HUKUM ACARA PIDANA
HUKUM ACARA PIDANA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Hukum
Acara Pidana Indonesia sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981, tentang KUHAP, merupakan suatu peraturan yang memuat tentang bagaimana
caranya aparat penegak hukum : Polisi, Jaksa, Hakim dan Penasehat hukum
menjalankan wewenangnya menegakkan hukum pidana materiil (KUHP). Para penegak
hukum harus memperhatikan dua kepentingan hukum secara berimbang yaitu
kepentingan perorangan (Hak seseorang) dengan kepentingan masyarakat dalam
suatu proses beracara pidana.
Sebagai Negara Hukum, Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
perlindungan terhadap warga negara. Hak warga negara dilindungi oleh negara
baik warga negara dalam status tersangka, terdakwa, terpidana ataupun sebagai
warga negara yang bebas, dan tidak membedakan jenis kelamin, umur, suku agama
dan lain-lain. Hak warga negara merupakan hak asasi manusia yang dijamin
didalam ketentuan UUD 45 pada pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J. Selain
didalam UUD 45, perlindungan terhadap hak warga negara dijamin didalam
Undang-undang No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya dikenal dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) serta beberapa Undang-undang lain yang
relevan.
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang
berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan
berdasarkan atas kekuasaan semata-mata. Didalam KUHAP disamping mengatur ketentuan
tentang cara proses pidana juga mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang
yang terlibat proses pidana. Proses pidana yang dimaksud adalah tahap
pemeriksaan tersangka (interogasi) pada tingkat penyidikan dengan memperhatikan
hak-hak tersangka.
Berdasarkan
tujuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang antara lain yaitu (1)
Mencari kebenaran sejati, (2) Melakukan pemeriksaan perkara pidana yang
didasarkan atas hukum, keyakinan dan rasa keadilan masyarakat dan, (3)
melaksanakan putusan atau eksekusi terhadap tersangka yang diputus bersalah.
Berdasarkan pada tujuan HAP diatas, kiranya persoalan sistem pemeriksaan terhadap tersangka akan membawa pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan dimaksud, tanpa mengabaikan hak-hak tersangka/terdakwa
Berdasarkan pada tujuan HAP diatas, kiranya persoalan sistem pemeriksaan terhadap tersangka akan membawa pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan dimaksud, tanpa mengabaikan hak-hak tersangka/terdakwa
1.2.
Rumusan Masalah
-.
Sebarapa jauh tugas pemeriksaan perkara “Tersangka/Terdakwa” dilaksanakan
seperti harapan banyak pihak ditujukan terhadap bekerjanya aparatur penegak
hukum, mampu atau tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat, karena
kecenderungan yang selama ini muncul adalah bahwa peradilan pidana lebih
bersifat formal administratif/birokratis.
-.
Bagaimana penerapan hak-hak tersangka serta
Langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh pihak kepolisian agar hak-hak
tersangka dalam proses penyelidikan tindak pidana benar-benar dapat dipenuhi ?
-.
Dapatkah penyidik
dalam melakukan pemeriksaan permulaan benar-benar menjunjung
tinggi hak-hak tersangka
serta harkat dan martabatnya ? Sebagaimana kita
amati di berbagai media
massa, sering terungkap perlakuan oknum-oknum
polisi bertindak kasar
dan cenderung dapat
melukai tersangka ketika melakukan proses pemeriksaan terhadap
tersangka/terdakwa.
BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan hukum Pidana Formal (Ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang mengatur prosedur agar berlaku pelanggaran dan
kejahatan) dapat dihadapkan kemuka sidang pengadilan adalah sebagai berikut :
- Tindakan–tindakan apa yang harus diambil apabila ada dugaan, bahwa talah terjadi sesuatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang.
- Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang, maka perlu diketahui apa pelakunya dan cara bagaiman melakukan penyelidikan terhadap pelaku.
- Apabila telah diketahui pelakunya maka penyidik perlu menangkap, menahan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan pemulaan atau dilakukan penyelidikan.
- Untuk membuktikan apakah tersangka benar–benar melakukan suatu tindak pidana, maka perlu mengumpulka barang-barang bukti, menggeledah badan dan tempat–tempat serta menyita barang–barang bukti yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut
- Setelah selesai dilaksanakan pemeriksaan permulaan atau penyidikan oleh polisi, maka berkas perkara diserahkan peda kejaksaan negeri, selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.
Atas
dasar sistem di atas, maka tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan
(Pasal 52 dan 184 (1) KUHAP) tidak diperlakukan sebagai Terdakwa (obyek) yang
harus diperiksa, melainkan tersangka dilakukan sebagai subyek, yang artinya
tersangka tidak dapat dipaksa untuk mengaku bersalah dengan cara paksaan,
tekanan ataupun ancaman-ancaman. Ketentuan ini jelas terdapat dalam pasal di
atas (Pasal 52 dan 184 ayat 1) KUHAP, yang intinya menyatakan bahwa tujuan
pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik tidak untuk mendapatkan pengakuan
tersangka tetapi untuk mendapatkan keterangan tersangka mengenai peristiwa
pidana yang dipersangkakan kepadanya.
Secara
khusus, KUHAP telah mengatur pada Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa dan Bab
VII tentang Bantuan Hukum. Ketentuan–ketentuan lainnya yang menjamin hak-hak
tersangka juga tersebar dalam pasal-pasal lain dalam KUHAP seperti dalam hal
pra peradilan ataupun dalam ganti kerugian akibat upaya paksa yang melawan
hukum. Selain itu dalam UU PSK, khususnya dalam Pasal 5 ayat (1) telah
merinci dengan cukup baik hak–hak saksi/korban selama menjalani pemeriksaan
baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
Pengadilan.
Dalam
KUHAP dibedakan mengenai istilah “ Tersangka” dan “Terdakwa” perbedaan tersebut
dapat ditemukan pada ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal I angka 14
dan 15 KUHAP yang menentukan bahwa :
- Tersangka
adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana ( pasal 1 angka 14 KUHAP)
- Terdakwa
adalah seorang tersangka yang dituntut, di periksa dan diadili di siding
pengadilan. (Pasal 1 angka 15 KUHAP).
Dari
ketentuan tersebut dapatlah dijabarkan bahwa apabila seseorang diduga melakukan
suatu tindak pidana kemudian dilakukan penyelidikan oleh pihak Kepolisian dan
selanjutnya berkas perkara (BAP) diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum m aka
status orang tersebut masih sebagai “tersangka” sedangkan apabila perkara itu
telah dilimpahkan kepengadilan untuk diperiksa, dituntut dan diadili maka
berubahlah status “Tersangka” menjadi “Terdakwa”.
Pada
pemeriksaan tersangka, seorang penyelidik harus memperhatikan keterangan yang
berlaku dan tidak boleh bertindak diluar keterangan tersebut, salah satu
ketentuan tersebut mengenai hak-hak tersangka di dalam pemeriksaan Seorang
tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan perbuatan pidana
menurut hukum positif yang berlaku harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Dalam rangka mempertanggung jawabkan perbuatannya itu, maka seorang tersangka
atau terdakwa harus melalui proses pemeriksaan dalam dua tingkat yaitu :
1. Pemeriksaan
pendahuluan
Adalah pemeriksaan tahap awal terhadap
seorang tersangka yang dilakukan oleh penyidik.
Kedudukan dari seorang tersangka dalam pemeriksan pendahuluan
menurut sistem H.I.R, adalah sebagai obyeknya yang harus diperiksa atau obyek
pemeriksaan artinya sebagai barang yang harus diperiksa ujudnya berhubung
dengan adanya suatu persangkaan. Berdasarkan KUHAP, maka kedudukan seorang
tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan adalah sebagai subyek yang mempunyai
hak – hak tertentu untuk melakukan pembelaan dirinya dengan dibantu oleh
seorang penasihat hukum ( pasal 54 KUHAP ). Didalam KUHAP tidak mengenal adanya
pemeriksaan lanjutan yang dilakukan oleh jaksa sebab jika ada kekurangan dalam
pemeriksaan pendahuluan, maka untuk kelengkapan pemeriksaan tersebut jaksa selaku
penuntut umum wajib menyerahkan kembali berkas perkara kepada penyidik dengan
disertai petunjuk – petunjuk untuk dilengkpinya.
2. Pemeriksaan
persidangan
Adalah pemeriksaan terhadap seorang
terdakwa didepan sidang pengadilan, dimana hakim
mengadili perkara yang diajukan kepadanya.
Pemeriksaan persidangan ini berarti serangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa
dan memutus perkara pidana, berdasarkan pada azas bebas, jujur dan tidak
memihak di sidang pengadilan. Pada persidangan ini terdakwa bebas memilih
penasihat hukum untuk membantu terdakwa apabila hakim yang memeriksa menyalahi
wewenang dan juga mengarah berat sebelah dengan penuntutan, sehingga akan
merugikan hak azasi terdakwa dan terdakwa akan kehilangan hak azasinya. Peranan
penasihat hukum membantu melancarkan persidangan dan berusaha sekuat dan segala
kemampuannya untuk membantu meringankan penderitaan terdakwa dan kalau bisa
membebaskan dari segala tuntutan jaksa.
.
Dalam pemeriksaan
persidangan yang dihadapi ialah sistem acusatoir, dimana terdakwa
mempunyai hak
yang sama nilainya dengan penuntut umum, sedangkan hakim berada diatas
keduabelah
pihak untuk menyelesaikan perkara pidana antara mereka menurut peraturan hukum
pidana yang
berlaku. Dimana acara pemeriksaan dibagi dalam 3 bagian yaitu :
1. Acara
Pemeriksaan Biasa.
Apabila
pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara yang diajukan kepadanya termasuk
wewenangnya,
maka ketua pengadilan negeri menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara
tersebut dan
hakim yang bersangkutan menetapkan hari sidang, memeritahkan penuntut umum
memanggil
terdakwa dan saksi untuk datang dipersidangan dengan surat panggilan yang sah
yang harus deterima yang bersangkutan selambat – lambatnya tiga hari sebelum
sidang. ( pasal 145, pasal 146, pasal 152, UU, No.8 th 1981 ). Acara
pemeriksaan biasa diatur dalam pasal 152
sampai dengan
pasal 182 KUHAP, sebagai berikut :
Acara
pemeriksaan biasa dimulai dengan pembukaan sidang oleh hakim ketua sidang yang
menyatakan
sidang dibuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya
anak– anak yang menurut undang – undang harus disidangkan secara tertutup. Yang
lebih dahulu diperiksa dalam sidang pengadilan adalah terdakwa, lalu saksi
korban, lalu saksi-
saksi lain baik
yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa. Penuntut umum dan
penasihat hukum
mendapat kesempatan bertanya juga. Apabila dalam suatu perkara ada lebih
seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, maka
pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilakukan. Pada permulaan
sidang, hakim ketua menanyakan identitas terdakwa secara lengkap dan
mengingatkan agar terdakwa memperhatikan segala yang didengar dan dilihat dalam
sidang. Kemudian hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan
surat dakwaan dan menanyakan kepada terdakwa apakah sudah mengerti tentang
dakwaan itu. Apabila tidak mengerti, maka penuntut umum atas permintaan hakim
ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan. Selanjutnya terdakwa
atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak
berwenang memeriksa perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan dan kepada penuntut umum diberi kekuasaan untuk
menanyakan pendapatnya. Atas keberatan tersebut hakim mempertimbangkan dan
untuk selanjutnya mengambil keputusan. Apabila hakim menyatakan keberatan
tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, dan apabila
tidak diterima atau hakim berpendapat hat tersebut baru dapat diputus setelah
selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Apabila penuntut umum
berkeberatan terhadap keputusan hakim tersebut, maka ia dapat mengajukan
perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan
terhadap
keputusan hakim tersebut kepada pengadila tinggi dan dalam waktu empat belas
hari
sejak
diajukannya perlawanan tersebut apabila pengadilan tinggi
menerimanya, maka
dengan surat
penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan
negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu. Perlawanan terdakwa tersebut
dapat diajukan bersama – sama dengan permintaan banding. Apabila pengadilan
yang berwenang memeriksa perkara itu berkedudukan didaerah hukum pengadilan
tinggi
lain, maka
kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut kepada kejaksaan negeri dalam
daerah hukum pengadilan negeri yang berwenang ditempat itu.
Keputusan hakim
dapat berupa salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu :
-. Pembebasan
atau putusan bebas, jika kesalahan terdakwa tidak terbukti.
-. Lepas dari
tuntutan hukum, jika perbuatan terdakwa terbukti tetapi bukan merupakan tindak
pidana.
-. Pemidanaan
atau pidan, jika kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan.
2. Acara
Pemeriksaan Singkat.
Yang diperiksa
menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang
tidak termasuk tidak pidana ringan dan penghinaan ringan serta yang menurut
penuntut umum pembuktian serta penetapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
( pasal 203 UU No.8 tahun 1981 ). Acara pemeriksaan singkat tersebut diatur
dalam pasal 203 dan pasal 204 KUHAP. Putusan acara pemeriksaan singkat tidak
dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang. Hakim
memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut. Isi surat tersebut
mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan dalam acara
biasa.
3. Acara
Pemeriksaan Cepat.
Acara
pemeriksaan cepat dibagi menjadi dua yakni :
a. Acara
Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan :
Yang akan diperiksa menurut acara
pemeriksaan tindak pidana ringan adalah
perkara yang
diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak – banyaknya tujuh ribu rupian
dan penghinaan ringan. (pasal 205 UU No.8 tahun 1981). Acara pemeriksaan tindak
pidana ringan diatur dalam pasal 205 sampai dengan pasal 210 KUHAP.
b. Acara
Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu – Lintas Jalan :
Yang diperiksa dalam acara pemeriksaan
tersebut adalah perkara pelanggaran tertentu
terhadap peraturan perundang-undangan
lalu-litas jalan. ( pasal 211 UU No.8 tahun 1981)
Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu
– lintas jalan diatur dalam pasal 211 sampai
dengan 216 KUHAP.
Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970
tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman dan Undang-Undang no. 8 tahun 1981, tentang
KUHAP (pasal 5 s/d pasal 8) dinyatakan hak-hak asasi manusia harus dijunjung
tinggi dan mendapatkan perlindungan dalam Negara yang berdasarkan Pancasila dan
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Diantara azas-azas tersebut, terdapat
satu azas yaitu azas praduga tak bersalah atau (Presumption of innocent). Azas
ini pada dasarnya menyatakan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut dan atau dihadapkan di muka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya yang memperoleh
kekuatan hukum tetap”. Maksud dari tujuan azas tersebut dapat diterangkan bahwa
sebelum seseorang tersangka/terdakwa harus dan wajib diperlakukan sebagai orang
yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hak-hak tersangka, harkat dan martabat
tersangka sebagai manusia harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh petugas
penyidik. Dalam Konteks ini, proses interogasi/menggali keterangan dari
tersangka, tidak boleh dilakukan dengan melanggar hak-hak tersangka, apalagi
melanggar harkat dan martabat tersangka sebagai manusia.
Persoalannya sekarang adalah dapatkah penyidik dalam melakukan pemeriksaan permulaan benar-benar menjunjung tinggi hak-hak tersangka serta harkat dan martabatnya ? Sebagaimana kita amati di berbagai media massa, sering terungkap perlakuan oknum-oknum polisi bertindak kasar dan cenderung dapat melukai tersangka ketika melakukan proses pemeriksaan terhadap tersangka.
Persoalannya sekarang adalah dapatkah penyidik dalam melakukan pemeriksaan permulaan benar-benar menjunjung tinggi hak-hak tersangka serta harkat dan martabatnya ? Sebagaimana kita amati di berbagai media massa, sering terungkap perlakuan oknum-oknum polisi bertindak kasar dan cenderung dapat melukai tersangka ketika melakukan proses pemeriksaan terhadap tersangka.
Pemeriksaan perkara pidana di Indonesia
dilakukan secara normatif
(substantif) menunjuk kepada
peraturan induknya yang
termaktub dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
(KUHAP), beserta
aturan lainnya yang memiliki
keterkaitan dengan
ketentuan tersebut.
Tahapan pemeriksaan menurut KUHAP dapat digambarkan sebagai
berikut :
1. Tahap Penyelidikan
2. Tahap Penyidikan
3. Tahap Penuntutan
4. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
5. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa
6. Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Eksekusi)
1. Tahap Penyelidikan
2. Tahap Penyidikan
3. Tahap Penuntutan
4. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
5. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa
6. Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Eksekusi)
Penggunaan
psikologi dalam proses pemeriksaan tersangka merupakan salah satu cara yang
harus dilakukan oleh seorang penyidik, melalui pendekatan kejiwaan tersangka
untuk memperoleh keterangan dari tersangka tanpa unsur paksaan. Umumnya
pemeriksaan dengan penggunaan psikologi tidak diatur dalam KUHAP, tetapi
seorang penyidik dituntut untuk mengenal mental, watak dan karakteristik
tersangka yang diperiksanya. Dengan mengenal mental, watak dan karakteristik
tersebut seorang penyidik dapat mengetahui pendekatan apa yang cocok digunakan
kepada tersangka. Pada penelitian ini penulis telah melakukan rumusan masalah.
Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut : “ Bagaimana proses
pemeriksaan tersangka pada tahap penyidikan menurut KUHAP Dan bagaimana peran
psikologi dalam pemeriksaan tersangka pada proses penyidikan kaitannya dengan
Pasal 52 dan 117 KUHAP”. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran
yang jelas bagaimana proses pemeriksaan tersangka menurut KUHAP dan penggunaan
psikologi dalam proses pemeriksaan tersangka. Penelitian ini bersumber dari
data yang penulis peroleh berasal dari data primer yang merupakan data yang
diperoleh dari Polres Langkat melalui riset langsung dilapangan, dengan
wawancara dan melihat pemeriksaan tersangka. Disamping itu penulis memperoleh
data sekunder dengan membaca buku-buku dan bacaan yang berhubungan dengan
penelitian ini. Metode ini digunakan penulis untuk menganalisa data dalam
penulisan skripsi ini adalah metode analisa korelasi yaitu analisa untuk
mencari apakah psikologi digunakan dalam proses pemeriksaan tersangka.
Pendekatan psikologi diterapkan proses pemeriksaan tersangka, hal ini dimaksud
untuk mempermudah memperoleh keterangan dari tersangka yang sebenar-benarnya
tanpa adanya unsur paksaan, sesuai dengan Pasal 52 dan 117 KUHAP yang
memberikan hak kepada tersangka atau saksi
untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan.
Tahapan pemeriksaan tersangka diatur secara rinci dalam KUHAP yang pada prinsipnya memberikan kewenangan tertentu kepada lembaga administratif-birokratis untuk melaksanakan sistem, mekanisme aturan, serta menjamin hak tersangka dalam proses pemeriksaan. Penyidik dalam melaksanakan tugasnya dalam pemeriksaan tersangka/terdakwa menggunakan asas praduga tak bersalah. Dimana asas praduga tak bersalah disini bila ditinjau dari segi teknis yuridis maupun dari segi teknis penyidikan dinamakan prinsip akusator atau accusatory procedure (accusatorial system). Prinsip akusator adalah menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan tersangka/terdakwa :
Tahapan pemeriksaan tersangka diatur secara rinci dalam KUHAP yang pada prinsipnya memberikan kewenangan tertentu kepada lembaga administratif-birokratis untuk melaksanakan sistem, mekanisme aturan, serta menjamin hak tersangka dalam proses pemeriksaan. Penyidik dalam melaksanakan tugasnya dalam pemeriksaan tersangka/terdakwa menggunakan asas praduga tak bersalah. Dimana asas praduga tak bersalah disini bila ditinjau dari segi teknis yuridis maupun dari segi teknis penyidikan dinamakan prinsip akusator atau accusatory procedure (accusatorial system). Prinsip akusator adalah menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan tersangka/terdakwa :
1.
adalah sebagai subyek ; bukan sebagai obyek pemeriksaan oelh karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan
atau diperlakukan dalam kedudukan manusian yang berharkat, martabat dan harga
diri,
2. yang menjadi obyek dalam proses pemeriksaan
tersangka/terdakwa dalam prinsip akusaror adalah kesalahan (tindak pidana),
yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa maka kearah itulah pemeriksaan
dilakukan.
.
Berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam KUHAP maka terdapat beberapa pihak
yang terlibat dalam proses pemeriksaan
perkara pidana, yakni :
1. Tersangka/Terdakwa
2. Penyidik dan Penyelidik
3. Jaksa Penuntut Umum
4. Penasehat Hukum/Advokat
5. Hakim
1. Tersangka/Terdakwa
2. Penyidik dan Penyelidik
3. Jaksa Penuntut Umum
4. Penasehat Hukum/Advokat
5. Hakim
Hukum
Acara Pidana Indonesia sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981, tentang KUHAP, merupakan suatu peraturan yang memuat
tentang bagaimana caranya aparat
penegak hukum : Polisi, Jaksa,
Hakim dan Penasehat
hukum menjalankan wewenangnya
menegakkan hukum pidana materiil (KUHP).
Para penegak hukum harus
memperhatikan dua kepentingan hukum secara berimbang yaitu kepentingan
perorangan (Hak seseorang) dengan kepentingan masyarakat dalam suatu proses
beracara pidana. .
Berdasarkan tujuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang antara lain yaitu (1) Mencari kebenaran sejati, (2) Melakukan pemeriksaan perkara pidana yang didasarkan atas hukum, keyakinan dan rasa keadilan masyarakat dan, (3) melaksanakan putusan atau eksekusi terhadap tersangka yang diputus bersalah.
Berdasarkan pada tujuan HAP diatas, kiranya persoalan sistem pemeriksaan terhadap tersangka akan membawa pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan dimaksud. Dalam konteks ini, KUHAP membagi dua sistem pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa yaitu : (a) pemeriksaan permulaan (pendahuluan) yang dilakukan oleh kepolisian/penyidik dan (b) pemeriksaan persidangan yang dilakukan oleh hakim.
Dalam sistem pemeriksaan permulaan, ketentuan KUHAP menganut azas pemeriksaan Inquisitor Lunak artinya bahwa dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka boleh didampingi oleh Penasehat Hukum yang mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif yakni Penasehat hukum diperkenankan untuk melihat, mendengar dan memberikan petunjuk dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka. Dalam praktek, pemeriksaan dalam sistem Inquisitor Lunak ini, tersangka boleh meminta kepada Penasehat Hukum penjelasan-penjelasan tentang maksud dari pertanyaan-pertanyaan dari penyidik, terutama terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya“menjerat”.
Atas dasar sistem di atas, maka tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan (Pasal 52 dan 184 (1) KUHAP) tidak diperlakukan sebagai Terdakwa (obyek) yang harus diperiksa, melainkan tersangka dilakukan sebagai subyek, yang artinya tersangka tidak dapat dipaksa untuk mengaku bersalah dengan cara paksaan, tekanan ataupun ancaman-ancaman. Ketentuan ini jelas terdapat dalam pasal di atas (Pasal 52 dan 184 ayat 1) KUHAP, yang intinya menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik tidak untuk mendapatkan pengakuan tersangka tetapi untuk mendapatkan keterangan tersangka mengenai peristiwa pidana yang dipersangkakan kepadanya. .
Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman dan Undang-Undang no. 8 tahun 1981, tentang KUHAP (pasal 5 s/d pasal 8) dinyatakan hak-hak asasi manusia harus dijunjung tinggi dan mendapatkan perlindungan dalam Negara yang berdasarkan Pancasila dan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Diantara azas-azas tersebut, terdapat satu azas yaitu azas praduga tak bersalah atau (Presumption of innocent). Azas ini pada dasarnya menyatakan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya yang memperoleh kekuatan hukum tetap”. Maksud dari tujuan azas tersebut dapat diterangkan bahwa sebelum seseorang tersangka/terdakwa harus dan wajib diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hak-hak tersangka, harkat dan martabat tersangka sebagai manusia harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh petugas penyidik. Dalam Konteks ini, proses interogasi/menggali keterangan dari tersangka, tidak boleh dilakukan dengan melanggar hak-hak tersangka, apalagi melanggar harkat dan martabat tersangka sebagai manusia. .
Pemeriksaan Tersangka maupun Saksi di Kepolisian pada dasarnya diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan juga UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU PSK”). Selain kedua UU tersebut, ada juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”) yang pada dasarnya mengamanatkan dalam Bab V tentang Pembinaan Profesi. Turunan dalam UU Kepolisian tersebut di antaranya adalah Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 7/2006”) dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 8/2009”).
Berdasarkan tujuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang antara lain yaitu (1) Mencari kebenaran sejati, (2) Melakukan pemeriksaan perkara pidana yang didasarkan atas hukum, keyakinan dan rasa keadilan masyarakat dan, (3) melaksanakan putusan atau eksekusi terhadap tersangka yang diputus bersalah.
Berdasarkan pada tujuan HAP diatas, kiranya persoalan sistem pemeriksaan terhadap tersangka akan membawa pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan dimaksud. Dalam konteks ini, KUHAP membagi dua sistem pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa yaitu : (a) pemeriksaan permulaan (pendahuluan) yang dilakukan oleh kepolisian/penyidik dan (b) pemeriksaan persidangan yang dilakukan oleh hakim.
Dalam sistem pemeriksaan permulaan, ketentuan KUHAP menganut azas pemeriksaan Inquisitor Lunak artinya bahwa dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka boleh didampingi oleh Penasehat Hukum yang mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif yakni Penasehat hukum diperkenankan untuk melihat, mendengar dan memberikan petunjuk dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka. Dalam praktek, pemeriksaan dalam sistem Inquisitor Lunak ini, tersangka boleh meminta kepada Penasehat Hukum penjelasan-penjelasan tentang maksud dari pertanyaan-pertanyaan dari penyidik, terutama terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya“menjerat”.
Atas dasar sistem di atas, maka tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan (Pasal 52 dan 184 (1) KUHAP) tidak diperlakukan sebagai Terdakwa (obyek) yang harus diperiksa, melainkan tersangka dilakukan sebagai subyek, yang artinya tersangka tidak dapat dipaksa untuk mengaku bersalah dengan cara paksaan, tekanan ataupun ancaman-ancaman. Ketentuan ini jelas terdapat dalam pasal di atas (Pasal 52 dan 184 ayat 1) KUHAP, yang intinya menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik tidak untuk mendapatkan pengakuan tersangka tetapi untuk mendapatkan keterangan tersangka mengenai peristiwa pidana yang dipersangkakan kepadanya. .
Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman dan Undang-Undang no. 8 tahun 1981, tentang KUHAP (pasal 5 s/d pasal 8) dinyatakan hak-hak asasi manusia harus dijunjung tinggi dan mendapatkan perlindungan dalam Negara yang berdasarkan Pancasila dan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Diantara azas-azas tersebut, terdapat satu azas yaitu azas praduga tak bersalah atau (Presumption of innocent). Azas ini pada dasarnya menyatakan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya yang memperoleh kekuatan hukum tetap”. Maksud dari tujuan azas tersebut dapat diterangkan bahwa sebelum seseorang tersangka/terdakwa harus dan wajib diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hak-hak tersangka, harkat dan martabat tersangka sebagai manusia harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh petugas penyidik. Dalam Konteks ini, proses interogasi/menggali keterangan dari tersangka, tidak boleh dilakukan dengan melanggar hak-hak tersangka, apalagi melanggar harkat dan martabat tersangka sebagai manusia. .
Pemeriksaan Tersangka maupun Saksi di Kepolisian pada dasarnya diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan juga UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU PSK”). Selain kedua UU tersebut, ada juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”) yang pada dasarnya mengamanatkan dalam Bab V tentang Pembinaan Profesi. Turunan dalam UU Kepolisian tersebut di antaranya adalah Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 7/2006”) dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 8/2009”).
Dalam
praktek pemeriksaan perkara pidana hal yang paling mendasar di kedepankan
adalah mengenai hak-hak tersangka/terdakwa
baik dari tingkat penyidikan sampai dengan tingkat peradilan. Mengenai
hal ini, KUHAP telah memberikan jaminan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa
antara lain :
1.
Hak
untuk dengan segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik, diajukan ke Penuntut
Umum dan perkaranya dilimpahkan ke pengadilan untuk diadili (Pasal 50 ayat (1),
(2) dan (3) KUHAP).
2.
Hak agar diberitahukan secara jelas dengan
bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya dan
didakwakan pada waktu pemeriksaan (Pasal 51 butir (a) dan (b) KUHAP).
3.
Hak untuk memberikan keterangan secara bebas
kepada penyidik dan kepada hakim pada waktu tingkat penyidikan dan pengadilan
(Pasal 52 KUHAP).
4.
Hak untuk mendapatkan juru bahasa (Pasal 53
ayat (1) KUHAP).
5.
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum guna
kepentingan pembelaan selama dan waktu dan setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54
KUHAP).
6.
Hak untuk memilih penasehat hukumannya sendiri
(Pasal 55 KUHAP) serta dalam hal tidak mampu berhak didampingi penasehat hokum
secara cuma-cuma/prodeo sebagaimana dimaksudkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan
(2) KUHAP.
7.
Hak tersangka apabila ditahan untuk dapat
menghubungi penasehat hokum setiap saat diperlukan dan hak tersangka/terdakwa
warga Negara asing untuk menghubungi berbicara dengan perwakilan negaranya
(Pasal 57 ayat (1) dan (2) KUHAP.
8.
Hak tersangka atau terdakwa apabila di tahan
untuk menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya (Pasal 58 KUHAP)
9.
Hak agar diberitahukan kepada keluarganya atau
orang lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa apabila ditahan untuk
memperoleh bantuan hokum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak berhubungan
dengan keluarga sesuai maksud diatas (Pasal 59 dan Pasal 60 KUHAP)
10. Hak
tersangka atau terdakwa secara langsung atau dengan perantaraan penasehat
hukumnya menerima kunjungan sanak saudraanya guna kepentingan pekerjaan atau
kekeluargaan (Pasal 61 KUHP)
11. Hak
tersangka atau terdakwa mengirim atau menerima surat dengan penasehat hukumnya
(Pasal 62 KUHP)
12. Hak
tersangka atau terdakwa menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63
KUHAP).
13. Hak agar
terdakwa diadili di sidang pengadilan secara terbuka untuk umum (Pasal 64
KUHAP)
14. Hak
tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli a de charge (Pasal 65
KUHAP)
15. Hak
tersangka atau terdakwa agar tidak
dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP)
16. Hak
tersangka atau terdakwa mendapatkan ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68
jo Pasal 95 ayat (1) jo Pasal 97 ayat (1) KUHAP)
17. Hak terdakwa mengajukan keberatan tentang tidak
berwewenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat di terima atau surat
dakwaan harus dibatalkan (Pasal 156 ayat (1) KUHAP)
18. Hak
terdakwa untuk mengajukan banding. Kasasi dan melakukan peninjauan kembali
(Pasal 67 jo Pasal 233, Pasal 244 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP).
Aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi
dan wewenang penegakan hukum tidak boleh berorientasi pada kekuasaan
semata-mata. Pelaksanaan KUHAP harus berdasarkan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban
masyarakat. Hal ini berarti bahwa aparat penegak hukum harus menempatkan diri
pada keseimbangan yang serasi antara orientasi penegakan hukum dan perlindungan
ketertiban masyarakat dengan kepentingan dan perlindungan hak-hak asasi
manusia. Aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum harus menghindari
perbuatan melawan hukum yang melanggar hak-hak asasi manusia dan setiap saat
harus sadar dan berkewajiban untuk mempertahankan kepentingan masyarakat
sejalan dengan tugas dan kewajiban menjunjung tinggi martabat manusia (human
dignity) dan perlindungan individu (individual protection)
Dalam penjelasan umum butir 3 huruf (c) KUHAP
ditegaskan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum yang tetap”. Asas praduga tak bersalah tersebut sebelumnya juga diatur
dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970.5
Asas praduga tak bersalah ini jika ditinjau
dari segi teknis juridis ataupun dari segi teknis penyidikan merupakan
penerapan acquisitoir yaitu yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam
semua tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek
pemeriksaan. tersangka/terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam
kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri. Sedangkan
obyek pemeriksaan dalam asasacquisitoir adalah kesalahan atau perbuatan pidana
yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa, maka ke arah itulah pemeriksaan harus
ditujukan.
Sebagai lawan atau pengecualian dari
asasacquisitoir adalah asas inquisitoir yang menempatkan tersangka/terdakwa
dalam pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang.
Sistim pemeriksaan seperti ini tidak dibenarkan dalam KUHAP karena
tersangka/terdakwa tidak diberikan kesempatan secara wajar untuk mempertahankan
hak dan kebenarannya. Mereka diperlakukan seolah-olah telah bersalah dan
tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai obyek tanpa memperdulikan hak-hak asasi
manusia dan haknya untuk membela martabat serta kebenaran yang dimilikinya.
Sebagai jaminan ditegakkan asas praduga tak
bersalah dalam KUHAP, maka KUHAP telah memberikan jaminan yang tegas mengatur
tentang hak-hak tersangka yaitu antara lain:
1. Pasal 50
ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan
oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan ke penuntut umum”.
2.
Pasal 50 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak perkaranya segera
dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum” dan Pasal 50 ayat (3) KUHAP
menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan”.
3. Pasal 51
ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan
jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan
kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai”.
4. Pasal 51
ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan
jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan
kepadanya”.
5. Pasal 52
KUHAP menegaskan bahwa: ”Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan
pengadilan, tersangka/terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada
penyidik atau hakim”.
6. Pasal 53
ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa
Indonesia, hakim atau ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah
atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan”.
7.Pasal 54
KUHAP menegaskan bahwa: ”Guna kepentingan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam
waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan
dalam undang-undang ini”.
8. Pasal 55
KUHAP menegaskan bahwa: ”Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam pasal
54, tersangka/terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya”.
9. Pasal 56 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa:
”Setiap penasihat hukum yang akan
ditunjuk memberikan bantuannya dengan
cuma-cuma”.
10. Pasal 58
KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan
kesehatan baik yang ada hubungannya dengan pross perkara maupun tidak”.
11. Pasal 59
KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada
semua tingkat pemeriksaan dalm proses peradilan, kepada keluarganya atau orang
lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya
dibutuhkan oleh tersangka/terdakwa untuk mndapatkan bantuan hukum atau jaminan
bagi penangguhannya”.
12.Pasal 60
KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan
tersangka/terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun
usaha mendapatkan bantuan hukum”.
13.Pasal 61
KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak secara langsung atau dengan
perantaraan penasihat hukumnya menghubungi atau menerima kunjungan sanak
keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara
tersangka/terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan
kekeluargaan”.
14. Pasal 62
ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak mengirimkan surat
kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak
keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi
tersangka/terdakwa disediakan alat tulis menulis”.
15.Pasal 62
ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Surat menyurat antara tersangka/terdakwa
dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik,
penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat
cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan”.
16.Pasal 64
KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan
yang terbuka untuk umum”.
17.Pasal
65 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau
seseorang yang memilik keahlian
khusus guna memberikan keterangan
yang menguntungkan bagi dirinya”.
18.Pasal
66 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa dibebani kewajiban pembuktian”.
19.Pasal
68 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak menuntut ganti kerugian
dan rehabilitasi”.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pemeriksaan
perkara pidana di Indonesia secara normatif (substantif) menunjuk kepada
peraturan induknya yang termaktub dalam Undang-Undang no. 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), beserta aturan lainnya yang
memiliki keterkaitan dengan ketentuan tersebut. Tahapan pemeriksaan menurut
KUHAP dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Tahap penyelidikan
2. Tahap penyidikan
3. Tahap penuntutan
4. Tahap pemeriksaan di siding pengadilan
5. Upaya hokum biasa dan luar biasa
6. Pelaksanaan putusan pengadilan (Eksekusi)
Tahap
pemeriksaan ini diatur secara rinci dalam KUHAP yang pada prinsipnya memberikan
kewenangan tertentu pada lembaga administratif-birokratis untuk melaksanakan
sistem, mekanisme aturan, serta menjamin hak tersangka dalam proses pemeriksaan.
Pada kondisi demikian peradilan memiliki kekuasaan luar biasa besar, mulai dari
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan.
Titik pangkal pemeriksaan di hadapan penyidik adalah
tersangka karena dari
tersangka
diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan
tetapi, sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan tersangka
tidak boleh di pandang sebagai objek pemeriksaan (inkuisator). Tersangka harus
di tempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat serta
harus dinilai sebagai subjek, bukan sebagai objek. Perbuatan tindak pidana
tersangka yang menjadi objek
pemeriksaan, menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 4 tahun 2004, tersangka
harus dianggap tidak bersalah sesuai dengan prinsip hukum “praduga tak
bersalah” sampai dipertoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pada pemeriksaan tersangka, seorang penyelidik harus memperhatikan keterangan
yang berlaku dan tidak boleh bertindak diluar keterangan tersebut, salah satu
ketentuan tersebut mengenai hak-hak tersangka di dalam pemeriksaan.
2. Saran
Melihat pentingnya pemberian bantuan hukum terhadap seorang
tersangka atau terdakwa
dalam serangkaian proses penyelesaian perkara pidana dari penasihat
hukum maka penulis
memberikan saran – saran sebagai berikut :
1.
Sebaiknya dalam setiap pemeriksaan penasihat hukum selalu dihadirkan untuk mendampingi
tersangka atau terdakwa baik ditingkat
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dipengadilan.
2. Sebaiknya
dalam pemeriksaan hak – hak tersangka perlu diperhatikan terutama dalam tingkat penyidikan.
3. Sebaiknya
setiap orang yang melakukan tindak pidana diperlakukan sama, tidak pandang bulu
baik pejabat ataupun rakyat jelata.
4. Hakim
sebagai titik sentral
untuk menentukan putusan terhadap
terdakwa hendaknya dalam menentukan putusan tersebut bersifat obyektif dan
tidak memihak.
5. Hendaknya
didalam proses penegakan hukum diindonesia adalah tidak hanya menjadi
tanggungjawab dari aparat penegak hukum saja akan tetapi menjadi tanggung jawab
kita bersama baik warga masyarakat meupun pemerintah
DAFTAR
PUSTAKA
Hamzah, andi,1984. bunga rampai hukum pidana dan acara pidana.Jakarta:
Ghalia Indonesia
Hamzah, Andi. 1987. Pengantar
Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia
http://id.shvoong.com/portfolio/frmlogin.aspx?ReturnUrl=/law-and-politics/law/2028439-contoh-makalah-ilmu-hukum/&action=AddTags
http://www.pn-nunukan.net/news/74-pra-peradilan-dalam-hukum-indonesia
Komentar
Posting Komentar