MANGROVE
MANGROVE
I.
PENDAHULUAN
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh
di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat
unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan
di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjo yang disebut
akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi
terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob.
Hutan mangrove juga merupakan habitat
bagi beberapa satwa liar yang diantaranya terancam punah, seperti harimau sumatera
(Panthera tigris sumatranensis), bekantan (Nasalis larvatus), wilwo
(Mycteria cinerea), bubut hitam (Centropus nigrorufus), dan bangau tongtong
(Leptoptilus javanicus, dan tempat persinggahan bagi burung-burung migran.
Hutan bakau
atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa
berair payau yang
terletak pada garis
pantai dan
dipengaruhi oleh pasang-surut
air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik. Baik
di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun
di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan
lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan
oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di
tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau
karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Beberapa jenis mangrove yang
terkenal: - Bakau (Rhizopora spp.) -
Api-api (Avicennia spp.) - Pedada (Sonneratia spp.) -
Tanjang (Bruguiera spp.)
Luas dan Penyebaran
Hutan-hutan
bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling
khatulistiwa di wilayah tropika dan
sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta
hektar, merupakan mangrove yang
terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan
Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Di
Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan
merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta
selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan
penduduknya terhadap lahan. Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang
masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua
mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia.
1.
Lingkungan
fisik dan zonasi
|
Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda
terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan
zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:
Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di
pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas
lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan
tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya;
bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut.
Substrat yang lain adalah lumpur dengan
kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan
karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
Terpaan ombak
Bagian
luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering
harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak
seperti bagian dalamnya yang lebih tenang.
Yang agak serupa adalah
bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni
yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak
begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau
juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.
Penggenangan oleh air pasang
Bagian
luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian
yang lainnya; bahkan kadang-kadang terus menerus terendam. Pada pihak lain,
bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala
terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.
Menghadapi variasi-variasi
kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi
mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar
gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering.
Jenis-jenis bakau
(Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur
ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas
tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas
pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia
alba) di zona terluar atau zona pionir ini.
Di bagian lebih ke dalam, yang
masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata
dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera
spp.), kaboa
(Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai,
yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah
(Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.).
2.
Bentuk-bentuk
adaptasi
Menghadapi
lingkungan yang ekstrem di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai
cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi
mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar
dan kelenjar garam
di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis.
Gambar 2. Tegakan api-api
Avicennia di tepi laut. Perhatikan
akar napas yang muncul ke atas lumpur pantai.
|
Pohon-pohon bakau (Rhizophora
spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang
(stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api
(Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar napas
(pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen
dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar lutut
(knee root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus
spp.) berakar papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang
tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi
pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel,
lubang pori pada pepagan untuk bernapas.
Untuk mengatasi salinitas yang
tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya.
Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan
sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah
hampir-hampir tawar, sekitar
90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini.
Garam yang sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan
akan terbuang bersama gugurnya daun.
Pada pihak yang lain, mengingat
sukarnya memperoleh air tawar, vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan
kandungan air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas
mendorong tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu
mengatur bukaan mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di
siang hari terik, sehingga mengurangi evaporasi
dari daun.
Pada bagian yang lebih kering di
pedalaman hutan didapatkan nirih
(Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera
racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu
buta-buta (Excoecaria agallocha).
3. Perkembangbiakan
Adaptasi lain yang penting diperlihatkan
dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak
memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya.
Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan
pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya.
Hampir semua jenis flora hutan bakau
memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan
mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar:
yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Contoh yang paling dikenal barangkali
adalah perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora), tengar
(Ceriops) atau kendeka (Bruguiera). Buah pohon-pohon ini telah
berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala masih
bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat
langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang,
tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa
arus laut dan melancong ke tempat-tempat jauh.
Buah nipah
(Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara masih melekat di
tandannya. Sementara buah api-api, kaboa
(Aegiceras), jeruju
(Acanthus) dan beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski
tak nampak dari sebelah luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi
meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak
semai semacam ini disebut dengan istilah propagul.
Propagul-propagul seperti ini dapat
terbawa oleh arus dan ombak laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan
mungkin menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan sampah-sampah
laut lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan
berbulan, selama perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh
menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot
bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul
mengambang vertikal
di air. Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal
yang berlumpur.
4. Suksesi hutan bakau
Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan
dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest succession atau sere).
Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan di lahan basah (disebut hydrosere). Dengan
adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada uraian
di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan bergeser.
Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu
paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan
bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul
vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir
hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat
bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir
yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan
diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat
laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun
semakin meluas.
Pada saatnya bagian dalam hutan bakau
akan mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis
pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian
ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona
yang baru di bagian belakang.
Demikian perubahan terus terjadi, yang
memakan waktu berpuluh hingga beratus tahun. Sementara zona pionir terus maju
dan meluaskan hutan bakau, zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian
pedalaman yang mengering.
Uraian di atas adalah penyederhanaan,
dari keadaan alam yang sesungguhnya jauh lebih rumit. Karena tidak selalu hutan
bakau terus bertambah luas, bahkan mungkin dapat habis karena faktor-faktor
alam seperti abrasi. Demikian pula munculnya zona-zona tak
selalu dapat diperkirakan.
Di wilayah-wilayah yang sesuai, hutan
mangrove ini dapat tumbuh meluas mencapai ketebalan 4 km atau lebih; meskipun pada umumnya kurang dari
itu.
5. Kekayaan flora
Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan
bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera,
anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove
sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan
mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.
Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya
ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang
paling kaya jenis di lingkungan Samudera Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah
diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk,
1999).
Berikut ini adalah daftar suku dan genus
mangrove sejati, beserta jumlah jenisnya (dimodifikasi dari Tomlinson, 1986).
Penyusun utama
Suku
|
Genus,
jumlah spesies
|
Penyusun minor
Gambar
3. Paku laut, Acrostichum aureum.
|
Suku
|
Genus, jumlah spesies
|
Camptostemon,
2
|
|
Osbornia,
1
|
|
Pelliciera,
1
|
|
Aegialitis,
2
|
|
Scyphiphora,
1
|
|
1.
Fungsi dan Manfaat Mangrove
Kawasan pesisir dan laut merupakan
sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik
(Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki
peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem
dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap
keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling
banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir
bahan-bahan pencemar.
Mangrove mempunyai peranan ekologis,
ekonomis, dan sosial yang sangat penting dalam mendukung pembangunan wilayah
pesisir. Kegiatan rehabilitasi menjadi sangat prioritas sebelum dampak negatif
dari hilangnya mangrove ini meluas dan tidak dapat diatasi (tsunami, abrasi,
intrusi, pencemaran, dan penyebaran penyakit). Kota-kota yang memiliki areal
mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan berpotensi untuk dikembangkan
sebagai obyek wisata (ekoturisme).
Menurut
Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat
sebagai berikut :
1. Habitat satwa langka
Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih
dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan
dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan
migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus).
2. Pelindung dari bencana alam
Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman
pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang
bermuatan garam melalui proses filtrasi.
3. Pengendapan lumpur
Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses
pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan
racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada
partikel lumpur. Dengan hutan bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan
lumpur erosi.
4. Penambah unsur hara
Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air
dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur
hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal
pertanian.
5. Penambat racun
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan
terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul
partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu
proses penambatan racun secara aktif.
6. Sumber alam dalam kawasan
(In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil
pertambangan atau mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam
kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk alamiah di hutan
mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang kemudian digunakan oleh
masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi organisme lain atau
menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan pasir
dan lumpur.
7. Transportasi
Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air
merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
8. Sumber plasma nutfah
Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya
baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untukmemelihara populasi
kehidupan liar itu sendiri.
9. Rekreasi dan pariwisata
Hutan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor
alamnya maupun dari kehidupan yang ada di dalamnya. Hutan mangrove yang telah
dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi
Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong
(Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata
yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang
berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal.
Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam.
Pantai Padang, Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha
dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove.
Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan
langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu
menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan
kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu,
dan menjadi pemandu wisata.
10. Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan
pendidikan. Hutan bakau dapat di jadikan sarana pendidikan dan penelitian
sebagai ilmu pengetahuan.
11. Memelihara proses-proses dan
sistem alami
Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung
berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
12. Penyerapan karbon
Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi
karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem,
bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02).
Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang
tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon
dibandingkan dengan sumber karbon.
13. Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi hutan bakau mampu menjaga ketembaban dan
curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
14.
Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
Sumber: http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/2087919-fungsi-dan-manfaat-hutan-bakau/#ixzz1jc5ViKix
Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam, dan A. Whitten. 1984. Ekologi
Ekosistem Sumatra. Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta.
Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.
Tomlinson, P. B., 1986: The Botany of Mangroves,
Cambridge University Press.
Komentar
Posting Komentar