HUKUM ACARA PIDANA



HUKUM ACARA PIDANA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang
Hukum Acara Pidana Indonesia sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, tentang KUHAP, merupakan suatu peraturan yang memuat tentang bagaimana caranya aparat penegak hukum : Polisi, Jaksa, Hakim dan Penasehat hukum menjalankan wewenangnya menegakkan hukum pidana materiil (KUHP). Para penegak hukum harus memperhatikan dua kepentingan hukum secara berimbang yaitu kepentingan perorangan (Hak seseorang) dengan kepentingan masyarakat dalam suatu proses beracara pidana.
Sebagai Negara Hukum, Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia dan perlindungan terhadap warga negara. Hak warga negara dilindungi oleh negara baik warga negara dalam status tersangka, terdakwa, terpidana ataupun sebagai warga negara yang bebas, dan tidak membedakan jenis kelamin, umur, suku agama dan lain-lain. Hak warga negara merupakan  hak asasi manusia yang dijamin didalam ketentuan UUD 45 pada pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J. Selain didalam UUD 45, perlindungan terhadap hak warga negara dijamin didalam Undang-undang No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) serta beberapa Undang-undang lain yang relevan.
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata. Didalam KUHAP disamping mengatur ketentuan tentang cara proses pidana juga mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang yang terlibat proses pidana. Proses pidana yang dimaksud adalah tahap pemeriksaan tersangka (interogasi) pada tingkat penyidikan dengan memperhatikan hak-hak tersangka.
Berdasarkan tujuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang antara lain yaitu (1) Mencari kebenaran sejati, (2) Melakukan pemeriksaan perkara pidana yang didasarkan atas hukum, keyakinan dan rasa keadilan masyarakat dan, (3) melaksanakan putusan atau eksekusi terhadap tersangka yang diputus bersalah.
Berdasarkan pada tujuan HAP diatas, kiranya persoalan sistem pemeriksaan terhadap tersangka akan membawa pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan dimaksud, tanpa mengabaikan hak-hak tersangka/terdakwa

1.2.   Rumusan Masalah
-. Sebarapa jauh tugas pemeriksaan perkara “Tersangka/Terdakwa” dilaksanakan seperti harapan banyak pihak ditujukan terhadap bekerjanya aparatur penegak hukum, mampu atau tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat, karena kecenderungan yang selama ini muncul adalah bahwa peradilan pidana lebih bersifat formal administratif/birokratis.
-. Bagaimana penerapan hak-hak tersangka serta Langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh pihak kepolisian agar hak-hak tersangka dalam proses penyelidikan tindak pidana benar-benar dapat dipenuhi ?
-. Dapatkah   penyidik  dalam   melakukan    pemeriksaan permulaan   benar-benar     menjunjung  tinggi     hak-hak   tersangka  serta   harkat  dan martabatnya ? Sebagaimana  kita  amati  di berbagai  media  massa,  sering    terungkap perlakuan   oknum-oknum   polisi   bertindak    kasar   dan   cenderung   dapat    melukai tersangka ketika melakukan proses pemeriksaan terhadap tersangka/terdakwa.



BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan hukum Pidana Formal (Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang mengatur prosedur agar berlaku pelanggaran dan kejahatan) dapat dihadapkan kemuka sidang pengadilan adalah sebagai berikut :
  1. Tindakan–tindakan apa yang harus diambil apabila ada dugaan, bahwa talah terjadi sesuatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang.
  2. Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang, maka perlu diketahui apa pelakunya dan cara bagaiman melakukan penyelidikan terhadap pelaku.
  3. Apabila telah diketahui pelakunya maka penyidik perlu menangkap, menahan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan pemulaan atau dilakukan penyelidikan.
  4. Untuk membuktikan apakah tersangka benar–benar melakukan suatu tindak pidana, maka perlu mengumpulka barang-barang bukti, menggeledah badan dan tempat–tempat serta menyita barang–barang bukti yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut
  5. Setelah selesai dilaksanakan pemeriksaan permulaan atau penyidikan oleh polisi, maka berkas perkara diserahkan peda kejaksaan negeri, selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.
Atas dasar sistem di atas, maka tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan (Pasal 52 dan 184 (1) KUHAP) tidak diperlakukan sebagai Terdakwa (obyek) yang harus diperiksa, melainkan tersangka dilakukan sebagai subyek, yang artinya tersangka tidak dapat dipaksa untuk mengaku bersalah dengan cara paksaan, tekanan ataupun ancaman-ancaman. Ketentuan ini jelas terdapat dalam pasal di atas (Pasal 52 dan 184 ayat 1) KUHAP, yang intinya menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik tidak untuk mendapatkan pengakuan tersangka tetapi untuk mendapatkan keterangan tersangka mengenai peristiwa pidana yang dipersangkakan kepadanya. 
Secara khusus, KUHAP telah mengatur pada Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa dan Bab VII tentang Bantuan Hukum. Ketentuan–ketentuan lainnya yang menjamin hak-hak tersangka juga tersebar dalam pasal-pasal lain dalam KUHAP seperti dalam hal pra peradilan ataupun dalam ganti kerugian akibat upaya paksa yang melawan hukum. Selain itu dalam UU PSK, khususnya dalam Pasal 5 ayat (1) telah merinci dengan cukup baik hak–hak saksi/korban selama menjalani pemeriksaan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan.
Dalam KUHAP dibedakan mengenai istilah “ Tersangka” dan “Terdakwa” perbedaan tersebut dapat ditemukan pada ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal I angka 14 dan 15 KUHAP yang menentukan bahwa :
- Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana ( pasal 1 angka 14 KUHAP)
- Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, di periksa dan diadili di siding pengadilan. (Pasal 1 angka 15 KUHAP).
Dari ketentuan tersebut dapatlah dijabarkan bahwa apabila seseorang diduga melakukan suatu tindak pidana kemudian dilakukan penyelidikan oleh pihak Kepolisian dan selanjutnya berkas perkara (BAP) diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum m aka status orang tersebut masih sebagai “tersangka” sedangkan apabila perkara itu telah dilimpahkan kepengadilan untuk diperiksa, dituntut dan diadili maka berubahlah status “Tersangka” menjadi “Terdakwa”.
Pada pemeriksaan tersangka, seorang penyelidik harus memperhatikan keterangan yang berlaku dan tidak boleh bertindak diluar keterangan tersebut, salah satu ketentuan tersebut mengenai hak-hak tersangka di dalam pemeriksaan Seorang tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan perbuatan pidana menurut hukum positif yang berlaku harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dalam rangka mempertanggung jawabkan perbuatannya itu, maka seorang tersangka atau terdakwa harus melalui proses pemeriksaan dalam dua tingkat yaitu :  
1. Pemeriksaan pendahuluan
    Adalah pemeriksaan tahap awal terhadap seorang tersangka yang dilakukan oleh penyidik.
Kedudukan dari seorang tersangka dalam pemeriksan pendahuluan menurut sistem H.I.R, adalah sebagai obyeknya yang harus diperiksa atau obyek pemeriksaan artinya sebagai barang yang harus diperiksa ujudnya berhubung dengan adanya suatu persangkaan. Berdasarkan KUHAP, maka kedudukan seorang tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan adalah sebagai subyek yang mempunyai hak – hak tertentu untuk melakukan pembelaan dirinya dengan dibantu oleh seorang penasihat hukum ( pasal 54 KUHAP ). Didalam KUHAP tidak mengenal adanya pemeriksaan lanjutan yang dilakukan oleh jaksa sebab jika ada kekurangan dalam pemeriksaan pendahuluan, maka untuk kelengkapan pemeriksaan tersebut jaksa selaku penuntut umum wajib menyerahkan kembali berkas perkara kepada penyidik dengan disertai petunjuk – petunjuk untuk dilengkpinya.
2. Pemeriksaan persidangan
    Adalah pemeriksaan terhadap seorang terdakwa didepan sidang pengadilan, dimana hakim
     mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Pemeriksaan persidangan ini berarti serangkaian
     tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana, berdasarkan pada azas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan. Pada persidangan ini terdakwa bebas memilih penasihat hukum untuk membantu terdakwa apabila hakim yang memeriksa menyalahi wewenang dan juga mengarah berat sebelah dengan penuntutan, sehingga akan merugikan hak azasi terdakwa dan terdakwa akan kehilangan hak azasinya. Peranan penasihat hukum membantu melancarkan persidangan dan berusaha sekuat dan segala kemampuannya untuk membantu meringankan penderitaan terdakwa dan kalau bisa membebaskan dari segala tuntutan jaksa.
.
 Dalam pemeriksaan persidangan yang dihadapi ialah sistem acusatoir, dimana terdakwa
mempunyai hak yang sama nilainya dengan penuntut umum, sedangkan hakim berada diatas
keduabelah pihak untuk menyelesaikan perkara pidana antara mereka menurut peraturan hukum
pidana yang berlaku. Dimana acara pemeriksaan dibagi dalam 3 bagian yaitu :
1. Acara Pemeriksaan Biasa.
Apabila pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara yang diajukan kepadanya termasuk
wewenangnya, maka ketua pengadilan negeri menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara
tersebut dan hakim yang bersangkutan menetapkan hari sidang, memeritahkan penuntut umum
memanggil terdakwa dan saksi untuk datang dipersidangan dengan surat panggilan yang sah yang harus deterima yang bersangkutan selambat – lambatnya tiga hari sebelum sidang. ( pasal 145, pasal 146, pasal 152, UU, No.8 th 1981 ). Acara pemeriksaan biasa diatur dalam pasal 152
sampai dengan pasal 182 KUHAP, sebagai berikut :
Acara pemeriksaan biasa dimulai dengan pembukaan sidang oleh hakim ketua sidang yang
menyatakan sidang dibuka untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak– anak yang menurut undang – undang harus disidangkan secara tertutup. Yang lebih dahulu diperiksa dalam sidang pengadilan adalah terdakwa, lalu   saksi   korban, lalu saksi-
saksi lain baik yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa. Penuntut umum dan
penasihat hukum mendapat kesempatan bertanya juga. Apabila dalam suatu perkara ada lebih seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, maka pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilakukan. Pada permulaan sidang, hakim ketua menanyakan identitas terdakwa secara lengkap dan mengingatkan agar terdakwa memperhatikan segala yang didengar dan dilihat dalam sidang. Kemudian hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan dan menanyakan kepada terdakwa apakah sudah mengerti tentang dakwaan itu. Apabila tidak mengerti, maka penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan. Selanjutnya terdakwa atau penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan dan kepada penuntut umum diberi kekuasaan untuk menanyakan pendapatnya. Atas keberatan tersebut hakim mempertimbangkan dan untuk selanjutnya mengambil keputusan. Apabila hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, dan apabila tidak diterima atau hakim berpendapat hat tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Apabila penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan hakim tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan
terhadap keputusan hakim tersebut kepada pengadila tinggi dan dalam waktu empat belas hari
sejak diajukannya perlawanan tersebut apabila pengadilan    tinggi      menerimanya,  maka
dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu. Perlawanan terdakwa tersebut dapat diajukan bersama – sama dengan permintaan banding. Apabila pengadilan yang berwenang memeriksa perkara itu berkedudukan didaerah hukum pengadilan tinggi
lain, maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang berwenang ditempat itu.
Keputusan hakim dapat berupa salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu :
-. Pembebasan atau putusan bebas, jika kesalahan terdakwa tidak terbukti.
-. Lepas dari tuntutan hukum, jika perbuatan terdakwa terbukti tetapi bukan merupakan tindak
   pidana.
-. Pemidanaan atau pidan, jika kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan.

2. Acara Pemeriksaan Singkat.
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk tidak pidana ringan dan penghinaan ringan serta yang menurut penuntut umum pembuktian serta penetapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. ( pasal 203 UU No.8 tahun 1981 ). Acara pemeriksaan singkat tersebut diatur dalam pasal 203 dan pasal 204 KUHAP. Putusan acara pemeriksaan singkat tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut. Isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan dalam acara biasa.
3. Acara Pemeriksaan Cepat.
Acara pemeriksaan cepat dibagi menjadi dua yakni :
a. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan :
    Yang akan diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak  pidana ringan adalah perkara yang
    diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak – banyaknya tujuh ribu rupian dan penghinaan ringan. (pasal 205 UU No.8 tahun 1981). Acara pemeriksaan tindak pidana ringan diatur dalam pasal 205 sampai dengan pasal 210 KUHAP.
b. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu – Lintas Jalan :
    Yang diperiksa dalam acara pemeriksaan tersebut adalah perkara pelanggaran tertentu
      terhadap peraturan perundang-undangan lalu-litas jalan. ( pasal 211 UU No.8 tahun 1981)
     Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu – lintas jalan diatur dalam pasal 211 sampai
     dengan 216 KUHAP.
          Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman dan Undang-Undang no. 8 tahun 1981, tentang KUHAP (pasal 5 s/d pasal 8) dinyatakan hak-hak asasi manusia harus dijunjung tinggi dan mendapatkan perlindungan dalam Negara yang berdasarkan Pancasila dan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Diantara azas-azas tersebut, terdapat satu azas yaitu azas praduga tak bersalah atau (Presumption of innocent). Azas ini pada dasarnya menyatakan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya yang memperoleh kekuatan hukum tetap”. Maksud dari tujuan azas tersebut dapat diterangkan bahwa sebelum seseorang tersangka/terdakwa harus dan wajib diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hak-hak tersangka, harkat dan martabat tersangka sebagai manusia harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh petugas penyidik. Dalam Konteks ini, proses interogasi/menggali keterangan dari tersangka, tidak boleh dilakukan dengan melanggar hak-hak tersangka, apalagi melanggar harkat dan martabat tersangka sebagai manusia.
Persoalannya sekarang adalah dapatkah penyidik dalam melakukan pemeriksaan permulaan benar-benar menjunjung tinggi hak-hak tersangka serta harkat dan martabatnya ? Sebagaimana kita amati di berbagai media massa, sering terungkap perlakuan oknum-oknum polisi bertindak kasar dan cenderung dapat melukai tersangka ketika melakukan proses pemeriksaan terhadap tersangka.
Pemeriksaan perkara pidana di Indonesia dilakukan  secara  normatif  (substantif)   menunjuk kepada peraturan  induknya  yang  termaktub dalam  Undang-Undang  No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum  Acara   Pidana    (KUHAP),    beserta  aturan   lainnya  yang  memiliki   keterkaitan   dengan    ketentuan    tersebut.  Tahapan   pemeriksaan  menurut KUHAP dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Tahap Penyelidikan
2. Tahap Penyidikan
3. Tahap Penuntutan
4. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
5. Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa
6. Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Eksekusi)
Penggunaan psikologi dalam proses pemeriksaan tersangka merupakan salah satu cara yang harus dilakukan oleh seorang penyidik, melalui pendekatan kejiwaan tersangka untuk memperoleh keterangan dari tersangka tanpa unsur paksaan. Umumnya pemeriksaan dengan penggunaan psikologi tidak diatur dalam KUHAP, tetapi seorang penyidik dituntut untuk mengenal mental, watak dan karakteristik tersangka yang diperiksanya. Dengan mengenal mental, watak dan karakteristik tersebut seorang penyidik dapat mengetahui pendekatan apa yang cocok digunakan kepada tersangka. Pada penelitian ini penulis telah melakukan rumusan masalah. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut : “ Bagaimana proses pemeriksaan tersangka pada tahap penyidikan menurut KUHAP Dan bagaimana peran psikologi dalam pemeriksaan tersangka pada proses penyidikan kaitannya dengan Pasal 52 dan 117 KUHAP”. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang jelas bagaimana proses pemeriksaan tersangka menurut KUHAP dan penggunaan psikologi dalam proses pemeriksaan tersangka. Penelitian ini bersumber dari data yang penulis peroleh berasal dari data primer yang merupakan data yang diperoleh dari Polres Langkat melalui riset langsung dilapangan, dengan wawancara dan melihat pemeriksaan tersangka. Disamping itu penulis memperoleh data sekunder dengan membaca buku-buku dan bacaan yang berhubungan dengan penelitian ini. Metode ini digunakan penulis untuk menganalisa data dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisa korelasi yaitu analisa untuk mencari apakah psikologi digunakan dalam proses pemeriksaan tersangka. Pendekatan psikologi diterapkan proses pemeriksaan tersangka, hal ini dimaksud untuk mempermudah memperoleh keterangan dari tersangka yang sebenar-benarnya tanpa adanya unsur paksaan, sesuai dengan Pasal 52 dan 117 KUHAP yang memberikan hak kepada tersangka atau saksi  untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan.                                                                         
          Tahapan pemeriksaan tersangka diatur  secara  rinci  dalam  KUHAP  yang    pada prinsipnya memberikan kewenangan  tertentu  kepada  lembaga   administratif-birokratis untuk melaksanakan  sistem,  mekanisme  aturan, serta  menjamin  hak  tersangka  dalam proses pemeriksaan. Penyidik dalam melaksanakan tugasnya dalam pemeriksaan tersangka/terdakwa menggunakan asas praduga tak bersalah. Dimana asas praduga tak bersalah disini bila ditinjau dari segi teknis yuridis maupun dari segi teknis penyidikan dinamakan  prinsip  akusator  atau  accusatory    procedure           (accusatorial system). Prinsip akusator adalah menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan tersangka/terdakwa :                    
1. adalah sebagai subyek ; bukan sebagai obyek pemeriksaan oelh karena itu    tersangka atau terdakwa harus didudukan atau diperlakukan dalam kedudukan manusian yang berharkat, martabat dan harga diri,             
2.  yang menjadi obyek dalam proses pemeriksaan tersangka/terdakwa dalam prinsip akusaror adalah kesalahan (tindak pidana), yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa maka kearah itulah pemeriksaan dilakukan.                               .
           Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP maka terdapat beberapa  pihak   yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara pidana, yakni :
1. Tersangka/Terdakwa
2. Penyidik dan Penyelidik
3. Jaksa Penuntut Umum
4. Penasehat Hukum/Advokat
5. Hakim
   Hukum Acara Pidana Indonesia sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, tentang KUHAP, merupakan suatu peraturan yang   memuat   tentang    bagaimana caranya   aparat  penegak   hukum : Polisi, Jaksa, Hakim  dan   Penasehat   hukum   menjalankan wewenangnya menegakkan hukum pidana   materiil   (KUHP).     Para penegak hukum harus  memperhatikan dua kepentingan hukum secara berimbang yaitu kepentingan perorangan (Hak seseorang) dengan kepentingan masyarakat dalam suatu proses beracara pidana.                   .
           Berdasarkan tujuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang antara lain yaitu (1) Mencari kebenaran sejati, (2) Melakukan pemeriksaan perkara pidana yang didasarkan atas hukum, keyakinan dan rasa keadilan masyarakat dan, (3) melaksanakan putusan atau eksekusi terhadap tersangka yang diputus bersalah.
Berdasarkan pada tujuan HAP diatas, kiranya persoalan sistem pemeriksaan terhadap tersangka akan membawa pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan dimaksud. Dalam konteks ini, KUHAP membagi dua sistem pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa yaitu : (a) pemeriksaan permulaan (pendahuluan) yang dilakukan oleh kepolisian/penyidik dan (b) pemeriksaan persidangan yang dilakukan oleh hakim.
Dalam sistem pemeriksaan permulaan, ketentuan KUHAP menganut azas pemeriksaan Inquisitor Lunak artinya bahwa dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka boleh didampingi oleh Penasehat Hukum yang mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif yakni Penasehat hukum diperkenankan untuk melihat, mendengar dan memberikan petunjuk dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka. Dalam praktek, pemeriksaan dalam sistem Inquisitor Lunak ini, tersangka boleh meminta kepada Penasehat Hukum penjelasan-penjelasan tentang maksud dari pertanyaan-pertanyaan dari penyidik, terutama terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya“menjerat”.
           Atas dasar sistem di atas, maka tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan (Pasal 52 dan 184 (1) KUHAP) tidak diperlakukan sebagai Terdakwa (obyek) yang harus diperiksa, melainkan tersangka dilakukan sebagai subyek, yang artinya tersangka tidak dapat dipaksa untuk mengaku bersalah dengan cara paksaan, tekanan ataupun ancaman-ancaman. Ketentuan ini jelas terdapat dalam pasal di atas (Pasal 52 dan 184 ayat 1) KUHAP, yang intinya menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik tidak untuk mendapatkan pengakuan tersangka tetapi untuk mendapatkan keterangan tersangka mengenai peristiwa pidana yang dipersangkakan kepadanya.               .
          Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman dan Undang-Undang no. 8 tahun 1981, tentang KUHAP (pasal 5 s/d pasal 8) dinyatakan hak-hak asasi manusia harus dijunjung tinggi dan mendapatkan perlindungan dalam Negara yang berdasarkan Pancasila dan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Diantara azas-azas tersebut, terdapat satu azas yaitu azas praduga tak bersalah atau (Presumption of innocent). Azas ini pada dasarnya menyatakan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya yang memperoleh kekuatan hukum tetap”. Maksud dari tujuan azas tersebut dapat diterangkan bahwa sebelum seseorang tersangka/terdakwa harus dan wajib diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hak-hak tersangka, harkat dan martabat tersangka sebagai manusia harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh petugas penyidik. Dalam Konteks ini, proses interogasi/menggali keterangan dari tersangka, tidak boleh dilakukan dengan melanggar hak-hak tersangka, apalagi melanggar harkat dan martabat tersangka sebagai manusia.                  .
         Pemeriksaan Tersangka maupun Saksi di Kepolisian pada dasarnya diatur dalam
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan juga UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU PSK”). Selain kedua UU tersebut, ada juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”) yang pada dasarnya mengamanatkan dalam Bab V tentang Pembinaan Profesi. Turunan dalam UU Kepolisian tersebut di antaranya adalah Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 7/2006”) dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 8/2009”).    
Dalam praktek pemeriksaan perkara pidana hal yang paling mendasar di kedepankan adalah mengenai hak-hak tersangka/terdakwa  baik dari tingkat penyidikan sampai dengan tingkat peradilan. Mengenai hal ini, KUHAP telah memberikan jaminan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa antara lain :
1.    Hak untuk dengan segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik, diajukan ke Penuntut Umum dan perkaranya dilimpahkan ke pengadilan untuk diadili (Pasal 50 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP).
2.   Hak agar diberitahukan secara jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya dan didakwakan pada waktu pemeriksaan (Pasal 51 butir (a) dan (b) KUHAP).
3.   Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan kepada hakim pada waktu tingkat penyidikan dan pengadilan (Pasal 52 KUHAP).
4.   Hak untuk mendapatkan juru bahasa (Pasal 53 ayat (1) KUHAP).
5.   Hak untuk mendapatkan bantuan hukum guna kepentingan pembelaan selama dan waktu dan setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP).
6.   Hak untuk memilih penasehat hukumannya sendiri (Pasal 55 KUHAP) serta dalam hal tidak mampu berhak didampingi penasehat hokum secara cuma-cuma/prodeo sebagaimana dimaksudkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHAP.
7.   Hak tersangka apabila ditahan untuk dapat menghubungi penasehat hokum setiap saat diperlukan dan hak tersangka/terdakwa warga Negara asing untuk menghubungi berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (1) dan (2) KUHAP.
8.   Hak tersangka atau terdakwa apabila di tahan untuk menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya (Pasal 58 KUHAP)
9.   Hak agar diberitahukan kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa apabila ditahan untuk memperoleh bantuan hokum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak berhubungan dengan keluarga sesuai maksud diatas (Pasal 59 dan Pasal 60 KUHAP)
10.  Hak tersangka atau terdakwa secara langsung atau dengan perantaraan penasehat hukumnya menerima kunjungan sanak saudraanya guna kepentingan pekerjaan atau kekeluargaan (Pasal 61 KUHP)
11.  Hak tersangka atau terdakwa mengirim atau menerima surat dengan penasehat hukumnya (Pasal 62 KUHP)
12.  Hak tersangka atau terdakwa menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63 KUHAP).
13.  Hak agar terdakwa diadili di sidang pengadilan secara terbuka untuk umum (Pasal 64 KUHAP)
14.  Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli a de charge (Pasal 65 KUHAP)
15.  Hak tersangka atau terdakwa agar  tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP)
16.  Hak tersangka atau terdakwa mendapatkan ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68 jo Pasal 95 ayat (1) jo Pasal 97 ayat (1) KUHAP)
17.  Hak  terdakwa mengajukan keberatan tentang tidak berwewenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat di terima atau surat dakwaan harus dibatalkan (Pasal 156 ayat (1) KUHAP)
18.  Hak terdakwa untuk mengajukan banding. Kasasi dan melakukan peninjauan kembali (Pasal 67 jo Pasal 233, Pasal 244 dan Pasal 263 ayat (1) KUHAP).
Aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum tidak boleh berorientasi pada kekuasaan semata-mata. Pelaksanaan KUHAP harus berdasarkan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Hal ini berarti bahwa aparat penegak hukum harus menempatkan diri pada keseimbangan yang serasi antara orientasi penegakan hukum dan perlindungan ketertiban masyarakat dengan kepentingan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum harus menghindari perbuatan melawan hukum yang melanggar hak-hak asasi manusia dan setiap saat harus sadar dan berkewajiban untuk mempertahankan kepentingan masyarakat sejalan dengan tugas dan kewajiban menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity) dan perlindungan individu (individual protection)
Dalam penjelasan umum butir 3 huruf (c) KUHAP ditegaskan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. Asas praduga tak bersalah tersebut sebelumnya juga diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970.5
Asas praduga tak bersalah ini jika ditinjau dari segi teknis juridis ataupun dari segi teknis penyidikan merupakan penerapan acquisitoir yaitu yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. tersangka/terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri. Sedangkan obyek pemeriksaan dalam asasacquisitoir adalah kesalahan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa, maka ke arah itulah pemeriksaan harus ditujukan.
Sebagai lawan atau pengecualian dari asasacquisitoir adalah asas inquisitoir yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Sistim pemeriksaan seperti ini tidak dibenarkan dalam KUHAP karena tersangka/terdakwa tidak diberikan kesempatan secara wajar untuk mempertahankan hak dan kebenarannya. Mereka diperlakukan seolah-olah telah bersalah dan tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai obyek tanpa memperdulikan hak-hak asasi manusia dan haknya untuk membela martabat serta kebenaran yang dimilikinya.
Sebagai jaminan ditegakkan asas praduga tak bersalah dalam KUHAP, maka KUHAP telah memberikan jaminan yang tegas mengatur tentang hak-hak tersangka yaitu antara lain:
1. Pasal 50 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan ke penuntut umum”.
2. Pasal 50 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum” dan Pasal 50 ayat (3) KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan”.
3. Pasal 51 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai”.
4. Pasal 51 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya”.
5. Pasal 52 KUHAP menegaskan bahwa: ”Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka/terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.
6. Pasal 53 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim atau ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan”.
7.Pasal 54 KUHAP menegaskan bahwa: ”Guna kepentingan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
8. Pasal 55 KUHAP menegaskan bahwa: ”Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam pasal 54, tersangka/terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya”.
9. Pasal 56 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Setiap penasihat  hukum   yang   akan
    ditunjuk memberikan bantuannya dengan cuma-cuma”.
10. Pasal 58 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan pross perkara maupun tidak”.
11. Pasal 59 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalm proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka/terdakwa untuk mndapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya”.
12.Pasal 60 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka/terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun usaha mendapatkan bantuan hukum”.
13.Pasal 61 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka/terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan”.
14. Pasal 62 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak mengirimkan surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka/terdakwa disediakan alat tulis menulis”.
15.Pasal 62 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa: ”Surat menyurat antara tersangka/terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan”.
16.Pasal 64 KUHAP menegaskan bahwa: ”Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum”.
17.Pasal 65 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak untuk     mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memilik keahlian   khusus  guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”.
18.Pasal 66 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa dibebani kewajiban    pembuktian”.
19.Pasal 68 KUHAP menegaskan bahwa: ”Tersangka/terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi”.











BAB III
PENUTUP
1.  Kesimpulan
Pemeriksaan perkara pidana di Indonesia secara normatif (substantif) menunjuk kepada peraturan induknya yang termaktub dalam Undang-Undang no. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), beserta aturan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan ketentuan tersebut. Tahapan pemeriksaan menurut KUHAP dapat digambarkan sebagai berikut :
1.      Tahap penyelidikan
2.      Tahap penyidikan
3.      Tahap penuntutan
4.      Tahap pemeriksaan di siding pengadilan
5.      Upaya hokum biasa dan luar biasa
6.      Pelaksanaan putusan pengadilan (Eksekusi)
Tahap pemeriksaan ini diatur secara rinci dalam KUHAP yang pada prinsipnya memberikan kewenangan tertentu pada lembaga administratif-birokratis untuk melaksanakan sistem, mekanisme aturan, serta menjamin hak tersangka dalam proses pemeriksaan. Pada kondisi demikian peradilan memiliki kekuasaan luar biasa besar, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan.
           Titik pangkal  pemeriksaan di hadapan penyidik adalah tersangka karena dari
tersangka diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan tersangka tidak boleh di pandang sebagai objek pemeriksaan (inkuisator). Tersangka harus di tempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat serta harus dinilai sebagai subjek, bukan sebagai objek. Perbuatan tindak pidana tersangka yang menjadi objek  pemeriksaan, menurut Pasal 8 Undang-Undang No. 4 tahun 2004, tersangka harus dianggap tidak bersalah sesuai dengan prinsip hukum “praduga tak bersalah” sampai dipertoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pada pemeriksaan tersangka, seorang penyelidik harus memperhatikan keterangan yang berlaku dan tidak boleh bertindak diluar keterangan tersebut, salah satu ketentuan tersebut mengenai hak-hak tersangka di dalam pemeriksaan.
2.   Saran
Melihat pentingnya pemberian bantuan hukum terhadap seorang tersangka atau terdakwa
dalam serangkaian proses penyelesaian perkara pidana dari penasihat hukum maka penulis
memberikan saran – saran sebagai berikut :
1. Sebaiknya dalam setiap pemeriksaan penasihat hukum selalu dihadirkan untuk   mendampingi
      tersangka atau terdakwa baik ditingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dipengadilan.
2. Sebaiknya dalam pemeriksaan hak – hak tersangka perlu diperhatikan terutama       dalam tingkat penyidikan.
3. Sebaiknya setiap orang yang melakukan tindak pidana diperlakukan sama, tidak pandang bulu baik pejabat ataupun rakyat jelata.
4. Hakim sebagai  titik  sentral  untuk  menentukan putusan terhadap terdakwa hendaknya dalam menentukan putusan tersebut bersifat obyektif dan tidak memihak.
5. Hendaknya didalam proses penegakan hukum diindonesia adalah tidak hanya menjadi tanggungjawab dari aparat penegak hukum saja akan tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama baik warga masyarakat meupun pemerintah




DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, andi,1984. bunga rampai hukum pidana dan acara pidana.Jakarta: Ghalia Indonesia
Hamzah, Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia
http://id.shvoong.com/portfolio/frmlogin.aspx?ReturnUrl=/law-and-politics/law/2028439-contoh-makalah-ilmu-hukum/&action=AddTags
http://www.pn-nunukan.net/news/74-pra-peradilan-dalam-hukum-indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERANGKA DASAR AJARAN ISLAM

MENGENAL PERADABAN ORANG MUNA (Upaya Pelurusan Sejarah)

Ekosistem Padang Lamun (Seagrass)