Muna tersebut sangat jelas dipengaruhi oleh ajaran Islam. Hal ini ditandai dengan penghargaan agama sebagai ajaran yang harus dipegang dan menjadi petunjuk apabila ajaran-ajaran lainnya tidak berjalan dengan baik.
J. Couvreur (1935;5) mengatakan bahwa Sugimanuru mempunyai empat belas orang putra terdiri atas sebelas orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Keempat belas  orang dimaksud adalah (1) Kakodo, (2) Manguntara, (3) La Kakolo, (4) La Pana, (5) Tendridatu, (6) Kalipatolo, (7) Wa Sidakari, (8) La Kilaponto, (9) La Posasu, (10) Rampeisomba, (11) Kiraimaguna, (12) Patolakamba, (13) Wa Golu, (14) Wa Ode ogo.
Oleh karena itu dalam Penentuan tingkatan golongan masyarakat pada masa pemerintahan SUGI MANURU di klasifikasikan berdasarkan keturunannya. Pengklasifikasian berdasarkan keturunan  ini dimaksudkan agar kelak tidak terjadi konflik perebutan kekuasaan diantara keturunannnya.  Struktur tingkatan golongan masyarakat  itu adalah :
1. Golongan Kaomu.
Golongan ini bersumber dari anak laki-laki Sugi Manuru yang memiliki kemampuan dan keahlian dibidang pemerintahan. Kaomu adalah goloangan teratas yang berhak menduduki jabatan Raja Muna dan Jabatan-Jabatan eksekutif lainnya yang sesui dengan hukum adat ( Kuasa eksekutif ).
2. Golongan Walaka.
Golongan ini bersumber dari anak Perempuan Sugi Manuru yaitu Wa ode pago yang kawin dengan La Pokainse anak Mieno Wamelai. Walaka adalah golongan yang berhak dan memiliki kuasa dalam mengangkat Raja Muna, memegang kekuasaan menetapkan  hukum hukum adaat dan mengawasi pelaksanaannya ( kuasa legislatif dan Yudikatif ).
3. Goloangan Wawono Liwu.
Goloangan ini terbagi atas tiga tingkatan yaitu :
a. Golongan Wawono Liwu Ghoera atau Fitu Bengkauno, Golongan  ini bermula dari 7 orang anak laki-laki Sugi Manuru dari istri selir. Golongan ini berhak untuk menjadi kepalah pemerintahan Ghoera (kuasa Pemerintah daerah) yaitu;
1.   Ghoerano Tongkuno
2.   Ghoerano Kabawo
3.   Ghoerano Lawa
4.   Ghoerano Katobu
b.Golongan Wawono Ghaoera Papara
Golongan ini berarasal dariturunan dari ke 4 Kamokulano dahulu yaitu; 
1. Kamokulano Tongkuno.
2. Kamokulano Barangka,
3. Kamokulano Lindo,
4. Kamokulano Wapepi.
c. Golongan Poino Kontu Lakono Sau.
Golongan ini adalah golongan Wawono Liwu yang terendah, ibarat sebuah batu dan sepotong kayu didalam masyarakat Kerajaan Muna. Mereka ini turunan dari ke empat Mieno yaitu;
1. Mieno Kaura,
2. Mieno Kasintala,
3. Meino Lembo,dan
4.  Meino Ndoke.
Sugi Manuru juga menetapkan mekanisme pengangkatan pemimpin, mulai dari tingkat Raja sampai pada tingkat pemerintahan terendah yaitu Mieno. Menurut ajaran Sugi manuru Penentuan siapa yang akan  menjadi pemimpin dimasing-masing tingkatan dan golongan ditentukan oleh Sara berdasarkan kapasitas masing-massing indifidu. Pengangkatannya berdasarkan hasil rapat dewan adat yang anggotanya berasal dari golongan Walaka.
Selain Menyusun tingkatan golongan masyarakat, SUGI MANURU juga menetapkan  struktur pemerintahan kerajaan. Struktur pemerintahan kerajaan pada jaman SUGI MANURU adalah ;
        1.  Raja (Eksekutif), dari Golongan Kaomu
        2.  Bonto ( Legislatif ), dari golongan walaka
3. Mintarano Bhitara ( Yudikatif ), dari golongan Walaka    ( No 1- 3 adalah pemerintah  pusat )
4. Mowano Ghoera  ———— pemerintahan setingkat dibawah pemerintah pusat
5. Kamokula & Mieno ————- setingkat dibawah Ghoera
Semua perangkat kerajaan termasuk raja disebut sebagai Sarano Wuna. Mereka itu harus dapat merepresentasikan muna secara keseluruhan.Dewan Sara dipimpin oleh Bonto dari golongan Kaomu. Sidang – sidang dewan Sara bertugas mengangkat dan memberhentikan Raja   serta menetapkan arah haluan kebijakan Kerajaan.
3. Raja Muna VII – La Kilaponto gelar mepokonduaghono Ghoera ( 1538-1541). 
La kilaponto Raja Muna VII ( 1538- 1541 M ) adalah putera Raja Muna VI Sugi Manuru, dari isterinya Wa Tubapala anak dari Wa Randea puteri Mokole Konawe ( Mahmud Hamundu- Makala pada Simosium Pernaskahan Nusantara X, 2003 ). La Kilaponto memiliki 13 orang saudara ( J.Courveur 1935;5), namun dari satu ibu  dia hanya memiliki dua saudara yaitu La Posasu/ Kobangkuduno dan Wa Karamaguna/ Wa Ode Pogo ( silsilah Raja-Raja Muna & Buton, Dok. KTVL ).
La Kilaponto memilki nama kecil La Kila, kemudian oleh masyarakat Muna di tambahkan dengan Ponto ( Sejenis bambu yang keras ) sehingga menjadi dikenal namanya La Kilaponto.  Pemberian nama itu karena sesuai dengan sikap dan pembawaanya sebagi pemuda yang cerdas, tampan, kuat dan  keras sikapnya ( Said D, 2007 ; 143 ). La Ode Rifai Pedansa, seorang tokoh masyarakat Muna berpendapat lain mengenai penambahan ‘ponto’pada nama La Kilaponto. Menurutnya penambahan kata ‘ponto’ karena sebeum menjadi Raja Muna, La Kilaponto ditugaskan memimpin wilayah yang bernama ‘Ponto” yaitu wilayah yang saat ini dikenal dengan Gu, La kudo dan Mawasangka sebagai Raja Muda (Wawancara; Mei 2011).
Ada beberapa versi yang mengisahkan tentang tahun La kilaponto menjadi Raja di Kerajaan Muna. La Kimi Batoa dalam Bukunya Sejarah Kerajaan Daerah Muna, mengatakan bahwa La Kilaponto menjadi Raja Muna selama 3 tahun yaitu antara tahun 1538-1541 (La Kimi Batoa, 1995). Masa ini bersamaan dengan  saat  dia menjadi raja di Kerajaan Buton sebelum kerajan itu menjadi Kesultanan ( 1541 ) dan La Kilaponto dinobatkan sebagai Sultan Pertama dengan gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.
Sedangkan Said D mengatakan bahwa La kiaponto menjadi raja di Kearajaan Muna pada tahun 1530 – 1538 ( Said D, 2007;144 ).  Perkiraan tahun berkuasanya La Kilaponto sebagai mana yang di katakan oleh Said D tersebut, boleh jadi merupakan masa ketika dia menjadi Raja Muda di wilayah ‘Ponto’ sebgai mana dikatakan La Ode rifai Pendansa. Asumsi ini diperkuat dengan hasil penelitian  H.E. Tamburaka yang dumuat dalam buku ‘ Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara’ bahwa La Kilaponto atau Haluoleo menjadi Raja Muna Sementara pada tahun 1530 – 1538.
A. Manusia Fenomenal Yang Kharismatik
La Kilaponto  adalah manusia yang fenomenal yang kharismatik, ahlian   dalam strategi perang,  piawai dalam berdiplomasi serta  pakar dalam ilmu ketata negaraan..  Hal itu dapat dilihat dimana dia pernah memimpin lima kerajaan besar dalam waktu bersamaan, sebagai mana  dijelaskan dalam dokumen koleksi Belanda “ Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah  sekalian Negeri,  karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekonggo dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ). Karena itulah LA KILAPONTO dikalangan masyarakat muna di beri gelar ‘ mepokonduaghono Ghoera’  artinya orang yang menggabungkan Negeri/Kampung
LA KILAPONTO menjadi Raja pada kerajaan – kerajaan  itu bukan karena invasi, tetapi karena kharisma  beliau atau penghargaan karena berhasil melakukan sesuatu yang besar dinegeri tersebut. Hal ini  dapat dilihat setelah  beliau  menjadi Penguasa di negeri itu  dia tidak berusaha untuk menjadikan negeri itu sebagai koloni atau bagian  dari Kerajaan Muna, tetapi membiarkan tetap  merdeka dan Berdaulat. Padahal bila mau LA KILAPONTO dapat saja menggabung kerajaan-kerajaan tersebut dibawah kerajaan Muna karena sebagai raja dia punya kekuasaan yang besar sehingga dapat saja melakukan hal itu.
Dari semua kerajaan yang pernah dipimpinnya, hanyalah  di kerjaan Buton LA KILAPONTO memerintah cukup lama yaitu 46 tahun ( 1538 – 1584 M ). Di kerajaan Muna LA KILAPONTO menjadi raja kurang lebih 3 tahun ( 1538 – 1541 M ), setelah itu dilanjutkan oleh adiknya LA POSASU sebagai Raja Muna VIII.  Sedangkan di kerajaan-kerajaan lainnya tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan berapa lama LA KILAPONTO  menjadi Raja di kerajaan tersebut serta bagaiman proses penyerahan kekuasaan pasca LA KILAPONTO.
B. Pakar Tata Negara
Sejak Kecil Raja Sugi Manuru telah melihat potensi yang dimiliki oleh  LA KILAPONTO. Olehnya  dia diberi pendidikan khusus termasuk mempelajari islam yang dibawah  oleh Syek Abdul Wahid pada awal pemerintahan Sugi Manuru (1527). Namun menurut J. Courveur La Kolaponto telah menerima islam sejak tahun 1519 M atau 940 H…
Kepakaran di bidang ketatanegaraan. Hal ini dapat dilihat ketika menjadi Raja/Sultan Buton, La Kilaponto meletakan sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di kerajaan/kesultanan tersebut. Sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang ditanamkan La Kilaponto di Kerajaan/Kesultanan Buton merupakan nilai-nilai dasar yang diajarkan oleh ayahandanya Sugi manuru Raja Muna VI.. MANURU yaitu ;
Þ Pobini-biniti kuli, ( saling tengang rasa )
Þ Poangka-angka tau, ( Saling harga-menghargai )
Þ Poma-masigho, ( Saling sayang- menyayangi )
Þ Poadha-adhati. (Saling menghormati )
LA KILAPONTO juga menyebar luaskan konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan yang dipimpinnya Yaitu :
¨ Hansuru –hansuru  badha Sumano kono hansuru  liwu       (  Biarlah badan binasa asal Negara tetap berdiri ).
¨ Hansuru-hansuru Liwu Sumano kono hansuru Ahdati          ( kalaupun Negara harus bubar adat tetap harus dipertahankan ).
¨ Hansuru-hansuru Adhati sumano Tangka Agama ( Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama harus tetap ditegakkan ).
Falsafah dasar dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja Muna VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan  pada kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO. Tentu saja falsafa dasar dan konstitusi tersebut diadaptasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyrakat setempat dalam hal ini termasuk nilai-nilai Islam sebelum dijadikan sebagai Konstitusi Kerajaan.
 Sikap toleransi terhadap masuknya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat local dan nilai- nilai agama yang positif  merupakan strategi untuk menghindari konflik dan penolakan masyarakat terhadap ajaran itu. Karena jasanya tersebut, La Kilaponto dianugrahi gelar Timba-timbanga oleh rakyat Buton
Konsitusi pada Kerajaan / kesultanan Buton yang ditanmkan oleh La Kilaponto  mulai ditulis pada masa Sultan Buton IV DAYANU IKSANUDDIN (1597- 1631 M). Sebagai penganut islam yang taat Dayanu Ikhsanuddin juga  memasukan nilai-nilai Islam dalam konstitusi tersebut. Konstitusi Kesultanan Buton yang ditulis oleh Dayanu Iksanuddin tersebut dikenal dengan Martabat Tujuh.
Karena Martabat Tujuh memuat tetntang tatan dasar kenegaraan Kesultanan Buton, oleh para pakar martabat tujuh kemudian menganggapnya sebagai Konstitusi Kesultanan Buton. Konstotusi yang bernama martabat tujuh tersebut diproklamirkan pada masa Kesultanan Buton masih di bawah pimpinan SULTAN DAYANU IKHSANUDDIN. DAYANU IKHSANUDDIN adalah  cucu  LA KILAPONTO dari putrinya PARAMASUNI  yang bersuamikan LA SIRIDATU  putera Raja Batauga. 
Menurut A.E. saidi  dalam makalahnya pada  Simposium Internasionel Pernaskahan Nusantara IX di  Baruga Keraton Buton 5 – 8 Agustus 2005,    Martabat Tujuh di proklamirkan  oleh Sapati LA SINGGA pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung Keraton. Inti dari Konstitusi Martabat Tujuh  yaitu ; 1) Pomae-maeyaka; 2) Popiara-piara’ 3) Po maa-maasiaka. 4) Poangka-angkataka. Keempat nilai dasar dari Konstitusi martabat Tujuh memiliki makna yang sama dengan apa yang   diajarkan oleh Raja Muna VI SUGI MANURU  pada tahun 1438 M. Demikian pula tatanan pemerintahan yang dianut kesultanan Buton seperti yang termuat dalam Martabat Tujuh juga merupakan sisten dan tatanan pemerintahan yang diterapkan oleh Kerajaan Muna sejak jaman SUGI MANURU Raja Muna VI ( Baca; Sugi Manuru ) .
1.   C.   Diplomat Ulung
Selain ahli di bidang Tata Negara, LAKILAPONTO juga piawai dalam bidang  diplomasi  . Kemampuan diplomasi  LA KILAPONTO dibuktikan dengan dapat mendamaikan konflik dua  kerajaan besar di jazirah Pulau Sulawesi bagian Tenggara yaitu  kerajaan Konawe dan Mekongga. Konflik kedua kerajaan tersebut telah berlangsung lama dan telah banyak menelan korban nyawa dan harta.
Oleh LA KILAPONTO konflik tersebut diselesaikan hanya dalam waktu delapan hari, sehingga di kedua kerajaan tersebut LA KILAPONTO di beri gelar “HALUOLEO”  yang artinya delapan hari. Karena sukses mendamaikan konflik tersebut, LA KILAPONTO dinikahkan dengan Putri Raja Konawe yang bernama ANAWAY  ANGGUHAIRAH serta dinobatkan menjadi Mokole Konawe.
Kemampuan diplomatik  LA KILAPONTO  juga ditunjukan saat ditugaskan oleh ayahandanya Raja Sugi Manuru untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti Todore, Ternate, Banggai dan Luwu. ( Lakimi; Sejarah Muna, Jaya Press Raha).
 Misi diplomatik yang dilakukan LA KILAPONTO itu sangat sukses, sebab beliau dapat meyakinkan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan Muna. Bahkan Kerajaan Ternate berhasi diyakinkan untuk bersekutu melawan pengaruh Kolonial Belanda. Bukti lain keberhasilan misi diplomatik La Kilaponto tersebut adalah sejak saat itu sudah tidak ada lagi gangguan keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna yang datang dari kerajaan-kerajaan tersebut.
Sebagai mana kerajaan-kerajaan kuno lainnya, LA KILAPONTO menjalankan strategi diplomasinya melalui perkawinan. Dalam beberapa sejarah ditulis selama hidupnya La Kilaponto melakukan perkawinan sebanyak 5 kali, berturut-turut putri yang dikawininya adalah :
1.   WA TAMOIDONGI ( Putri Raja Buton V  LA MULAE)
2.   WA ANAWAY  ANGGUHAIRAH ( Putri Mokole Konawe )
3.   Putri raja Jampea
4.   Putri Raja selayar OPU MANJAWARI
5.   WA SAMEKA ( Putri Sangia YI TETE )
Dari masing-masing perkawinannya tersebut, LA KILAPONTO/SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS/SULTAN MURHUM memperoleh putra dan putri yaitu :
1. Perkawinan dengan WA TAMPOIDONGI tidak memperoleh anak
2. perkawinan dengan ANAWAI  ANGGUHAIRAH memperoleh 3 orang puteri yaitu WA ODE POASIA, WA ODE LEPO-LEPO dan WA ODE KONAWE.
3. perkawinan dengan putri raja Jampae memperoleh 1 orang putera yang bernama LA TUMPAMASI (Sangia Boleko). La Tumparasi kemudin menjadi Sultan Buton II menggantikan ayahandanya dengan gelar Sultan Qaimuddin II.
4. Perkawinan dengan putri raja Selayar memperoleh 1 orang putera yang bernama LA SANGAJI (Sangia Makengkuna). La Sangaji kemudian menjadi Sultan III mengantikan kakaknya lain ibu La Tumpamasi dengan gelar Sultan Qaimuddin III
5. Perkawinannya dengan Wa Sameka memperoleh 4 orang puteri yaitu Paramasuni (istri LA SIRIDATU putra Raja Batauga), Wa sugirampu (istri LA GALUNGA cucu Raja Buton V La Mulae), WABUNGANILA (istri LA KABAURA putra raja Batauga) dan WABETA (istri LA SONGO raja Kambe-kambero). Sultan Buton IV Dayanu Iksanuddin adalah cucu La Kilaponto dari putrinya  Paramasuni buah  perkawinannya dengan La Siridatu Putra Raja Batauga.
D. AHLI STRATEGI PERANG
Kemampuan dalam strategi perang La kilaponto  dibuktikan saat menumpas pemberontak LA BOLONTIO yang berasal dari Tobelo. LABOLONTIO yang terkenal sakti dan sangat kejam dalam melakukan aksinya sehingga  Kerajaan Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Raja Buton saat itu LA MULAE dan segenap rakyatnya telah putus asa  sehingga memaksa dia membuat sayembara. Isi dari sayembara tersebut adalah “ barang siapa yang dapat menumpas pemberontakan Labolontio akan dikawinkan dengan salah satu putri Raja “  yang bernama WA TAMPOIDONGIWA TAMPOIDONGI terkenal sangat cantik dan menjadi rebutan petinggi-petinggi Kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan tetangga.
 Sayembara yang dibuat oleh Raja Buton LA MULAE tersebut  mengundang minat satria-satria  di kerajaan tetangga untuk ambil bagian. Mereka sangat tertarik untuk mempersunting putri Raja yang kecantikannya  sudah terkenal di mana-mana. Raja-raja pada kerajaan tetangga yang mengikuti sayembara tersebut adalah  Raja Selayar Ompu Manjawari dan Raja Jampea dan Raja Batauga La Maindo.
Sudah sekitar satu tahun sayembara dibuka, para peserta sayembara telah mengeluarkan segala kemampuannya,   namun tidak ada satupun dari satria-satria yang  ikut dalam kompetisi tersebut yang dapat menumpas Labolontio. Bahkan Labolontio dan pasukannya semakin merajalela dan telah menguasai beberapa wilayah Kerajaan Buton seperti Palabusa dan Barangka .
 Bukan saja itu bahkan Labolontio sudah mengancam kerajaan-kerajaan tetangga Buton  termasuk Kerajaan Muina. Terdengar kabar bahwa La Bolontio dalam waktu dekat akan menyerang mawasangka, salah satu wilayah yang dikenal dengaan ‘ Ponto ’ . ‘Ponto’ adalah wilayah  kekuasaan dan tanggung jawab La Kilaponto sebagai Raja Muda, sebelum menjadi Raja Muna.
Kabar semakin mengganasnya Labolontio dan pasukannya ikut meresahkan LA KILAPONTO yang baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII. Olehnya itu LA KILAPONTO meminta saran dari Ayahandanya SUGI MANURU dalam menyikapi ancaman tersebut.
 Setelah mendengar masukan-masukan dari LA KILAPONTO dan beberapa petinggi kerajaan lainnya, SUGI MANURU Raja Muna VI yang juga ayaahannda dari LA KILAPONTO menyarankan pada   LA KILAPONTO untuk segera pergi ke Buton, menumpas LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Jadi keikutsertaan LAKILAPONTO dalam menumpas LABOLONTIO bukan untuk mengikuti sayembara yang dibuka oleh Raja LA MULAE tetapi melakukan misi Kerajaan Muna untuk menyelamatkan Negeri Muna dari ancaman LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton.
Sesampainya di Buton dengan tanpa terlebih dahulu menghadap pada Raja  LA MULAE, LA KILAPONTO  langsung menyusuri pantai, mencari LABOLONTIO,   orang yang telah membuat Raja Buton dan segenap rakyatnya kalang kabut dan tidak berdaya.
Dalam pertarungan  di pasisir  Kerajaan Buton,  LABOLONTIO di buat  bertekuk lutut bahkan mati ditangan LA KILAPONTO.
Sebagai bukti telah membunuh LABOLONTIO, LA KILAPONTO membawa kepala LA BOLONTIO di hadapan Raja Buton  LAMULAE.  Maksud LAKILAPONTO menghadap Raja LA MULAE adalah untuk menyampaikan  bahwa Kerajaan Buton saat ini telah aman sebab pengacau keamanan telah berhasil di bunuhnya sekaligus  berpamitan untuk pulang ke Muna meneruskan tugasnya sebagai Raja Muna.  LA KILAPONTO tidak menuntut apapun dengan apa yang telah di lakukannya. LA KILAPONTO berpikir misinya menumpas LABOLONTIO selain membantu kerajaan Buton yang berada dalam ambang kehancuran, juga menjaga keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna dari gangguan pihak luar.
Lain dengan  Raja Buton LA MULAE dan segenap rakyatnya,  LA KILAPONTO  oleh mereka dianggap telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Buton dari gangguan keamanan. Untuk itu  LABOLONTIO  berhak mendapatkan hadia seperti  isi dari sayembara  yang telah dibuat Raja LA MULAE. Sebagai Raja, LAMULAE  harus tetap konsisten menjalankan  apa yang telah diucapkan.  Untuk itu pernikahan antara LA KILAPONTO dan Putri Raja WA TAMPOIDONGI tetap harus dilaksanakan.
 Dengan rasa berat dan penghargaan terhadap Raja Buton LAMULAE, akhirnya LAKILAPONTO menerimah untuk dinikahkan dengan putri raja seperti isi sayembara yang di buat Raja LAMULAE. Namun demikian LA KILAPONTO tetap mengajukan syaraat bahwa setelah pernikahan dilaksanakan dia tetap kembali ke Kerajaan Muna untuk menjalankan tugasnya sebagai Raja Muna. Persyaratan itu diterimah dan pernikahan keduanya pun dilaksanakan. Setelah prosesi pernikahan dilaksanakan LA KILAPONTO langsung berpamitan untuk Kembali Ke Kerajaan Muna sedangkan isrinya tetap tinggal di Kerajaan Buton bersama kedua orang tuanya.
Belum cukup satu tahun menjalankan pemerintahanya sebagai Raja Muna setelah menumpas LABOLONTIO, Raja Buton V LA MULAE meninggal dunia. Karena raja LA MULAE tidak memiliki anak Laki-laki, maka petinggi-petinggi Kerajaan Buton bersepakat untuk mengangkat LA KILAPONTO sebagai Raja Buton VI menggantikan LA MULAE.
 Kesepakatan para petinggi Kerajaan Buton tersebut kemudian  di  sampaikan pada LA KILAPONTO dengan cara mengutus beberapa utusan untuk datang ke kerajaan Muna. Awalnya LA KILAPONTO merasa sangat berat  menerima kesepakatan yang telah dibuat oleh para petinggi Kerajaan Buton untuk menjadi Raja di kerajaan Buton, karena saat itu LA KILAPONTO sedang menjadi raja di kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe serta baru saja memulai melakukan penataan system pemerintahan di kedua Kerajaan tersebut .
Namun atas saran Ayahandanya dan melalui pertimbangan yang matang, akhinya LA KILAPONTO mau menerima untuk menjadi Raja di Kerajaan Buton. Dengan diterimahnya menjadi Raja Buton,  maka secara otomatis pada saat itu LA KILAPONTO menjadi Raja di tiga kerajaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Buton, Kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe, karena itulah oleh masyarakat Muna LA KILAPONTO mendapat gelar Omputo Mepokonduaghoono Ghoera ’ artinya orang yang  mengawinkan/menggabungkan Negeri/Kampung. 
Pada sebuah hikayat disebutkan, saat   LA KILAPONTO menjadi Raja di Kerajaan Muna, Buton dan Konawe,  kerajaan-kerajaan lainya  yaitu   Kerajaan kaledupa, Kerajaan Kabaena dan Mekongga ikut menggabungkan diri dibawa kekuasaan LA KOLAPONTO, sebagai mana kutipan  berikut ‘Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah  sekalian Negeri,  karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekongga  dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ).
Tiga Tahun LAKILAPOTO menjadi raja Buton dan empat  kerajaan lainya di Sulawesi Tenggara, ajaran islam berkembang pesat di Kerajaan Buton. Pesatnya perkembangan agama islam  di kerajaan tersebut karena pada saat dilantik menjadi raja Buton, guru agama beliau seorang   Ulama dari Arab yang bernama SYEKH ABDUL WAHID turut di boyong ke Kerajaan Buton untuk menyebarkan agama islam di sana.

Setelah nilai-nilai islam telah tertanam dalam perilaku masyarakat botun,  maka pada tahun 1541 La Kilaponto memproklamirkan Kerajaan menjadi Kesultanan dan mengangkat dirinya sebagai Sultan I dengan gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.

Menyusul berubahnya Buton menjadi Kesultanan  (948 H/ 1541 M ), LAKILAPONTO kemudian menyerahkan jabatannya  pada kerajaan-kerajaan lainnya. Misalnya di Kerajaan Muna. Pada  Kerajaan Muna, LAKILAAPONTO menyerahkan jabatannya  kepada adiknya LA POSASU untuk menjadi Raja Muna VIII. sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada data yang pasti bagai mana proses penyerahannya.
 Namun  yang pasti  pada saat itu  juga Kerajaan Konawe dan kerajaan-kerajaan lainya  yang pernah di pimpin LAKILAPONTO telah memiliki raja sendiri-sendiri. Walaupun LAKILAPONTO pernah memimpin kerajaan-kerajaan tersebut, namun setelah  dia melepaskan jabatannya, LAKILAPONTO tetap mengakui kerajaan-kerajaan tersebut  sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Setelah LAKILAPONTO Menjadi SULTAN di Kesultanan Buton dan adiknya LA POSASU menjadi Raja Muna VIII,  kedua bela pihak mengadakan perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut adalah wilayah kerajaan Muna bagian Selatan yang terdiri dari  Mawasangka dan GU diserahkan ke Buton. Sebagai gantinya, Wialayah pesisir  Barat Buton bagian Utara  yaitu Wakorumba dan Kulisusu diserahkan pada Muna. Termasuk dalam perjanjian itu  kesepakatan untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar ( La kimi- Sejarah Muna, Jaya pres Raha).
Hubungan persaudaraan di antara kerajaan- kerjajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO khususnya Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun Setelah Kesultanan Buton mulai bekerja sama  dengan Kolonial Belanda pada akhir masa pemerintahan Sultan Buton Dayanu Ikhsanuddin dan dalam kerangka politik pecah belah,  pemerintah kolonial Belanda,
Perseteruan antara maka hubungan antara Kerajaan Muna dan Buton mengalami keratakan. bersama Sultan Buton LAODE MUH. ASIKIN, secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918  (Jules Couvreur , Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna- Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2001).
 Perjanjian sepihak tersebut tidak pernah diakui oleh Raja Muna. perlawanan terhadap perjanjian Korte Verklaring  ditunjukan oleh raja Muna  LA ODE DIKA gelar OMPUTO KOMASIGINO yang tidak mematuhi perjanjian tersebut termasuk  membayar pajak kepada Sultan Buton seperti yang diatur dalam perjanjian Korte Verklaring  . Raja Muna LA ODE DIKA juga tidak mau tunduk saat bertemu dengan Sultan Buton. Bahkan LA ODE DIKA mengangkat telunjuknya seakan mengancam saat bertemu dengan Sultan Buton di  Istana Sultan Buton. Sikap Raja LA ODE DIKA tersebut oleh Sultan Buton di adukan kepada penguasa colonial Belanda di Makassar. Akibatnya LA ODE DIKA di pecat kemudian penguasa colonial Belanda di makkasar menyatakan kerajaan Muna sepenuhhya dalam penawasan Belanda sampai pemerintah Kolonial Belanda menunjuk LA ODE PANDU sebagai Raja Muna pada tahun 1947.
LA KILAPONTO / SULTAN MURHUM / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS Putra Raja Muna SUGIMANURU Yang Agung mengakhiri masa pemerintahannya di  Kesultanan Buton karena wafat tahun 1584 setelah memerintah lebih kurang 46 tahun ( sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan sebagai Sultan I selama 43 tahun ),  dan menjadi Raja Muna selama tiga tahun ( (1538- 1541 M ),. Setelah LA KILAPONTO / SULTAN MURHUMIN / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS meninggal dunia, Sara Kesultanan Buton memilih LA TUMPAMASI (Sangi Boleka) Putra La Kilaponto dari perkawinannya dengan Putri Raja JAMPEA ( Suku Bajo ? ) sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga.
4. Raja Muna X -  Titakono ( 1600- 1625 )
 La Titakono adalah Raja Muna X sekaligus sebagai raja terakhir yang belum memeluk agama islam. Kendati demikian pada masa pemerintahan La Titakono penyebar Islam kedua yakni Firus Muammad masuk dimuna. Pada fase kedua masuknya penyebar agama islam di muna juga belum berjalan secara efisien. Agama islam pada masa itu berkembang sangat lamban. Hal ini berkaitan dengan Raja Muna belum memeluk agama islam. Sebagai seorang pemimpin yang menjadi panutan seluruh warga,  maka masuknya seorang raja pada suatu aliran atau agama tertentu sangat berperan terhadap penyebarluasan kepercarayaan atau agama tersebut.Hal ini juga terjadi di Kerajaan Muna.
Walaupun Raja Muna La Titakono belum memeluk islam. namun beliau sangaat toleran terhadap pemeluk islam yang saat itu masih sangat minoritas serta menghargai nilai-nilai islam.
Sebagai bukti penghormatan beliau pada islams yaitu pada  masa pemerintahannya masjid pertama dibangun di Muna ( 1614 ). Pembangunan masjid itu diikuti oleh pembagunan pusat pendidikan islam. Seiring dengan  itu ajaran islam sedikit demi sedikit mulai dipelajari masyarakat Muna. Seluruh proses pembangunan masjid dan islamic center tersebut difasilitasi oleh Raja La Titakono.
Bukti lain sikap toleransi raja La Titakono terhadap islam adalahdiberikan kebebasan pada  salah seorang putranya yaitu La Ode Sa’aduddin menjadi murid Firus Muhammad Penyebar islam kedua di Muna. Bahkan La Ode Sa’aduddin menjadi Raja Mua  pertama yang memeluk agama Islam.
Agama Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat setelah Putra La Titakono yakni La Ode Sa’aduddin di nobatkan menjadi Raja Muna XI setelah La Titakono Mangkat.
Selain membangun masjid, Raja Titakono membentuk lembaga baru dalam sturktur pemerintahan kerajaan muna yaitu Bonto Bhalano.
 Bonto Bhalano adalah sebuah lembaga sejenis Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas memilih dan mengangkat Raja Muna Pada masa Pemerintahan Raja Muna IX TITAKONO struktur golongan masyarakat Muna juga ditambah dengan golongan wesimbali.
Golongan Wesimbali adalah goloangan yang  timbul karena perkawinan antara dua golongan yang sebenar nya dilarang dalam hukum adat.
 Pada zaman dahulu wanita Kaomu dan Walaka pantang menikah dengan goloangan Lakono sau poino kontu. Golongan Wesimbali ini  terbagi lagi menjadi dua yaitu ;
Þ Golongan Kaomu Wesimbali, yaitu turunan dari wanita kaumu dengan laki-laki wawono liwu. Derajat dari Kaomu Wasembali dijadikan setara dengan Golongan Walaka, tetapi tidak boleh menduduki jabatan seperti golongan Walaka.
Þ Golongan Walaka Wesimbali, yaitu keturunan dari wanita golongan walaka dengan laki-laki dari golongan Wawono Liwu. Walaka Wasembali di sejajarkan dengan derajatnya Anangkolaki (fitu bengkauno) tetapi jug tidak dapat mendudukuki jabatan seperi golongan Angkolaki.
Raja Muna Titakono juga mengadakan  perubahan pada  struktur pemerintahan. Dalam Rapat Agung Kerajaan di hadiri oleh Raja, 4 Mino, 4 kamokula diangkat Pejabat Bantobalono. Banto Balano yang pertama adalah La Marati, anak dari Wa Ode Pogo hasil perkawinanya dengan La Pokainse. Sebgai Bonto Balano.
1.         1.  Raja  La Ode Sa’adudin ( 1625-1626 )
La Ode Sa’aduddin  adalah Raja Muna XI dan merupakan pertama yang memeluk islam sekaligus raja Muna pertama yang memakai penambahan La Ode pada awal namannya.
Penambahan La Ode ( bagi laki-laki ) dan Wa ode ( bagi perempuan)  pada awal nama seorang yang berdarah Kaomu (strata  sosial yang berhak menduduki jabatan Raja ) ditetapkan oleh La Titakono  Raja Muna X bersama La Marati ( cucu Sugi Manuru dari anaknya Wa Ode Pogo  buah pernikahannya dengan La Pokainse}.
Pemerintahan La Ode Saa’diddin sangat singkat yaitu hanya satu tahun. Walaupun demikian selama satu tahun masa pemerintahan, La Ode Saa’duddin berhasil melakukan hal besar taitu melakukan penataan dalam strktur pemerintahan dan menyebarluaskan ajaran islam dalam kalangan masyarakat Kerajaan Muna.
Setelah La Ode SaaduSddin naik tahta dia melakukan reformasi pemerintahan di kerajaan muna.  untuk mendukung pmerintahannya la Ode Sa’aaduddin membentuk dua jabatan baru dalam sistem pemerintahan Kerajaan Muna yaitu kapitalao dan Kapita. Kapitalao diberi tugas menjaga keamanan pantai Kerajaan muna dari serangan musuh termasuk bajak laut yang kembali marak disekitar perairan kerajaan muna. Karena Kerajaan muna dikeliligi oleh lautan dengan wilayah yang begitu luas maka diangkat dua orang Kapita Lao yaitu Kapitalao Matagholeo Timur )  dan Kapita Lao Kansoopa ( Barat ).
Untuk mengisi jabatan kapatalao dipilih dari kino. Namun demikian tidak semua Kino berhak untuk menjadi Kapitalao dan Kapita. Diantara 26 kino yang ada di kerajaan Muna hanya Kino Babato yang dapat menjadi Kapita atau Kapitalao, mereka itu adalah :
1.Babato Aluno yaitu :
·      Kino Tobea
·      Kino Labora
·      Kino Lakologau
·      Kino Mantobua
·      Kino Lagadi
·      Kino Watumela
·      Kino Lasehao
·      Kino Kasaka.
2. Kino Barata yaitu Kino-Kino yang bertugas menajaga pantai kerajaan, yang terdiri dari;
Þ Kino Wasolangka
Þ Kino Lohia
Þ Kino Lahontohe dan
Þ Kino Marobea.
Dengan demikian maka Dewan Kerajaan terdiri dari;
1.   Raja
2.   Bonto Balano
3.   Mintarano Bhitara
4.   Kapita Lau 2 orang
5.   Kapita 1 orang
6.   Koghoerano 4 orang
7.   Fatolindono 4 orang.
Walaupun Muna bukanlah kerajaan Islam, namun sejak masa pemerintahan La Ode Saadudin hukum islam berlaku dikerajaan Muna misalnya hukuman gantung bagi yang melanggar  norma adat dan hukuman cambuk bagi yang melanggar  norma susilah. Pelaksanaan hukuman islam terebut berlaku pada seluruh warga kerajaan dalam hal ini termasuk Raja. Sebagai bukti penerapan hukum islam tersebut dapat dilihat ketika mitarano bhitara ( kuasa yudikatif menjatuhkan hukuman gantung pada La Ode Umara Raja Muna Ke 20 karena dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap norma adat.
Hukuman cambuk sampai mati seperti yang diajarkan dalam hukum Islam juga pernah dijatuhkan pada La Ode Sumaili Raja Muna ke 23 Yang dianggap telah melakukan pelanggaran norma susilah ketika menentang perkawinan Wa Ode Kadingke Dengan seorang saudagar dari bugis yang bernama Daeng Marewa. Penentangan terhadap perkawinan tersebut mendapat perlawanan dari    Wa Ode Kadingke sehingga terjadi perang saudara.
Setelah Wa Ode Kadingke memenangkan pertempuran kemudian mengangkat Puteranya La Ode Saete menjadi Raja. Sedangkan La Ode Sumaili dijatuhi hukuman ambuk Sampai mati.
Pada masa pemerintahanLa Ode Saa’duddin pula Belanda mulai mencoba menacapkan kekuasaan di Kerajaan Muna. Gelagat tidak baik belanda tersebut telah dibaca oleh Raja La Ode Saa’duddin, sehingga begitu Belanda mencoba menginervesi pemerintahaan, Raja La Ode Saa’duddin tidak menerimanya dan menyatakan perang terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang telah lama menjalin kerja sama dengan Kesultanan Buton.
2.Raja  La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-1667)-
  Raja Muna XII adalah La Ode Ngkadiri. Beliau adalah anak dari La Ode Saa’duddin raja Muna XI. La Ode Ngkadiri memeritah dikerajan  selama 21 tahun, dibagi dalam dua periode dan disela dengan pemerintaha permaisurinya Wa Ode Wakelu selama tiga tahun.
 Periode pemerintahan La Ode Ngkadiri ditandai dengan inseden penangkapan dirinya oleh Kolonial Belanda  dalam sebuah buah kapal yang bernama MV. De flamig pada tahun 1652 dan diasinkan keternate selama tiga tahun. Kapal itu cukup mega sebab diatasnya dilengapi dengan taman yang cukup luas. Karena penngkapan diatas kapal tersebut sehingga setelah beliau mangkat sarano wuna menganugrahkan  gelar Sangia Kaindea pada beliau.
 Peristiwa penangkapan diatas kapal MV. De Flaming tersebut terjadi karena Pemeritah Imperialis Belanda telah kewalahan mengahadapi Raja La de Ngkadiri dan pasukan yang terus mengobarkan semangat perang terhadap Belanda. Beberapa kali Belanda mengirimkan ekspedisi militer ke Kerajaan Muna namun selalu mengalami Kegagalan padahal dalam ekspedisi itu pasukan Belanda di bantu oleh Tentara Kesultaan Buton yang menjadi sekutu abadinya.
Sikap perlawanan Raja La Ode Ngkjadiri terhadap Kolonial Belanda ditunjukan sejak awal kedatangan Belanda pertama kali yang dipimpin oleh Piether Both di Kesultanan Buton pada tahun 1631. Ketika Rombongan Pieter Both tersebut akan masuk ke Kerajaan Muna mereka mendapat penolakan dari Raja La Ode Ngkadiri.
Penolakan Raja La Ode Ngkadiri terhadap Piether Both tersebut membuat pemerintah Kolonial Belanda berang, namun untuk  melawan sendiri pasukan Kerajaan Muna, Belanda mengalami kesulitan. Olehnya itu dijalankanlah Politik kotor Belanda untuk memecah bela antara dua kerajaan ( Kerajaan Muna dan Buton ) yang telah lama menjalin hunbungan yang sangat erat yang dikenal dengan politik Devide Et Impera.
Maka dicari-carilah benih-benih perpecahan antara dua kerajaan bersaudara tersebut. Kebetulan sebelum menjadi Raja Muna La Ode Ngkadiri pernah    gagal menikahi Wa Ode Sopo Puteri Sapati Baaluwu yang dipelihara oleh Spelma, padahal keduanya telah dijodohkan. La Ode Ngkadiri lebih memilih Wa Ode Wakelu puteri Sapati Kapolangku   untuk dijadikan  isteri   ( Drs. La Oba, 2005;43 ).
Kegagalan pernikahan antara Raja La Ode Ngkadiri dengan Wa Ode Sopo anak angkat Spelman dijadika alasan bagi Belanda untuk mengadu domba Kesultanan Buton agar mau memerangi Keraajaan Muna yang telah menjalin persaudaraan sejak ribuan tahun yang lalu.
Upaya adu domba Belanda tersebut berhasil, sebab Buton mau bersekutu dengan Belanda untuk menyerang Kerajaan Muna. sehingga terjadi perang yang cukup lama ( 1631 – 1652 ) antara Kerajaan Muna dengan Belanda yang dibantu oleh Kesultanan Buton.
Kendatipun Pasukan Belanda telah dibantu oleh Pasukan Kesultanan Buton namun mereka belum juga mampu mengalahkan Pasukan Kerajaan Muna yang dipimpin oleh Raja La Ode Ngkadiri. Olehnya itu Belanda menggunakan strategi lain yaitu dengan mengajak untuk melakukan perundingan. Padahal maksud dari perundingan tersebut adalah guna menangkap Raja La Ode Ngkadiri
Untuk memuluskan rencananya itu Belanda mengajak Sultan Ternate ( Sultan Mandayasa )  kerabat dekat lainnya Kerajaan Muna ikut dalam perundingan tersebut. Setelah semuanya telah diatur dengan rapi, maka disepakati tempat perundingan diatas sebuah kapal MV. De Flaming dan lokasi yang dipilih adalah ditengah lautan di selat Buton tepatnya di depan Lohia. 
 Pada saat perundingan tersebutlah kemudian La Ode Ngkadiri dinyatakan ditangkap Oleh Belanda dan diasingka ke Ternate selama tiga tahun. Bersamaan dengan penangkapan itu Belanda kemudian mengangkat La Ode Muh. Idrus sebagai Wali Raja di Kerajaan Muna dan dilantik diatas kapal itu juga.
Selain terjadi pergolakan   melwan Kolonial Belanda, pada masa pemerintahan La Ode Ngkadiri juga masuk misionaris Islam gelombang Ketiga yaitu Syarif Muhammad ( 1643 ). Syarif Muhammad melanjutkan misi penyebar islam terdahulu yaitu mengajarkan ajaran islam pada masyarakat Muna.
4.Raja Muna XIV La Ode Muh. Idris Gelar Sorano Kaindea. (1668-1671).
 La Ode Muh. Idris adalah raja yang dikirim oleh Belanda dari Kesultanan Buton setelah berhasil menjatuhkan La Ode Ngkadiri Raja Muna  XIV. La Ode Muh. Idrus dilantik menjadi raja Muna oleh Pemerintah Kolonial Belanda diatas kapal yang sama dimana Raja Muna XIII La Ode Ngkadiri di gulingkan. Olehnya itu oleh masyarakat Muna dia digelar dengan Sorano kaindea yang kira-kira diartikan sebagai orang yang berkoalisi dengan Kolonial.
Walaupun La Ode Muh. Idris telah dilantik oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai Raja Muna, namun masyarakat Muna dan Sarano Wuna tidak mengakuinnya. Olehnya itu,Wa Ode Wakelu memproklamirkan dirinya sebagai raja Muna menggantikan Suaminya la Ode Ngkadiri. Sikap Wa Ode Wakelu dalam mengambil alih kekuasaan tersebut mendapat dukungan dari Sarano Wuna dan segenap Masyarakat Muna.
Kuatnya dukungan terhadap Wa Ode Wakelu tersebut membuat Pemerintah Konolonil Belanda dan Kesultanaan Buton tidak dapat membendungnnya sehingga selama tiga tahun masa pemerintahan La Ode Muh. Idris di Kerajaan Muna terjadi dualisme kepemimpinan yaitu La Ode Muh. Idris sebagai Utusan kolonial belanda dan Kesultanan Buton SERTA  Wa Ode Wakelu yang mendapat legitimasi dari Sarano Wuna dan Rakyat Muna. Bahkan pada tahun 1671 Sarano Wuna berhasil mengembalikan La Ode Ngkadiri sebagai raja Muna. 
1.2.   Raja Wa Ode Wakelu ( Permaisuri raja -La Ode Ngkadiri )- ( 1667-1668).
Wa Ode Wakelu adalah permaisuri Raja muna XII La Ode Ngkadiri. Wa Ode Wakelu dilantik menjadi Raja Muna oleh Sarano Wuna karena terjadi kekosongan kekuasaan sebagai akibat dari diasingkannya suaminya yang saat itu sedang menjadi raja Muna La Ode Ngkadiri. Pelantikan Wa Ode Wa Kelu sebagai raja Muna selain mengisi kekosongan kekuasaan juga sebagai wujud perlawanan terhadap penguasa kolonial belanda karena bersamaan dengan di gulingkannya La Ode Ngkadiri diatas sebuah kapal, turut dilantik pula La Ode Muhammad Idris sebagai Raja Muna menggantikan La Ode Ngkadiri. yang telah dengan sewenang-wenang menjatuhkan Raja Muna yang sedang berkuasa. 
Perjuangan Wa Ode Wakelu yang didukung oleh sarano wuna dan segenap masyarakat Kerajaan Muna berhasil mengembalikan tahta Kerajaan muna pada yang berhak.hal  itu terjadi setelah tiga tahun menjadi raja Muna. Pemerintah kolonial Belanda yang didukung oleh Kesultanan Buton tidak mampu melawan gelombang perlawanan semesta rakyat muna dibawah kepemimpinan Wa Ode Wa Kelu, sehingga mereka menerima keputusan Sarano wuna untuk melantik kembali La ode Ngkadiri Sebagai raja muna.
 Penerimaan Tokoh dan masyarakat Muna terhadap kepemimpinan Wa Ode Wakelu sebagai raja Muna selain telah berhasil menunjukan sikap perlawanan terhadap penjajaahan belanda, juga merupakan wujud implementasi kesetaraan gender dalam sistem pemerintahan tradisional kerajaan Muna.
7. Raja Muna XVI  – La Ode Husaini  gelar Omputo Sangia ( 1716-1767 )
Pada  masa Pemerintahan Raja La Ode Huseni ( omputo sangia ) terjadi reformasi pada struktur pemerintahan dan struktur masyarakat. Reformasi yang dilakukan oleh La ode husaini tersebut bertuajuannya agar setiap golongan mempunyai andil dan fungsi dalam roda pemerinttahan. Selain itu dimaksudkan agar  roda pemerintahan dapat berjalan secara efektif. 
Perangkat Pejabat Kerajan Muna pada masa Raja La Ode Husaini adalah :
Dari golongan Kaomu berjumlah 20 orang yaitu;
Þ Raja Muna ( Kepla negera )
Þ Dua orang kapita lau ( Panglima Angkatan Laut )
Þ  Bobata 8 orang (
Þ  Barata 4 orang ( Kepala Daerah Otonom )
Þ  Kino Agama 1 orang ( Kepala Urusan Agama/ menteri   Agama )
Þ  Imamu 1 orang ( Imam )
Þ  Hatibi 2 orang. ( Khatib )\
Sedangkan Pejabat Kerajaan dari golongan Walaka berjumlah 10 orang yaitu;
Þ  Banto balano 1 orang ( Perdana Menteri )
Þ  Mintarano bhitara 1 orang ( Mahkama Agung )
Þ  Koghoerano 4 orang ( Kepala Pemerintahan Wilayah setingkat kecamatan )
Þ  Mowano Lindo empat Orang ( Kepala Pemerintahan Kampung )
Perangkat Pejabat dalam Kerajaan khusunya golongan Lindo dan Fitu Bangkauno  berjumlah 7 orang.  Perangkat kerja Raja Muna khususnya Wawono Liwu berjumlah 3 orang.  Mitra kerja raja muna yang mengatur dan di atur disebut manusia awal.
Di masa pemerintahan Raja Muna La ode Huseni, dalam tatanan adat istiadat masyarakat Muna yang menyangkut soal akad nikah di tetapkan mahar menurut golongan masing-masing sebagai berikut;
Þ Untuk maharnya goloangan Kaomu 20 boka.
Þ Mahar golongan Walaka 10 boka 10 suku.
Þ Maharnya Lindo dan Fitu Bengkauno 7 boka 2 suku;
Þ Maharnya Wawono Liwu 3 boka 2 suku
Inilah hubungan antara golongan yang sukar dipisakan dan dihilangkan karena mempunyai hikmah yang mengadung makna menjurus pada poadha-adhati, poangka-angkatao, popia-piara dan pomoolo-moologho, yang menjadi landasan idiologi SOWITE.
 Karena jasanya dalam menyempurnakan struktur Kerajaan, masyarakat dan adat tersebut, dikalangan masyarakat Muna La Ode Husaini di kenal sebagai “ Nembali  Kolakino Wuna Nofotoka Bhesarano. Poentauno Alamu Popano, Malaikati Popano,Bhe Badhano Manusia, Bhewite”. Yang artinya kira-kita La Ode Huseni dinobatkan menjadi Raja Muna lengkap dengan skturtur pemerintahan serta perangkat-perangkat jabatan yang semua bernuansa religius atau ke agamaan. Yakni agama Islam.
Pada tahun 1910 pemerintah Kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Muna. Akibatnya tatanan kehidupan social ekonomi                                kemasyarakatan Muna mengalami kesenjangan.  Namun demikian                            Semangat  “ Koemo Bhada Sumamo Liwu, Koemo Liwu Sumamo Sara, Koemo Sara Semanumo Adhati, Koemo Adhati Sumanomo Agama” terus berkobar dalam jiwa setiap  masyarakat Muna.  Hal ini dapat dilihat dari terus dikobarkannya semangat perlawanan   oleh seluruh masyarakat sampai Indonesia merdeka.
Bukti lain dari  besarnya api semangat yang dimiliki masyarakat Muna adalah dimana hingga saat ini tatanan adat istiadat menurut golongan masing-masing masih tetap terpelihara di Masyarakat Muna walaupun sebahagian masyarakatnya tergolong modern dan berpendidikan tinggi. Bahkan walaupun mereka menjadi pejabat tinggi di pemerintahan tetapi semangat memelihara tatanan adat istiadat dalam jiwa mereka tidak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.
11.Raja Muna XX – La Ode Umara I gelar Omputo ne Gege ( 1767 – 17 80 ),
La Ode Umara I , Raja Muna XX adalah raja yang dihukum gantung oleh sarano Wuna karena telah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Keputusan untuk menjatuhkan hukuman gantung tersebut merupakan vonis  peradilan yang dinamakan mintarano bhitara ( yang memangku kekuasaan peradilan- MA? ).
Tidak diceritakan apa yang menjadi kesalahan Raja sehingga mendapatkan vonis tersebut. Hal ini berkaitan dengan adab masyarakat Muna yang tabuh untuk menceritakan aib saudaranya apa lagi itu seorang raja. Sidang majelis yang menyidangkan Raja La Ode Umara berlangsung tertutup dan semua orang yang terlibat dalam persidangan tersebut disumpah untuk tidak menyebarkan apa yang dilihat dan didengar dalam persidangan. Diperkirakan kesalahan yang dilakukan raja La Ode Umara yang menyebabkan dia mendapat hukuman gantung tersebut adalah menyangkut kesusilaan. 
14. Raja Muna XXIII -  La Ode Sumaili Gelar Omputo ne Sombo ( 1800 – 1816 ).
 Pada masa pemerintahan La Ode Sumaili terjadi pemberotakan yang dilakukan oleh Wa Ode Kadingke Cucu dari Sangia La Tugho. Pemberotakan itu dipicu oleh perlawanan terhadap sistem adat dalam hal kawin-mawin.
 Wa Ode Kadingke menolak denda adat yang begitu besar yang dibebankan pada suaminya Daeng Marewa dari Suku Bugis. Menurut adat saat itu, apabila ada perempuan keturunan yang berdara Kaomu ( Keturunan Raja ) akan menikah dengan orang yang bukan suku Wuna maka laki-laki tersebut akan dikenakan denda adat berupa membayar mahar sebesar 400 Boka.
Menurut pandangan Wa Ode Kadingke yang berkeyakinan keislamannya cukup tinggi denda tersebut bertentangan dengan hukum islam sebab menurut hukum islam mengenai besaran mahar itu ditentukan oleh wanita yang akan menikah dan tidak membebani pihak laki-laki.
Pemberontakan itu semakin meluas, karena Waode Kadingke sangat mahir dalam strategi perang.  La Ode Sumaili tidak mampu meredam pemberontakan tersebut,bahkan akibat  pemberontakan itu Wa Ode Kadingke bersama suaminya Daeng Marewa mendirikan  Kesultanan Tiworo  di bagian barat Pulau Muna.
 Ketidak mampuan La Ode  Sumaili menumpas pemberotakan tersebut oleh sarano wuna dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh Raja La Ode Sumaili, olehnya itu La Ode Sumaili harus mendapat hukuman yang setimpal. Dalam sebuah Rapat dewan sara diputuskan La Ode Sumaili untuk dihukum rajam samapi mati. Itulah sebabnya La Ode Sumaili digelar Omputo nesombo artinya Raja yang dihukum gantung.
15. Raja Muna XXIV -  LA Ode Saete gelar Sorano Masigi  ( 1816-1830 ).
La Ode Saete adalah Putera dari  Wa Ode Kadingke dengan Daeng Marewa panglima perang yang memimpin pemberontakan pada masa pemerintahan La Ode Sumaili. Setelah Waode Kadingke berhasil mengalahkan La Ode Sumaili, maka Sarano Wuna mengangkat  La Ode Sumaili Puteranya sebagai Raja Muna XXIV menggantikan La Ode Sumaili yang telah dikalahkannya.
Pada waktu yang bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita dari Kesultanan Buton Sebagai Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi dualisme kekuasaan di Muna. Alasan  Penunjukan La Ode Wita sebagai Raja Muna oleh Koalisi Buton – Belanda tersebut karena Wa Ode Kadingke dianggap telah melanggar kesepakatan yang telah dibuat antara  pihak Wa Ode Kadinge dengan Koalisi Buton – Belanda pada saat Wa Ode Kadingke meminta bantuan Belanda dan Buton   untuk melawan Raja La Ode Sumaili.
Namun  Sarano Wuna berpendapat lain, menurut Sarano Wuna kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kesepakatan antara Pemerintahan karena selain waktu itu Wa Ode Kadingke bukan seorang raja juga kesepakatan tersebut tidak mendapat persetujuan Sarano Wuna. Untuk itu Sarano Wuna berkesimpulan sendiri yaitu dapat saja mengesampingkan kesepakatan itu dan berhak mengangkat Raja berdaarkan hasil permusyawaratan Sarano Wuna.
Kendati Sarano Wuna tidak mengakui penunjukan La Ode Wita sebagai Raja Muna, Namun Kesultanan Buton tetap memaksakan keinginannya itu. Dibawah pengawalan tentara Kolonial Belanda dan Kesultanan Buton, La Ode Wita diantar ke Wuna untuk menjalankan kekuasaannya sebagai Wali Raja.
Intervensi. Kesultanan Buton tersebut tentu saja mendapat penolakan dari Rakyat Kerajaan Muna dan Sarano Wuna Akibatnya terjadi beberapa kali perang bersenjata antara kedua Kerajaan.Selama masa pemerintahan LA Ode Saete tercatat lebih dari lima kali terjadi perang terbuka antara Kerajaan Muna dengan Kolaisi Buton-Belanda.
Karenanya sejak awal pemerintahan La Ode Saete,  Belanda dan sekutunya Buton memerangi Kerajaan Muna sebagai akibat dari penolakan Sarano Wuna dan Rakyat Muna terhadap pengangkatan La Ode Wita sebagai Raja Muna yang di tunjuk oleh Belada, maka selama masa pemerintahannya tidak ada perubahan sigifikan yang dilakukannya.
Menghadapi dua kekuatan besar tersebut,  La Ode Saete tidak gentar. Dia terus menggalang kekuatan serta menyusun strategi dalam menghadapi perang tersebut dengan  menyeruhkan perang semesta.
 Strategi yang pertama dipilih oleh La Ode Saete untuk menghadapi perang tersebut adalah  meindahkan pusat pemerintahan dekat dengan masjid Muna di Kota Lama Muna. Setelah itu Raja La Ode Saete juga menyususn strategi perang dalam  melakukan konfrontasi dengan pasukan Koalisi Buton – Belanda. Strategi yang dilakukan oleh La Ode Saete tersebut ternyata sangat jitu, sehingga Belanda tidak dapat menguasai Kerajaan Muna.
 Karena La Ode Saete memindahkan Pusat Pemerintahan Kerajaan Muna dekat dengan Masjid, maka setelah mangkat La Ode Saete dianugrahi gelar  ‘ Omputo Sorano Masigi’ oleh Sarano Wuna yang artinya  raja yang mendekati masjid.
Dalam perang antara kerajaan Muna yang dipimpin oleh Raja La Ode Saete dengan pasukan Koalisi Buton – Belanda, beberapa kali Pasukan Koalisi dapat dihancurkan oleh pasukan kerajaan Muna.
Tak mampu menundukan Kerajaan Muna, akhirnya La Ode Wita Raja yang dilantik oleh Belanda akhirnya ditarik kembali Ke Kesultanan Buton.   Sampai akhir masa pemerintahan La Ode Saete( 1830 ) perang antara Kerajaan Muna dengan pasukan koalisi Buton-Belanda terus berlanjut. La Ode Saete mengakhiri masa pemerintahan karena mangkat.
Raja Muna XXV -  La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1864 )
La Ode Bulae adalah Putera Raja Muna XXV La Ode Saete. Pada saat diangkat menjadi Raja Muna, La Ode Bulae baru berusia 12 tahun. Pengangkatan la ode Bulae sebagai Raja Muna berkenaan dengan mangkatnya ayahanda beliau La Ode Saete. Karena pada saat mangkat Raja Muna XXV La Ode saete hanya memiliki satu anak laki-laki yang baru berusia 12 tahun yaitu laode bulae, maka Saraano Wuna bersepakat mengangkatnya sebagai Raja Muna XXVI penggantikan ayahandanya.
Pengangkatan La Ode Bulae yang baru berusia 12 tahu tesrebut menjadi dilema karena pada saat  penobatannya sebagai Raja La Ode Bulae  masih terlalu muda dan  dianggap belum cakap mengendalikan pemerintahan. Namun pada saat yang bersamaan Kerajaan Muna membutuhkan seorang Pemimpin karena pada saat itu Muna sedang berkonfrontasi dengan Belanda serta sekutunya Buton. Sedangkan untuk melakukan prosedur pengangkatan raja seperti yang telah diatur yaitu melalui pemilihan yang dilakukan oleh sarano sangat tidak mungkin karena pasukan koalisi Buton –Benlanda terus mengganggu.
Dalam situasi yang  pelik tersebutlah, maka SaranoWuna mengambil keputusan cepat dengan mengangkat La Ode Bulae Putera Raja La Ode Saete sebagai Raja Muna XXV.  Namu karena Raja La Ode Bulae masih sangat belia dan diangap belm cakap menjalankan pemerintahan, maka Sarano Wuna nmenunjuk La Aka ( Bonto balano ) untuk menjalankan pemerintahan, sedangkan La Ode Bulae tetap sebagai kepala negara.
Lain dengan Belanda, moment mangkanya Raja La Ode Saete dan raja penggantinya yang masih sangat muda dimafaatkan untuk menguasai pemerintahan kerajaan Muna dengan memaklamatkan secara sepihak bahwa segala urusan pemerintahan Kerajaan Muna berada dalam kendali Pemerintahan Kolonial Belanda.
Raja La Ode Bulae yang masih begitu muda tidak mampu melawan maklumat tersebut, sehingga untuk beberapa saat segala urusan administrasi pemerintahan dijalankan oleh Wali Raja dari Kesultanan Buton yang ditunjuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Setelah Dewasa, La Ode Bulae mejalankan pemerintahan melajutkan kebijakan  Ayahandanya.  La Ode Saete menyeruhkan untuk melakukan konfrontasi dengan Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton. La Ode Bulae menyeruhkan perang semesta terhadap Kolonial Belanda dan Buton sehingga terjadi berang besar antara Kerajaan Muna dengan Belanda dan sekutunya Buton.
Dalam sebuah perang, Belanda dan sekutunya Buton berhasil menangkap La ode Bulae dan  membawahnya kepersidangan pengadilan di Makassar. Dalam periudangan pengadilan tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan dibuang di Pulau Nusa Kambangan, kemudian diasingkan ke Bengkulu.
20. Raja Muna XXX -  La Ode Ngkaili ( 1870-1907)
La Ode Ngkalili adalah raja Muna Pada masa Pemerintahan La Ode Ngkaili Pusat pemerintahan Kerajaan Muna di pindahkan dari Kota Muna ke Raha oleh penguasa Kolonial Belanda.  Pemindahan pusat pemerintahan tersebut dibawah tekanan  militer Kolonial Belanda setelah pasukan Kerajaan Muna mengalami kekalahan dalam sebuah pertempuran melawan pasukan koalisi Belanda- Buton. Bersamaan dengan pemindahan ibu kota kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda mengutus seorang raja dari Kesultanan Buton yaitu la Ode Maktubu untuk menggulingkan  Raja La Ode Ngkaili yang sedang berkuasa dan diangkat oleh Sarano Wuna.
21. Raja Muna XXXI -  La Ode Ahmad Maktubu/ periode pertama (1907 –- 1914)
 Setelah pasukan koalisi Belanda –Buton memenangkan pertempuran pada tahun 1906 dan berhasil menggulingkan Raja Muna XXX  La Ode Ngkaili, penguasa Kolonial Belanda di Makassar mengutus seorang dari Kesultanan Buton yakni La Ode Maktubu untuk menjadi Raja di Kerajaan Wuna sebagai Raja Muna XXXI. La Ode Maktubu adalah Putera Sultan Buton La Ode Salihi buah  perkawinannya dengan putri raja Muna La Ode Bulae yang bernama Wa Ode Ogo.
Walaupun La Ode Ahmad Maktubu masih memiliki hubungan darah dengan Raja-Raja Muna, namun intervensi Pemerintahan Belanda dan Pengkoptasian Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna tidak diterima oleh segenap masyarakat Kerajaan Muna sehingga terjadi penolakan terhadap pengangkatan La OdeAhmad  Maktubu tersebut.
Para Petinggi kerajaan Muna yang didukung oleh seluruh masyarakat Muna melakukan perlawanan dan menyeruhkan perang terbuka terhadap intervensi pemerintahan Kolonial tersebut. Salah satu dari wujud perlawanan itu adalah Sarano Wuna segera menggelar  rapat dan bersepakat untuk mengakat La Ode Umara sebagai Raja Muna XXXI menggantikan Raja La Ode Ngkaili yang telah digulingkan oleh koalisi Belanda- Buton, serta tidak mengakui La Ode Maktubu Sebagai Raja Muna.
 Besarnya dukungan rakyat terhadap keputusan Sarano Wuna yang  tidak mengakui La Ode Ahmad Maktubu sebagai raja Muna,  memaksa La Ode Ahmad Maktubu    meninggalkan  Muna dan kembali ke Buton. Sekembalinya di Buton, Laode Ahmad Maktubu mengadukan perinstiwa tersebut pada sekutunya  Belanda.
Pengaduan Kesultanan Buton atas sikap Pemerintahan Kerajaan Muna mengusir utusan Kesultanan Buton, ditanggapi serius oleh pemerintah Kolonial Belanda sehingga dikirim pasukan militer untuk memerangi kerajaan Muna.
Pada sebuah pertempuran di sekitar Lohia ( Selat Buton ) tahun  1907, pasukan sekutu Belanda – Buton  berhasil mengalahkan prajurit kerajaan Muna dan menggulingkan pemerintahan La Ode Umara yang diangkat oleh sarano Wuna. Setelah berhasil menggulingkan Pemerintahan  La Ode Umara, Belanda kembali menobatkan La Ode Ahmad Maktubu sebagai raja Muna sampai tahun 1914.
23. Raja Muna XXXIV – La Ode Pulu (1914-1918)
 Pada masa pemerintahan La Ode Pulu, intervensi politik Kolonial Belanda di Kerajaan Muna semakin kuat. Di akhir masa pemerintahan La Ode Pulu ( 1918 ) Pemerintah Kolonial Belanda dan Kesultanan Buton secara sepihak melakukan perjanjian yang dikenal dengan Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918. Belanda dalam perjanjian itu  diwakili oleh Residen Bougman sedangkan Kesultanan Buton di Wakili oleh Sultan Buton La Ode Muhammad Asyikin.  Isi perjanjian tersebut adalah  Belanda hanya mengakui ada dua pemerintahan setingkat swapraja di Sulawesi tenggara yaitu Swapraja  Laiwoi dan Swapraja  Buton.  Dengan demikian menurut perjanjian tersebut secara otomatis Muna menjadi bagian dari Kesultanan Buton/ Underafdeling.
Sebagai Raja yang berdaulat dan diangkat oleh Sarano Wuna, La Ode Pulu tidak mengakui perjanjian Korte Varklering tersebut sehingga beliau memimpin rakyat Muna untuk melakukan perlawanan  terhadap Belanda dan Buton.
Karena kalah dalam persenjataan dan jumlah personil pasukan maka La Ode Pulu dan pasukannya dapat dikalahkan oleh Pasukan Koalisi Belanda-Buton. akhirnya La Ode Pulu dapat ditangkap dan di asingkan di Nusa Kambangan. Selama dua Tahun pasca pemerinyahan La Ode Pulu, Kerjaan Muna berada dalam Kekuasaan Kolonial Belanda sampai  dewan Adat ( Sarano Wuna mengadakan rapat dan mengangkat La Ode Afiuddin sebagai Raja.
Raja Muna XXXVI  – La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 ).
Pada tahun 1930, Sarano Wuna kembali mengadakan Rapat untuk mengangkat Raja Muna. Pada rapat yang digelar selama 7 hari tersebut, Sarano Wuna menyepakati untuk mengangkat seorang pejabat kampung yaitu Kino Labasa yang bernana La Ode Dika sebagai Raja Muna menggantikan La Ode Rere yang digulingkan oleh Kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahan La Ode dika dilakukan pemugaran masjid agung di Kota Muna menjadi semi permanen. Sebagian dari  material  pembuatan masjid tersebut dibantu oleh kontrolir Belanda , Jules Couvreur  yang bertugas di Muna saat itu.
Karena selama menjadi Raja Muna ( 8 Tahun ) La Ode Dika sangat fokus terhadap pembangunan masjid, maka beliau  digear Komasigino artinya yang memiliki masjid.Selama bertugas di Muna  Juleus Couvreur juga giat menelusuri sejarah dan mempelajari adat istiadat masyarakat Muna. Penelusurannya terhadap sejarah dan adat istiadat tersebut dituangkan dalam sebuah buku “Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna “ yang diterbitkan Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, tahun 2001.  
 Sebagai mana raja muna yang lain, La Ode Dika juga tidak mau tunduk dengan Kolonial Belanda dan sekutunya Buton. La Ode Dika juga tidak mengakui isi perjanjian Korte Verklaring sebab perjanjian itu dianggap ilegal. Sikap perlawanan La Ode Dika tersebut di tunjukan saat berkunjung di istana kesultanan Buton. Di hadapan Sultan Buton, La Ode Dika tidak mau memberi hormat pada Sultan, tapi malah justeru mengancungkan telunjuk seakan memberi ancaman pada Sultan Buton.
 Apa yang yang dilakukan La Ode Dika tersebut oleh Sultan Buton dilaporkan pada Penguasa Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya La Ode Dika dipecat dari jabatannya sebagai Raja Muna.
Menurut La Ode Ali Hanafi salah seorang Putera La Ode Dika dalam Buku bigrafi “La Ode Dika Omputo Komasigino” yang ditulisnya mengatakan bahwa penobatan La Ode Dika sebagai raja Muna tidak melewati proses sebagai mana lazimnya penentuan kandidat raja . La Ode Dika sebagai mana tertuang dalam Biografi tersebut adalah satu-satunya raja yang dinobatkan menjadi Raja Muna yang tidak terlebih dahulu menjabat Kino Ghoera tetapi hanya menjabat sebagai  kepala Kampung. Jabatan terakhir La Ode Dika sebelum menjadi Raja Muna adalah Kepala Kampung Labasa.
32. Raja Muna XXXVII  – La Ode Pandu ( 1947-1956).
Setelah terjadi kekosongan kekuasaan di kerajaan Muna selama Sembilan  tahun ( 1938– 1947 ), pemerintah Belanda di Makassar mengangkat  La Ode Pandu sebagai pejabat Raja Muna pada tahun 1947 dan dilantik pada tahun itu juga di depan Masjid Muna di Kota lama Muna. Pelantikan Laode Pandu dihadiri oleh utusan pemerintah belanda. La Ode Pandu mengahiri masa pemerintahannya setelah meninggal akibat ditembak gerombolan DI/TII di Posunsuno Kecamatan Parigi saat melakukan kunjungan di Wasolangka.
Peristiwa penembakan tersebut terjadi saat Raja La Ode Pandu akan melakukan kunjungan ke Wasolangka. Kunjungan itu berkaitan terjadinya paceklik di wilayah tersebut akibat gagal panen. Dalam perjalanan menuju Wasolangka tersebutlah kendaraan yang ditumpangi Raja Muna La Ode Pandu dihadang para pemberontak DII/TII. Ikut menjadi korban dalam peristiwa itu adalaah sopir beliau dan pengawalnya.
Sepeninggal La Ode Pandu tidak ada lagi proses pengangkatan Raja. Demikian pula dengan dewan sara bubar dengan sendiri. Olehnya itu Kerajaan Muna juga ikut bubar.
Para pejuang Muna memfokuskan diri dalam perjuangan pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Muna.Gerakaan perjuagan ini berkaitan dengan kooptasi Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna, sehingga begitu ada wacana pemisahan Kabupaten Sulawesi Tenggara dari Propinsi Sulawesi Selatan tenggara dan akan membentuk propinsi sendiri, Muna tidak masuk dalam salah satu Kabupaten yang akan menjadi Propinsi Sulawesi tenggara.
Melihat fakta tersebut Tokoh-tokoh Muna, baik yang ada di Muna ataupun d Makassar, yang tua ataupun yang muda bersatu secara sinergis memperjuangkan pembentukan Propinsi Sulawesi tenggara sekaligus pembentukan kabupaten Muna





BAB VI
SUGI MANURU ” OMPUTO MEPASOKINO ADHATI “
Bheteno ne Tombula alias La Eli alias Baidhul Jamani adalah Raja Muna I. Bheteno ne Tombula dipercaya sebagai orang pertama yang memulai beradabaan baru dalam sistem sosial kemasyarakatan di Muna. Hal ini dikarenakan pada masa pemerintahan Bheteno Ne Tombula Muna menjadi sebuah kerajaan dengan struktur pemerintahan dan struktur sosial yang lebih moderen. Sebagai seorang raja Sugi manuru juga melakukan penataan dalam sistem administrasi pemerintahan, walapun pada waktu itu masyarakat Muna termasuk raja belum mengenal tuulisan. Bheteno Ne tombula bukanlah orang Muna, beliau ditemukan dalam rumpun bambu oleh sekelompok orang yang ditugaaskan utnuk mencari bambu pada saat diadakan pesta besar di Wamelai.                                                 .
         Dikisahkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna bahwa pada suatu hari, Mieno ( Pemimpin Wilayah ) Wamelai akan mengadakan pesta raya, seluruh masyarakat Muna di delapan wilayah dikumpulkan untuk turut membantu mempersiapkan pelaksanaan pesta tersebut. Sekelompok orang yang ditugaskan untuk mencari bamboo dihutan, menemukan seorang lelaki yang gagah perkasa di dalam rumpun bamboo yang akan ditebang, ada juga yang mengisahkan bahwa manusia tersebut ditemukan dalam ruas bamboo.
Karena penemuan tersebut dianggap aneh, lelaki itu kemudian dibawah menghadap pada mieno Wamelai . Dihadapan mieno Wamelai dan pemimpin wilayah lainnya lelaki itu mengaku bernama LA ELI alias BAILDHUL JAMAANI Putra Raja Luwu di Sulawesi selatan. Dituturkan dalam tradisi lisan, kedatangan LA ELI alias BAILDHUL JAMAANI di Muna untuk menunggu istrinya yang saat ini sedang hamil dan akan datang menemui dirinya.    Tempat pertemuan yang mereka sepakati untuk pertemuan itu adalah Pulau Muna ( Wuna).
Selang beberapa hari setelah penemuan manusia dalam rumpun bamboo tersebut, tersiar kabar bahwa di Lohia pesisir Timur Pulau Muna, tepatnya di Curuk Napabale ditemukan seorang wanita cantik. Wanita tersebut mengaku bernama WA TANDI ABE . berasal dari kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah, dia datang di Muna dengan menumpang sebuah talang dan terdampar ditempat itu. Tujuan kedatangannya adalah untuk bertemu dengan suaminya yang telah menungguhnya disuatu tempat dimana talang yang ditumpanginya terdampar.
Kabar tentaang terdamparnya seorang wanita di Lohia tersebut tersebar luas begitu cepat dikalaangan masyarakaat. Pada suatu hari kabar itu sampai juga ditelinga MIENO WAMELAI di Tongkuno, sehingga beliau memerintahkan agar wanita tersebut di dibawa menghadap dirinya guna dipertemukan dengan LA ELI alias BAIDHULJAMANI untuk di konfrontir. Ternyata setalah dipertemukan keduanya mengaku sebagai suami istri dan mereka yang saling mencari . Dalam pertemuan tersebut Wa Tandi Abe juga mengaku dalam keadaan hamil, dan janin dalam rahimnya tersebut adalah darah daging dari LA ELI alias BAIDHUL JAMANI suaminya yang ada dihadapannya saat ini.                                                                 .
         Karena peristiwa itu dianggap luar biasa dan tidak lazim, maka rapat dewan adat menyepakati untuk ‘memingit’ keduanya dalam sebuah kelambu selama tujuh hari tujuh malam. Tujuan pemingitan adalah untuk mencegah hal-hal negative yang timbul akibat penemuan dua orang yang aneh tersebut dan mengaku sebagai Suami istri. Setelah tujuh hari dalam ‘pingitan’, ternyat tidak ada kejadian yang luar biasa sehingga keduanya di keluarkan dari pingitan kemudian di nikahkaan kembali menurut adat yang berlaku dikalangan masyarakat Muna.                                                                           .
           Peristiwa pemingitan tersebut akhirnya menjadi tradisi dan menjadi syarat yang harus dilalui seseorang yang akan menjadi Raja Muna. Peristiwa ini juga menjadi tradisi yang harus dilalui seorang wanita yang telah memasuki usia baliqh sebagai tanda kalau wanita tersebut sudah siap untuk dinikahkan. Tradisi ini diberi nama ‘ Kaghombo’ dan masih terpelihara dengan baik sampai saat ini.     .                                                        .
        Perkawinan antara LA ELI alias BAIDHUL JAMANI dengan WA TANDIABE melahirkan tiga anak yaitu KAGHUA BANGKANO FOTU. RUNTU WULAE dan KILAMBIBITO. KAGHUA BHANGKANO FOTU kemudian menjadi Raja Muna II dengan gelar SUGI PATOLA. Sugi berarti ’Yang Dipertuan’. RUNTU WULAE kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di sana sedangkan KILAMBIBITO kawin dengan LA SINGKABU (kamokulano Tongkuno) Putera dari MINO WAMELAI (La Kimi Sejarah Muna, Jaya Press).
         LAKILAPONTO Raja Muna VII dan Raja Buton VI/ Sultan Buton I manusia yang fenomenal karena pernah memimpin lima kerajaan dalam waktu yang bersamaan berasal dari garis keturunan sugi tersebut. Dalam sebuah rapat dewan adat dan semua pemimpin wilayah, disepakati bahwa La Eli atau Badhuljamani adalah manusia sakti dan pantas untuk dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi di Muna. Setelah dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi, La Eli/ Baidhuljamani mendeklarasikan Muna sebagai sebuah Kerajaan dan dirinya adalah Raja Pertama dengan Gelar Bheteno Ne Tombula ( yang Muncul di Bambu ) sedangkan istrinya ( permaisuri ) bergelar Sangke palangga ( yang menumpang pada talam). Sejak saat itulah Muna menjadi sebuah kerajaan.                                       .
        Tugas pertama Bheteno ne Tombula Setelah menjadi Raja adalah melakukan penataan struktur pemerintahan dan struktur masyarakat Muna. Dalam struktur pemerintahan Bheteno Ne Tombula menetapkan :                                                 :
1. Raja sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dengan gelar Lakina.
2. Kepala Pemerintahan Wilayah dengan gelar Mieno (pemimpin ) dan Komokula ( Yang       d dituakan)                                     )
3. Rakyat atau kelompok yang diatur dengan gelar Ana ( yang dianggap anak ).
     Pembagian wilayah pada masa pemerintahan Bheteno Ne Tombula masih memakai                  s  sistem yang lama delapan wilayah yang yang terdiri dari :                    ;
     1. Mieno Kaura                                                                                                a
     2. Mieno Kansitala                                                                                    a
     3. Mieno                                                                      o    
     4. Mieno Ndoke.
Dan empat kamokula adalah sebagai berikut ;
1. Kamokulano Tongkuno
2. Kamokulano Barangaka
3. Kamokulano Lindo
4. Kamokulano Wapepi
Untuk mengatur Pemerintahan, bheteno Ne Tombula membagi masyaraakat Muna menjadi tiga Golongan yaitu :
1. Golongan Beteno Ne Tombula, Golongan ini yang berhak menjadi raja
2. Golongan Mieno Wamelai, Golongan ini berhak untuk menjadi kepalah pemerintahan      wilayah.
3. Golongan Rakyat adalah orang yang diatur.
Struktur pemerintahan, pembagian wilayah dan pembagian golongan ini berlangsung sampai masa pemerintahan Raja Muna VI SUGI MANURU.




BAB VII
LA KILAPONTO
” OMPUTO MEPOKONDUAGHONO “GHOERA”
Lakilaponto Raja Muna VII ( 1538- 1541 M ) putera Raja Muna VI Sugi Manuru, adalah manusia yang fenomenal. Dia memimiliki kesaktian yang tinggi, ahli strategi perang, piawai dalam berdiplomasi serta pakar ketata negaraan. Karena kepiawaiannya tersebut LA KILAPONTO pernah memimpin lima kerajaan besar dalam waktu bersamaan, hal ini dijelaskan dalam dokumen koleksi Belanda “ Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekonggo dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ). Karena itulah LA KILAPONTO dikalangan masyarakat muna di beri gelar ‘ mepokonduaghono Ghoera’ artinya orang yang menggabungkan Negeri/Kampung.
Dari semua kerajaan yang pernah dipimpinnya, hanyalah di kerjaan Buton LA KILAPONTO memerintah cukup lama yaitu 46 tahun ( 1538 – 1584 M ). Di kerajaan Muna LA KILAPONTO menjadi raja kurang lebih 3 tahun ( 1538 – 1541 M ), setelah itu dilanjutkan oleh adiknya LA POSASU sebagai Raja Muna VIII. Sedangkan di kerajaan-kerajaan lainnya tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan berapa lama LA KILAPONTO menjadi Raja di kerajaan tersebut serta bagaiman proses penyerahan kekuasaan pasca LA KILAPONTO.
LA KILAPONTO menjadi Raja pada kerajaan – kerajaan itu bukan karena invasi, tetapi karena kharisma beliau atau penghargaan karena berhasil melakukan sesuatu yang besar dinegeri tersebut. Hal ini dapat dilihat setelah beliau menjadi Penguasa di negeri itu dia tidak berusaha untuk menjadikan negeri itu sebagai koloni atau bagian dari Kerajaan Muna, tetapi membiarkan tetap merdeka dan Berdaulat. Padahal bila mau LA KILAPONTO dapat saja menggabung kerajaan-kerajaan tersebut dibawah kerajaan Muna karena sebagai raja dia punya kekuasaan yang besar.
LA KILAPONTO dikenal mewarisi ilmu yang diturunkan oleh ayahandanya SUGI MANURU di bidang Tata Negara, diplomasi dan strategi perang. Potensi yang dimiliki LA KILAPONTO tersebut telah dilihat oleh ayahandanya SUGI MANURU. Olehnya itu sebelum dinobatkan menjadi Raja Muna LA KILAPONTO ditugaskan untuk melaksanakan misi diplomasi dibeberapa kerajaan seperti Todore, Ternate, Banggai dan Luwu. ( Lakimi; Sejarah Muna, Jaya Press Raha). Misi diplomatik yang dilakukan LA KILAPONTO sangat sukses, sebab beliau dapat meyakinkan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan Muna. Hal ini dibuktikan setelah kunjungan diplomatik tersebut sudah tidak ada lagi gangguan keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna yang datang dari kerajaan-kerajaan tersebut.
Kepakaran LA KILAPONTO dalam bidang ketatanegaraan dapat dilihat saat beliau menjaddi penguasa di suatu negeri. Selain Hal ini dapat dilihat pada saat ,menjadi Raja di suatu kerajaan beliau melakukan penataan sisten ketata negaraan Kerajaan tersebut. Beliau juga menanamkan falsafa atau nilai-nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang diajarkan oleh SUGI MANURU yaitu ;
Pobini-biniti kuli, ( saling tengang rasa )
Poangka-angka tau, ( Saling harga-menghargai )
Poma-masigho, ( Saling sayang- menyayangi )
Poadha-adhati. (Saling menghormati )
Keempat prinsip dasar diatas wajib dipahami dan dijalankan oleh setiap warga kerajaan dalam hal ini termasuk juga Raja dan aparat kerajaan lainnya.
LA KILAPONTO juga menyebar luaskan konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan yang dipimpinnya Yaitu :
Hansuru –hansuru badha Sumano kono hansuru liwu ( Biarlah badan binasa asal Negara tetap berdiri ).
Hansuru-hansuru Liwu Sumano kono hansuru Ahdati ( kalaupun Negara harus bubar adat tetap harus dipertahankan ).
Hansuru-hansuru Adhati sumano Tangka Agama ( Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama harus tetap ditegakkan ).
Falsafah dasar dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja Muna VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan pada kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO. Tentu saja falsafa dasar dan konstitusi tersebut diadaptasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyrakat setempat dalam hal ini termasuk nilai-nilai Islam sebelum dijadikan sebagai Konstitusi Kerajaan. Sikap toleransi terhadap masuknya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat local dan nilai- nilai agama yang positif merupakan strategi untuk menghindari konflik dan penolakan masyarakat terhadap ajaran itu. Misalnya Konsitusi pada Kerajaan / kesultanan Buton yang diproklamirkan pada masa Sultan Buton IV DAYANU IKSANUDDIN (1597- 1631 M) yang mesakukan nilai-nilai Islam. Konstitusi Kesultanan Buton itu dikenal dengan Martabat Tujuh. DAYANU IKHSANUDDIN adalah cucu LA KILAPONTO dari putrinya PARAMASUNI yang bersuamikan LA SIRIDATU.
Menurut A.E. saidi dalam makalahnya pada Simposium Internasionel Pernaskahan Nusantara IX di Baruga Keraton Buton 5 – 8 Agustus 2005, Martabat Tujuh di Undangkan oleh Sapati LA SINGGA pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung Keraton. Inti dari Konstitusi Martabat Tujuh yaitu ; 1) Pomae-maeyaka; 2) Popiara-piara’ 3) Po maa-maasiaka. 4) Poangka-angkataka. Keempat nilai dasar dari Konstitusi martabat Tujuh memiliki makna yang sama dengan apa yang diajarkan oleh Raja Muna VI SUGI MANURU pada tahun 1438 M. Demikian pula tatanan pemerintahan yang dianut kesultanan Buton seperti yang termuat dalam Martabat Tujuh juga merupakan sisten dan tatanan pemerintahan yang diterapkan oleh Kerajaan Muna sejak jaman SUGI MANURU Raja Muna VI ( Baca; Sugi Manuru ) .
Selain alhi di bidang Tata Negara, LAKILAPONTO juga piawai dalam bidang diplomasi serta ahli dalam strategi perang. Kemampuan diplomasi LA KILAPONTO dibuktikan dengan dapat mendamaikan konflik dua kerajaan besar di jazirah Pulau Sulawesi bagian Tenggara yaitu kerajaan Konawe dan Mekongga. Konflik kedua kerajaan tersebut telah berlangsung lama dan telah banyak menelan korban nyawa dan harta. Oleh LA KILAPONTO konflik tersebut diselesaikan hanya dalam waktu delapan hari, sehingga di kedua kerajaan tersebut LA KILAPONTO di beri gelar “HALUOLEO” yang artinya delapan hari. Karena sukses mendamaikan konflik tersebut, LA KILAPONTO dinikahkan dengan Putri Raja Konawe yang bernama ANAWAY ANGGUHAIRAH serta dinobatkan menjadi Raja Konawe.
Sebagai mana kerajaan-kerajaan kuno lainnya, LA KILAPONTO menjalankan strategi diplomasinya melalui perkawinan. Dalam beberapa sejarah ditulis selama hidupnya La Kilaponto melakukan perkawinan sebanyak 5 kali, berturut-turut putri yang dikawininya adalah :
1. WA TAMOIDONGI ( Putri Raja Buton V LA MULAE)
2. WA ANAWAY ANGGUHAIRAH ( Putri kerajaan Mekongga )
3. Putri raja Jampea
4. Putri Raja selayar OPU MANJAWARI
5. WA SAMEKA ( Putri Sangia YI TETE )
Dari masing-masing perkawinannya tersebut, LA KILAPONTO/SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS/SULTAN MURHUM memperoleh putra dan putri yaitu :
1. perkawinan dengan WA TAMPOIDONGI tidak memperoleh anak
2. perkawinan dengan ANAWAI ANGGUHAIRAH memperoleh 3 orang puteri yaitu WA ODE POASIA, WA ODE LEPO-LEPO dan WA ODE KONAWE.
3. perkawinan dengan putri raja Jampae memperoleh 1 orang putera yang bernama LA TUMPARASI (Sangia Boleko)
4. perkawinan dengan putri raja Selayar memperoleh 1 orang putera yang bernama LA SANGAJI (Sangia Makengkuna)
5. Perkawinan dengan Wa Sameka memperoleh 4 orang puteri yaitu Paramasuni (istri LA SIRIDATU putra Raja Batauga), Wasugirampu (istri LA GALUNGA cucu Raja Buton V), WABUNGANILA (istri LA KABAURA putra raja Batauga) dan WABETA (istri LA SONGO raja Kambe-kambero)
Sedangkan kemampuan strategi perangnya dibuktikan saat menumpas pemberontak LA BOLONTIO yang berasal dari Tobelo. LABOLONTIO terkenal sakti dan sangat kejam sehingga Kerajaan Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Raja Buton saat itu LA MULAE dan segenap rakyatnya telah putus asa sehingga memaksa dia membuat sayembara. Isi dari sayembara tersebut adalah ‘ barang siapa yang dapat menumpas pemberontakan Labolontio akan dikawinkan dengan salah satu putri Raja ’ yang bernama WA TAMPOIDONGI. WA TAMPOIDONGI terkenal sangat cantik dan menjadi rebutan petinggi-petinggi Kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan tetangga.
Sayembara yang dibuat oleh Raja Buton LA MULAE tersebut mengundang minat satria-satria di kerajaan tetangga untuk ambil bagian. Mereka sangat tertarik untuk mempersunting putrid Raja yang kecantikannya sudah terkenal di mana-mana. Salah seorang petinggi kerajaan tetangga yang mengikuti sayembara tersebut adalah Raja Selayar dan Raja Jampea.
Sudah sekitar satu tahun sayembara dibuka, para peserta sayembara telah mengeluarkan segala kemampuannya, namun tidak ada satupun dari satria-satria yang ikut dalam kompetisi tersebut yang dapat menumpas Labolontio. Bahkan Labolontio dan pasukannya semakin merajalela dan telah menguasai beberapa wilayah Kerajaan Buton . Bukan saja itu bahkan Labolontio sudah mengancam kerajaan-kerajaan tetangga Buton termasuk Kerajaan Muna.
Kabar semakin mengganasnya Labolontio dan pasukannya ikut meresahkan LAKILAPONTO yang baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII. Olehnya itu LA KILAPONTO meminta saran dari Ayahandanya SUGI MANURU dalam menyikapi ancaman tersebut. Setelah mendengar masukan-masukan dari LAKILAPONTO dan beberapa petinggi kerajaan, SUGI MANURU Raja Muna VI menyarankan pada LA KILAPONTO untuk segera pergi ke Buton, menumpas LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Jadi keikutsertaan LAKILAPONTO dalam menumpas LABOLONTIO bukan untuk mengikuti sayembara yang dibuka oleh Raja LA MULAE tetapi melakukan misi Kerajaan Muna untuk menyelamatkan Negeri Muna dari ancaman LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton.
Sesampainya di Buton dengan tanpa terlebih dahulu menghadap pada Raja LA MULAE, LA KILAPONTO langsung menyusuri pantai, mencari LABOLONTIO, orang yang telah yang membuat Raja Buton dan segenap rakyatnya kalang kabut dan tidak berdaya. Selain itu aksi yang dilakukan LABOLONTIO dalam melakukan terror pada kerajaan Buton juga meresahkan Kerajaan-kerajaan lain yang bertetangga dengan Buton termasuk Muna. Sebagai Raja yang lagi berkuasa di Kerajaan Muna LA KILAPONTO bertanggung jawab untuk segera menghentikan sepak terjang LABOLONTIO agar tidak meluas di Kerajaan Muna. Dalam hitungan hari saja LA KILAPONTO sudah menemukan LABOLONTIO hingga terjadi adu tanding.
Dalam pertarungan di pasisir Kerajaan Buton, LABOLONTIO di buat bertekuk lutut bahkan mati ditangan LA KILAPONTO. Sebagai bukti telah membunuh LABOLONTIO, LA KILAPONTO membawa kepala LA BOLONTIO di hadapan Raja Buton LAMULAE. Maksud LAKILAPONTO menghadap Raja LA MULAE adalah untuk menyampaikan bahwa Kerajaan Buton saat ini telah aman sebab pengacau keamanan telah berhasil di bunuhnya sekaligus berpamitan untuk pulang ke Muna meneruskan tugasnya sebagai Raja Muna. LA KILAPONTO tidak menuntut apapun dengan apa yang telah di lakukannya. LA KILAPONTO berpikir misinya menumpas LABOLONTIO selain membantu kerajaan Buton yang berada dalam ambang kehancuran, juga menjaga keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna dari gangguan pihak luar.
Lain dengan Raja Buton LA MULAE dan segenap rakyatnya, LA KILAPONTO oleh mereka dianggap telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Buton dari gangguan keamanan. Untuk itu LABOLONTIO berhak mendapatkan hadia seperti isi dari sayembara yang telah dibuat Raja LA MULAE. Sebagai Raja, LAMULAE harus tetap konsisten menjalankan apa yang telah diucapkan. Untuk itu pernikahan antara LAKILAPONTO dan Putri Raja WA TAMPOIDONGI tetap harus dilaksanakan.
Dengan rasa berat dan penghargaan terhadap Raja Buton LAMULAE, akhirnya LAKILAPONTO menerimah untuk dinikahkan dengan putrid raja seperti isi sayembara yang di buat Raja LAMULAE. Namun demikian LA KILAPONTO tetap mengajukan syaraat bahwa setelah pernikahan dilaksanakan dia tetap kembali ke Kerajaan Muna untuk menjalankan tugasnya sebagai Raja Muna. Persyaratan itu diterimah dan pernikahan keduanya pun dilaksanakan. Setelah prosesi pernikahan dilaksanakan LA KILAPONTO langsung berpamitan untuk Kembali Ke Kerajaan Muna sedangkan isrinya di tinggal di Kerajaan Buton bersama Orang tuanya.
Belum cukup satu tahun Menjalankan pemerintahanya sebagai Raja Muna setelah menumpas LABOLONTIO, Raja Buton V LA MULAE meninggal dunia. Karena raja LA MULAE tidak memiliki anak Laki-laki, maka petinggi-petinggi Kerajaan Buton bersepakat untuk mengangkat LA KILAPONTO sebagai Raja Buton VI menggantikan LA MULAE. Kesepakatna para petinggi Kerajaan Buton tersebut kemudian di sampaikan pada LA KILAPONTO dengan cara mengutus beberapa utusan untuk datang ke kerajaan Muna. Awalnya LA KILAPONTO merasa sangat berat menerima kesepakatan yang telah dibuat oleh para petinggi Kerajaan Buton untuk menjadi Raja di kerajaan Buton, karena saat itu LA KILAPONTO sedang menjadi raja di kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe.
Atas saran Ayahandanya dan melalui pertimbangan yang matang, akhinya LA KILAPONTO mau menerima untuk menjadi Raja di Kerajaan Buton. Dengan diterimahnya menjadi Raja Buton, maka secara otomatis pada saat itu LA KILAPONTO menjadi Raja di tiga kerajaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Buton, Kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe, karena itulah oleh masyarakat Muna LA KILAPONTO mendapat gelar ‘Omputo Mepokonduaghoono Ghoera ’ artinya orang yang mengawinkan Negeri/Kampung.
Pada sebuah hikayat disebutkan, saat LA KILAPONTO menjadi Raja di Kerajaan Muna, Buton dan Konawe, kerajaan-kerajaan lainya yaitu Kerajaan kaledupa, Kerajaan Mokole dan Mekongga ikut menggabungkan diri dibawa kekuasaan LA KOLAPONTO, sebagai mana kutipan berikut ‘Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekongga dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ).
Selama tiga tahun LAKILAPOTO menjadi raja di lima kerajaan tersebut, nilai-nilai Islam yang seberbakan seorang Ulama dari Arab SYEKH ABDUL WAHID dan di bantu seorang imam dari Patani yang bernama FIRUS MUHAMMAD mulai mempengaruhi istana Kesultanan Buton. Setelah Islam diterima di Istana dan LAKILAPONTO telah memeluk Islam, maka pemerintahan Buton berubah menjadi kesultanan dan LAKILAPONTO dilantik menjadi Sultan dengan bergelar Sultan MURHUM/ SULTAN KAIMUDDIN KHALIMATUL KHAMIS.
Menyusul berubahnya Buton menjadi Kesultanan (948 H/ 1542 M ), LAKILAPONTO kemudian menyerahkan jabatannya pada kerajaan-kerajaan lainnya. Misalnya di Kerajaan Muna, LAKILAAPONTO menyerahkan jabatannya kepada adiknya LA POSASU untuk menjadi Raja Muna VIII. sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada data yang pasti bagai mana proses penyerahannya. Namun yang pasti pada saat itu juga Kerajaan Konawe dan kerajaan-kerajaan lainya yang pernah di pimpin LAKILAPONTO telah memiliki raja sendiri-sendiri. Walaupun LAKILAPONTO pernah memimpin kerajaan-kerajaan tersebut, namun setelah dia melepaskan jabatannya, LAKILAPONTO tetap mengakui kerajaan-kerajaan tersebut sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Setelah LAKILAPONTO Menjadi SULTAN di Kesultanan Buton dan adiknya LA POSASU menjadi Raja Muna VIII, kedua bela pihak mengadakan perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut adalah wilayah kerajaan Muna bagian Selatan yang terdiri dari Mawasangka dan GU diserahkan ke Buton. Sebagai gantinya, Wialayah pesisir Barat Buton bagian Utara yaitu Wakorumba dan Kambowa diserahkan pada Muna. Termasuk dalam perjanjian itu kesepakatan untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar ( La kimi- Sejarah Muna, Jaya pres Raha).
Hubungan persaudaraan di antara kedua Kerajaan- kerjajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO, terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun, Setelah Kesultanan Buton bekerja sama dengan Kolonial Belanda dan dalam kerangka politik pecah belah, pemerintah kolonial Belanda bersama Sultan Buton LA ODE FALIHI, secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 (Jules Couvreur , Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna- Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2001).
Perjanjian sepihak tersebut tidak pernah diakui oleh Raja Muna. perlawanan terhadap perjanjian Korte Verklaring ditunjukan oleh raja Muna LA ODE DIKA gelar OMPUTO KOMASIGINO yang tidak mematuhi perjanjian tersebut termasuk membayar pajak kepada Sultan Buton seperti yang diatur dalam perjanjian Korte Verklaring . Raja Muna LA ODE DIKA juga tidak mau tunduk saat bertemu dengan Sultan Buton. Bahkan LA ODE DIKA mengangkat telunjuknya seakan mengancam saat bertemu dengan Sultan Buton di Istana Sultan Buton. Sikap Raja LA ODE DIKA tersebut oleh Sultan Buton di adukan kepada penguasa colonial Belanda di Makassar. Akibatnya LA ODE DIKA di pecat kemudian penguasa colonial Belanda di makkasar menunjuk LA ODE PANDU sebagai Raja Muna menggantukan LA ODE DIKA.
LA KILAPONTO / SULTAN MURHUM / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS Putra Raja Muna SUGIMANURU Yang Agung mengakhiri masa pemerintahannya di Kesultanan Buton karena wafat tahun 1584 setelah memerintah lebih kurang 46 tahun ( sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan sebagai Sultan I selama 43 tahun ), dan menjadi Raja Muna selama tiga tahun ( (1488- 1491 M ),. Setelah LA KILAPONTO / SULTAN MURHUMIN / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS meninggal dunia, Sara Kesultanan Buton memilih LA TUMPARASI (Sangi Boleka) Putranya dari perkawinannya dengan Putri Raja JAMPEA ( Suku Bajo ? ) sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga.




BAB VIII
SEJARAH PEMBENTUKAN KABUPATEN MUNA
Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna seiring dengan perjuangan pembentukan propinsi Sulawesi tengara. Dalam perjuangan ini dilakukan secara sinergis antara tokoh muda dan tokoh tua baik yang ada di muna ataupun yang ada diperantauan, baik perorangan maupun organisasi.
Tokoh Muda seperti Idrus Efendi, Halim Tobulu, La Ode Enda  dan La Ode Taeda Ahmad dikenal sangat gigih memperjuangkan pembentukan Kabupaten Muna. dan Propinsi Sulawesi Tenggara.
Dengan oraganisasi para militer yang dibentuknya seperti  Batalyon SADAR ( Sarekat Djasa Rahasia) dan Barisan 20 mereka terus menggalang dukungan guna perwujudan pembentukan kabupaten Muna dan Propinsi Sulawesi Tenggara.
Bataliyon SADAR dan Barisan 20 pada awalnya dibentuk untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan sekutu ( NICA ) yang diboncengi Belanda yang mencoba kembali untuk melakukan penjajahan terhadap Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945. Dengan Jiwa patriotisme yang tinggi Tokoh-Tokoh Muna tersebut melakukan perlawanan melalui gerakan bawah tanah dan perang terbuka. Tujuannya adalah mengusir  kolonial tersebut dari bumi Indonesia dalam hal ini termasuk di Muna.
A.Fase I (Pertama), Pemerintahan Swapraja
Pemerintahan Muna pada fase ini berstatus Swapraja dengan raja yang terakhir Laode Pandu yang dilantik oleh pemangku adat menjadi Raja Muna tanggal 24 Februari 1947 di Kota Wuna. Pada fase ini tidak dapat dilepaskan dengan perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.  Para pejuang Muna dengan dipelopori tokoh-tokoh Muna melakukannya dengan  cara-cara yang lebih cerdik.  Para tokoh dan rakyat pejuang daerah Muna baik perorangan maupun organisasi perjuangan antara lain Batalyon Sadar (Serikat Djasa Rahasia), Barisan 20 dan lain-lain. Mereka dipimpin oleh para tokoh dianataranya, Laode Muh Idrus Efendy dengan nama samaran Sitti Goladria, Laode Enda Anwar dengan nama samaran Soneangka, Laode Taeda Ahmad dan Halim Toboeloe. S
B.Fase II (Kedua), Pemerintahan Kewedanan
Pada fase ini ditandai dengan dibubarkan Daerah Afdeling Buton dan Laiwoi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara Nomor 18 Tahun 1951 tanggal 20 Oktober 1951. Ini didasrakan Peraturan Pemerintah (Permen) Nomor 34 Tahun 1952 tentang pembentukan 7 (tujuh) Daerah Administratif Sulawesi Tenggara, pemerintahan Muna beralih status menjadi Kewedanan bersama-sama dengan Kewedanan Buton, Kendari, dan Kolaka. Masing-masing Kewedanan dipimpin oleh seorang KPN (Kepala Pemerintahan Negeri). Dan dalam sejarahnya Kewedanan Muna dipimpin, oleh :
1. Abdul Razak,
2. Ngitung,
3. Andi Pawilloi,
4. H Lethe,
5. H Suphu Yusuf,
6.  Andi Jamuddin, dan,
7.  F Latana. 
C.Fase III (Ketiga), Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna
Bupati Sulawesi Tenggara yang kelima adalah Drs Laode Manarfa, tanggal 26 Juni S/D 31 Juli 1954 mengadakan sidang DPRD-SGR Sulawesi Tenggara di Raha, dengan menghasilkan ketetapan-ketetapan antara lain, Kabupaten Sulawesi Tenggara meliputi Kewedanan Kendari, Kolaka, dan Boea Pinang. Hasil keputusan tersebut harus mendapat persetujuan Pemerintah Pusat, sehingga untuk kepentingan perjuangan tersebut, anggota DPRD-SGR Sulawesi Tenggara berangkat ke Jakarta. Delegasi Muna diwakili oleh Laode Ado dan Supphu Yusuf.
Hasil perjuangan tersebut disetujui oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 3 Januari 1955. Berdasarkan ketetapan Menteri Dalam Negeri tentang pembentukan dan pemekaran kabupaten Sulawesi Tenggara menjadi dua Kewedanan, maka terjadilah polemik dan protes dari para tokoh masyarakat dan pemuda baik di Muna maupun di Makassar. Karena tujuan akhir terbentuknya Kewedanan Muna belum terwujud. Protes dan unjuk rasa dilakukan oleh para pemuda Muna baik yang ada di Muna maupun yang ada di Makassar. Unjuk rasa tesebut selalu ditujukan kepada Laode Ado sebagai delegasi Muna yang menghadap kepada Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Raja Muna, Laode Pandu mengadakan rapat pada hari Senin, tanggal 12 September 1955 di Raha yang dihadiri tiga Kepala Distrik, yaitu Kepala Distrik Katobu, Kepala Distrik Kabawo, Kepala Distrik Tongkuno, dan Kepala Distrik Lawa tidak hadir. Selain itu turut pula hadir para Kepala Kampung, Ketua-ketua Partai/Organisasi, Pemuka Masyarakat, dan Pihak Kepolisian. Agenda rapat yakni mendengarkan delegasi DPRD-SGR SULTRA pada bulan Januari 1955, membicarakan tentang status daerah-daerah otonom dan status swapraja. Dan keputusannya antara lain, Muna diperjuangkan untuk menjadi daerah Swatantra dengan otonomi penuh. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka hasil rapat memutuskan memberikan mandat kepada Laode Rasjid dan Laode Ado untuk melaksanakan tugas menyusun program dan menetapkan langkah perjuangan untuk terbentuknya daerah Swatantra Muna, dan membentuk daerah persiapan pembentukan Kabupaten Muna.
Pemberi mandat untuk melaksanakan tugas-tugas dimaksud ditanda tangani oleh sebanyak 102 orang. Selanjutnya, pada tanggal 5 Agustus 1956, para tokoh masyarakat Muna di Makassar yang tergabung dalam PRIM (Persatuan Rakyat Indonesia Muna), membentuk panitia pembentukan kabupaten Muna yang ditanda tangani oleh Laode Walanda sebagai Ketua dan Laode Hatali sebagai sekretaris yang ditujukan kepada MENDAGRI di Jakarta dan Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar dan 13 alamat lainnya
Tanggal 2 September 1956 dibentuk Panitia Dewan Penuntut Kabupaten Muna di Raha dengan Ketua dan Sektretarisnya masing-masing Laode Hibi dan Laode Tuga dan  disetujui oleh Raja Muna. Gelombang penuntutan pembentukan daerah setingkat  Kabupaten juga muncul dari generasi muda Muna yang ada  di Makassar.  Pada tanggal 8 Februari 1958 terbentuk panitiaa penuntutan percepatan pembentukan Kabupaten Muna Muna dengan Ketua La Ode Walanda dan sekretaris  Ando Arifin. Panitia ini kemudian mengutus delegasinya untuk mengahadap MENDAGRI di Jakarta. Delegasi ini dipimpin oleh La Ode Muh. Idrus Efendi.
Tanggal 20 Maret 1958 Pemerintah Swapraja Buton mengeluarkan Surat Pernyataan yang ditanda tangani Sultan Buton Laode Falihi, yang intinya menyetujui terbentuknya Kabupaten Muna. Mengenai batas-batas akan ditetapkan pada perundingan-perundingan yang akan datang.
Sebagai realisasi pernyataan Sultan Buton tersebut maka diadakan rapat bertempat di Pendopo Sri Sultan Buton, yang hadir pada rapat tersebut ialah, Drs Laode Manarfa, Kepala Daerah Sulawesi Tenggara, Laode Falihi, Sultan Buton, Laode Pandu, Raja Muna, Laode A Salam dan Laode Hude masing-masing Kepala Distrik yang diperbantukan pada Kantor Swapraja Buton, sebagai yang mewakili Buton. Hadir juga Laode Muh Shalihin, Kepala Distrik Katobu dan Laode Rianse sebagai Distrik Lawa, mewakili Muna.
Wujud dari pertemuan diatas yang disertai pernyataan-pernyatan Panitia dari tiap tingkat pejabat pemerintah, maka pada tanggal 6 Desember 1958 diutuslah empat orang Delegasi Muna untuk menghadap pemerintah pusat yakni Laode Muh Idrus Efendi, La Sipala, Laode Muh Badia Rere dan Laode Ado. Adapun penyandang dana keberangkatan Delegasi adalah Ham Ahing, Darwis Tungguno dan Wahid Kuntarati
Hasil perjuangan tersebut oleh Mendagri menetapkan, Pulau Sulawesi dibagi 4 (empat) propinsi yaitu Sulawesi utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Pemerintah Pusat mengajukan para delegasi agar dipenuhi syarat-syarat berdirinya propinsi Sulawesi Selatan Tenggara, antara lain Sulawesi Selatan dibagi 4 (empat) Kabupaten, yaitu KPN Kolaka, KPN Kendari, KPN Buton, dan KPN Muna.
Pada tanggal 20 hingga 22 Juli 1959 diadakan rapat raksasa yang dihadiri utusan Buton, Muna, Kendari, Kolaka masing-masing 15 orang, lima orang dari staf Kepala Daerah, empat KPN, dan empat Swapraja. Musyawarah itu dipimpin langsung Laode Manarfa dan dihadiri pula oleh unsur TNI, Abdul Kahar (Kuasa Perang), H Abdul Halik (Buton), Abdul Rahim Daeng Muntu (Muna), H L Lethe (Kendari), Abdul Wahab (Kolaka).
D.Fase IV (Empat), Terbentuknya Kabupaten Muna
Setelah melalui perjuangan yang panjang oleh para tokoh pejuang Muna, dan dilakukan tanpa pamrih dalam menghadapi berbagai tantangan, maka berdasarkan berbagai pertimbangan yang logis dan pertimbangan strategis, oleh pemerintah pusat menindaklanjuti yang ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi, termasuk didalamnya Kabupaten Muna dengan ibukotanya Raha.
Pada awal pengusulan Kabupaten Muna terdiri dari empat Ghoerah (distrik, red) yaitu distrik Katobu, Distrik Lawa, Distrik Kabawo, dan Distrik Tongkuno. Dari empat distrik itu belum memenuhi kriteria untuk membentuk suatu kabupaten, maka diadakan pendekatan dengan beberapa tokoh pada saat itu yaitu tokoh Masyarakat Kulisusu, tokoh Masyarakat Wakorumba, dan tokoh Masyarakat Tiworo Kepulauan, yang pada saat itu ketiga distrik tersebut adalah distrik Kulisusu diwakili oleh Laode Ganiru dan Laode Ago, Distrik Wakorumba diwakili oleh Laode Hami dan Laode Haju, Distrik Tiworo diwakili oleh La Baranti.
Berdasarkan kesepakatan yang utuh dan bulat dari tokoh – tokoh tersebut untuk bergabung dalam pemerintahan Kabupaten Muna, maka doktrin untuk terbentuknya Kabupaten Muna sudah tidak ada masalah lagi.
Dengan terbentuknya Kabupaten Muna, secara administratif dan yuridis pada tanggal 2 Maret 1960, maka para Bupati yang menjabat sebagai Bupati Muna, adalah,:
1.LAODE ABDUL KUDUS    02  Maret  1960  S/D  03 – Maret  1961,
2. LETTU INF. M THOLIB 21 Juni 1961  S/D  13  Juli  1965,
3. LAODE RASYID   11 November 1965  S/D  03  Desember 1970,
4. RS LA UTE   13  Desember 1970  S/D  22  April 1974,
5. DRS LAODE KAIMOEDDIN 22  April 1974  S/D  10 Maret 1981,
6. DRS LAODE SAAFI AMANE 10  Maret 1981 S/D 10  Maret 1986
7. DRS MAOLA DAUD   1986   S/D   1997,
8. KOL ART H M SALEH LASATA 3  Oktober  1997 S/D  1999
9. KOL INF H M DJAMALUDDIN BEDDU  1998  S/D  2000
10.RIDWAN BAE DAN Drs SYARIF ARIFIN S (Bupati dan wakil bupati) periode  2000-2005,
11. RIDWAN BAE DAN Drs H LA BUNGA BAKA PERIODE TAHUN  2005 – 2010
12. Dr. LM.  BAHARUDDIN, M.KES DAN DRS. MALIK DITU, M.Si  2010 2015
 Jabatan Ketua DPRD Kabupaten Muna adalah,
1. PELTU BABASA,
2. KAPTEN MAHMUD A,
3. KOL CHB M YASIN USMAN,
4. KOL. CHK  M A RACHMAN SH,
5. Drs LAODE MARADALA,
6. Hj WA ODE ZAENAB HIBI. 
7. H. UKING DJASA, SH
Di samping para pejabat Bupati Definitif sebagaimana tersebut diatas, maka untuk mengisi kekosongan dalam proses pemilihan Bupati, maka Gubernur Sulawesi Tenggara menunjuk beberapa pelaksana Bupati agar tidak terjadi kefakuman dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan masyarakat. Adapun pelaksana Bupati adalah,
1. La Tana,
2. Laode Saafi Amane,
3. Ahmad Djamaluddin SH,
4. Laode Moh Saleh SH,
5. Drs H Badrun Raona.
Pejabat SEKWILDA sejak terbentuknya Kabupaten Muna adalah,:
1. Drs Laode Arifin,
2. Drs Laode Saifudin Misbah,
3. Drs Muh Kasim Andi,
4. Drs LM Shalihin Sabora,
5. Drs Laode Majid Olo,
6. Drs Laode Nsaha,
7. Drs Muh Yusuf,
8. Drs H Badrun Raona,
9. Drs P Haridin,
10. Drs H Laode Kilo.
11. Zakaruddin, SE
12. DRS. H La Ode Alibasa
13. Dra La Ora, M.Pd




Komentar

  1. tulisan ini menarik tapi tidak ada satu pun sumber yang menjadi pegangan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERANGKA DASAR AJARAN ISLAM

Ekosistem Padang Lamun (Seagrass)